Kasus Kekerasan Anak di Surabaya Masih Tinggi
Rabu, 19 Juni 2013 19:12 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Pemkot Surabaya dan Dewan Pendidikan bersama sejumlah LSM menyatakan kasus kekerasan terhadap anak di Kota Surabaya hingga saat ini masih tinggi dan butuh perhatian semua pihak.
Pernyataan bersama itu disampaikan dalam forum diskusi yang digelar Pemkot Surabaya di Taman Sari, Rabu.
Acara yang mengambil tema "Penanganan Permasalahan Anak Kota Surabaya" itu dihadiri Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (Bapemas KB) Surabaya Antiek Sugiharti, Direktur Surabaya Children Crisis Centre (SCCC) Edward Dewaruci, Ketua Dewan Pendidikan yang juga Direktur Hotline Pendidikan Isa Ansori, dan Direktur Yayasan Embun Surabaya Joseph Misalato.
Kepala Bapemas KB Surabaya Antiek Sugiharti mengatakan mengacu dari data yang masuk ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT-P2A) setidaknya ratusan kasus seputar anak yang masuk ke meja laporan PPT-P2A.
"Ini memberi sinyal bahwa perhatian terhadap anak perlu ditingkatkan," katanya.
Antiek mengemukakan perincian kasus anak tersebut di antaranya, permasalahan keluarga 153 kasus, minuman keras (miras) 35 kasus, trafficking 17 kasus, pemerkosaan dan pencabulan 10 kasus, pencurian 6 kasus, dan hamil di luar nikah 6 kasus.
"Tapi yang perlu digarisbawahi, lebih dari setengah pelakunya bukan berasal dari Surabaya. Dengan kata lain, anak-anak yang masih labil itu datang dari sejumlah daerah di sekitar Surabaya," jelas Antiek.
Mantan Kabag Kerja sama Pemkot Surabaya itu menganggap permasalahan anak adalah problem kompleks yang perlu penanganan dari semua pihak.
Pemkot sendiri, lanjut dia, disamping secara aktif jemput bola mengidentifikasi setiap permasalahan, juga melakukan pendampingan terhadap pelaku maupun korban yang masih di bawah umur.
Caranya, lanjut dia, dengan melakukan intervensi yang mempertimbangkan kondisi psikologi, pendidikan, kesehatan, dan keluarga.
Dari empat hal yang diintervensi pemkot itu, Antiek berpendapat faktor keluarga merupakan yang terpenting karena keluarga adalah lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pemulihan kondisi anak.
"Makanya, banyak sekali kasus anak kembali terjerumus ke hal-hal negatif. Padahal, yang bersangkutan baru saja mendapat pembinaan," katanya.
Untuk lebih peka terhadap permasalahan ini, pemkot juga punya Pusat Krisis Berbasis Masyarakat (PKBM) yang fungsinya kurang lebih sama dengan PPT-P2A, yakni sebagai wadah pengaduan dan perlindungan perempuan dan anak. Namun, PKBM berada dalam skala yang lebih kecil di masing-masing kecamatan.
Secara garis besar, diskusi permasalahan anak mengerucut pada perilaku seks bebas dan eksploitasi anak. Terkait hal ini, Isa Ansori menyatakan sekitar 45 persen remaja SMP berpandangan boleh berhubungan intim dalam berpacaran. Bahkan, 14 persen dari mereka mengaku sudah melakukannya.
"Ini tentu sangat memprihatinkan. Apalagi, dari survei tersebut, sebagian menyatakan terpengaruh dari media. Dalam hal ini media memegang peranan penting guna turut mencegah problematika anak tersebut. Sayangnya, sejauh ini, media masih asik berada di wilayahnya sendiri, belum ada batasan yang jelas, mana yang layak atau tidak untuk dikonsumsi anak-anak," katanya.
Hal senada diungkapkan Edward Dewaruci. Menurut dia, sampai saat ini media belum maksimal dalam melindungi hak-hak anak. Buktinya, masih banyak tayangan atau konten-konten yang tidak pro-anak.
Kalau ada anak yang menjadi pelaku atau korban, kata Edward, masih ada saja media yang mengekspose tanpa mempertimbangkan kode etik jurnalistik. "Padahal, itu bisa berdampak secara psikologis dan sosial terhadap anak yang bersangkutan," katanya.(*)