Untuk mengurangi angka kemiskinan, pemerintah telah mencanangkan berbagai program. Salah satunya adalah bantuan beras masyarakat miskin (raskin) di berbagai daerah di Indonesia. Program bantuan raskin ini adalah satu dari program pemberantasan kemiskinan dan peningkatan ekonomi masyarakat, mengingat angka kemiskinan di negeri ini masih tergolong tinggi. Tak terkecuali di Jawa Timur, khususnya di Pulau Madura, sebab angka kemiskinan di Pulau Garam ini mencapai 40 persen lebih dan mereka tersebar di empat kabupaten, termasuk di Kabupaten Pamekasan. Seperti di berbagai daerah di kabupaten lain, kabupaten Pamekasan juga merupakan kabupaten yang mendapatkan program bantuan raskin dari pemerintah pusat dengan jumlah penerima bantuan sebanyak 502.710 rumah tangga sasaran (RTS) tersebar di empat kabupaten di Pulau Madura. Dari empat kabupaten yang ada di Madura itu (Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan), jumlah RTS penerima raskin terbanyak adalah Kabupaten Sampang, yakni sebanyak 150.386 RTS dan daerah yang paling sedikit ialah di Kabupaten Bangkalan, sebanyak 97.519 RTS. Untuk kabupaten Pamekasan, jumlah RTS penerima bantuan raskin tercatat sebanyak 109.017 RTS atau setara dengan 1.635.255 kilogram per bulan. Sementara untuk kabupaten Sumenep sebanyak, 145.788 RTS. Sejak bantuan raskin digulirkan pemerintah, berbagai persoalan terus terjadi. Di Pamekasan, masalah bantuan raskin mulai terjadi sejak 1998 berupa dugaan penyalahgunaan wewenang oleh mantan Bupati Pamekasan ketika itu. Saat itu, orang nomer satu di Pamekasan itu menjual bantuan raskin dan dananya digunakan pembangunan masjid. Alasannya, karena warga tidak ada yang mampu menebus bantuan tersebut. Masalah raskin tidak berhenti sampai di situ. Belakangan bantuan raskin ini diduga digelapkan oleh oknum aparat desa dengan cara tidak mendistribusikan bantuan itu kepada masyarakat yang berhak menerima bantuan. Salah satunya seperti yang terjadi di Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Pamekasan. Di desa ini, bantuan raskin yang diterima masyarakat hanya 1 kilogram dengan harga tebus Rp4.000 perkilogram. Padahal sesuai dengan ketentuan, bantuan raskin sebanyak 15 kilogram dengan harga tebus Rp1.600 per kilogram. Kasus dugaan penyimpangan bantuan raskin lainnya juga terjadi di wilayah Kecamatan Pademawu, yakni berupa penggelapan yang dilakukan oleh korlap raskin di wilayah itu, senilai Rp200 juta lebih. Terakhir, pada awal 2013, kasus dugaan penggelapan raskin kembali mencuat di Pamekasan dengan nilai kerugian negara sekitar Rp2,6 miliar di Desa Larangan Slampar, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan. Penggelapan raskin di desa ini terjadi selama kurun waktu 2010 hingga 2013 atau selama sekitar dua tahun lebih. Nilai kerugian yang tidak kecil!. Bantuan raskin hanya disalurkan selama tiga, padahal bantuan itu semestinya setiap bulan sekali, termasuk bantuan raskin ke-13. Hasil serap informasi DPRD Pamekasan menyebutkan, masalah raskin bukan hanya terjadi di desa tertentu, tetapi hampir terjadi di semua desa di Kabupaten Pamekasan dengan tingkat penyimpangan yang berbeda-beda. Mulai dari pengurangan jatah bantuan, serta penggelapan bantuan. Kalangan DPRD sendiri sempat mengusulkan beberapa solusi guna menyelesaikan masalah ini, antara lain dengan pola penyaluran bantuan yang transparan. Seperti mengumumkan jatah bantuan raskin secara 'by name by adrress' atau nama dan alamat lengkap penerima bantuan. Dengan pola seperti itu, diyakini akan meningkatkan pengawasan oleh sebagian masyarakat, juga akses informasi masing-masing penerima bantuan semakin luas, oleh semua lapisan masayarakat di Pamekasan. Gagasan lainnya membentuk panitia khusus (pansus) raskin, serta penyaluran bantuan raskin tersebut oleh kelompok masyarakat (pokmas). Hanya saja gagasan cerdas dalam berupaya menekan penggelapan raskin tersebut hingga kini masih tinggal gagasan. Alasannya, Pemkab Pamekasan membutuhkan kesepakatan semua pihak, terutama para kepala desa untuk merealisasikan gagasan itu. Wakil Ketua DPRD Pamekasan Khairul Kalam mengusulkan, pemerintah sebaiknya menghentikan program bantuan raskin itu, jika depan sistem distribusi tidak bisa diperbaiki dan penyimpangan tetap terjadi. Gagasan ini disampaikan Khairul, karena ia menilai penyimpangan bantuan raskin terlalu parah dan belum ada perbaikan yang dilakukan pemkab dalam sistem distribusi. Dalam kondisi seperti itu, aparat penegak hukum justru kurang memberi respons atas persoalan dengan "korban" adalah rakyat kecil itu. Alasanmya, tidak ada laporan. Kalau pun ada yang sempat dilaporkan, maka kasusnya dihentikan dengan alasan kurang cukup bukti. (*)
Mengurai Benang Kusut Raskin
Minggu, 17 Februari 2013 7:16 WIB