Oleh Haikal Atiq Zamzami *) UN merupakan ritus tahunan yang tak lain dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Tak pelak argumen ini menjadi embrio lahirnya argumen turunan bahwa UN adalah jalan paling efektif menggapai cita-cita luhur tersebut. Ya, ikhtiar meningkatkan kualitas pendidikan nasional yang merupakan cita-cita luhur seakan telah tercover dalam argumen di atas. Jika mengacu pada pemahaman yang lebih mendalam atas peningkatan kualitas pendidikan nasional sebagai sebuah cita-cita luhur bangsa, maka argumen di atas pantas untuk dikatakan dangkal. Namun, sebagai program evaluasi secara nasional mempunyai landasan hukum yang kuat. Tak kurang dari tiga payung hukum menaungi keberlangsungan UN sampai saat ini. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) (Pasal 35), PP Nnomor 19 tahun 2005 pasal 63 ayat 1 dan pasal 68. Kuatnya payung hukum ini juga lah yang menyebabkan UN masih terus dilaksanakan, kendati telah menuai kritik hingga kecaman dari masyarakat luas. Berbagai kalangan mulai dari para sisswa sendiri, orang tua, praktisi pendidikan, sampai anggota legislatif (DPR) memprotes, bahkan mengecam. Para siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan, karena takut tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan anaknya; para praktisi pendidikan merasakan penyelenggaraan UN menimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan. Lain halnya dengan sebagian anggota legislatif yang menolak, mereka menilai pelaksanaan UN berdasarkan PP 19/2005 bertentangan dengan UU 20/2003 tentang Sisdiknas, dan hanya menghambur-hamburkan biaya. Di Amerika Serikat sendiri, tes sejenis UN memang pernah dilakukan. Bahkan pada tahun 1997, tercatat dunia pendidikan Amerika Serikat menghabiskan dana sebesar 200 juta dolar AS per tahun untuk tes di sekolah-sekolah negeri (public school) (Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis, Tilaar, H.A.R, Jakarta, Rineka Cipta, 2006). Namun hasil dari ujian akhir tersebut hanya sekedar digunakan melakukan pemetaan terhadap permasalahan pendidikan nasional dalam rangka menyusun kebijakan pendidikan nasional, bukan untuk menentukan kelulusan siswanya sebagaimana di Indonesia. "De-humanisasi" Paparan di atas adalah sederet fakta yang merupakan potret kompleksnya permasalahan dalam penyelenggaraan UN. Namun bersikap diam dan tak mengambil peran dalam upaya mencari penyelesaiannya akan semakin membawa permasalahan tersebut pada tingkat yang lebih kronis. Sebagai organisasi pelajar yang lahir dari rahim Organisasi Kemasyarakatan Nahdlatul Ulama' (NU), Ikatan Pelajar NU (IPNU) sejak mula telah ditujukan untuk dapat menjadi pusat pembelajaran, sekaligus wadah pengembangan potensi dan kreativitas pelajar, santri dan juga mahasiswa. Oleh karenanya merupakan konsekuensi bagi IPNU untuk turut serta mengupayakan sistem dan kebijakan pendidikan yang kondusif bagi optimalisasi pengembangan potensi peserta didik. Dalam permasalahan ini, UN akan diteropong lebih dekat melalui teleskop organisasi. Sebagai organisasi yang bergerak di ranah pendidikan dan pengkaderan, IPNU memilih paradigma transformatif dalam merumuskan keadaan sekaligus menentukan langkah ke depan. Berangkat dari paradigma ini, IPNU menilai pelaksanaan pendidikan di Indonesia secara umum, khususnya UN adalah sebuah proses "De-humanisasi" atau tidak memanusiakan manusia. (Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, Baharuddin dan Moh Makin, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2009). Bagaimana tidak, pelajar sebagai seorang manusia yang bersifat kreator, tentu mempunyai keunikan dari tiap potensi yang dianugerakan-Nya. Cara belajar senantiasa berbanding lurus dengan karakter individunya. Maka sudah seharusnya sistem hingga proses pembelajaran, di sekolah khususnya, harus mengedepankan hal ini sebagai landasan utama dalam pelaksanaannya. Jika tidak, maka proses pembelajaran tak ubahnya sebagai upaya pengebirian pada potensi sekaligus kreatifitas pelajar. Tampak jelas, di dalam beragam varian soal-soal UN nyaris menafikan kebebasan berpikir, kreatifitas, dan juga potensi dasar dari para siswa. Terlebih sistem yang mengaturnya berorientasi pada hasil, bukannya pada proses. Spontan, saat hasil menyatakan gagal, maka proses belajar yang telah ditempuh seorang siswa dinyatakan gagal. Pada akhirnya, UN yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Upaya penyeragaman dalam bingkai standarisasi kelulusan tak lain dari proses dehumanisasi. Jelasnya, UN dengan segala atributnya akan lebih mengarah pada disorientasi akan subtansi sebuah proses edukasi. Dengan tanpa mengembalikan pondasi utama pada proses pembelajaran, yakni memanusiakan manusia. Membahas tentang UN sebagai sebuah permasalahan klasik dunia pendidikan Indonesia, tak lengkap tanpa menelaah lebih dalam hakikat pendidikan itu sendiri. Nilai dasar menjadi manusia sesungguhnya adalah berfungsinya potensi dasar manusia secara optimal sehingga sanggup menjalankan aktifitas kehidupan, dan cara untuk mengoptimalisasi, tidak lain melalui rangsangan pendidikan. Manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa manusia akan menjadi manusia karena pendidikan, atau dengan kata lain bahwa pendidikan berfungsi untuk memanusiakan manusia. Selain itu, pendidikan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai sebuah tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu. sedangkan pada arti yang lebih sempit, pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan-keterampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau lembaga-lembaga lain. Dalam bab I pasal 1 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif guna mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan bukan sekedar mentrasfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai (transfer of value). Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. Karena itu, daya kritis dan partisipatif harus selalu muncul dalam jiwa peserta didik. Mengingat hal ini merupakan pondasi untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya. Dalam artian, setiap proses seharusnya mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan serta permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, sehingga out put pendidikan adalah manusia yang sanggup memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Dampak UN Dalam sub pembahasan ini, penulis akan mencoba memberikan pemetaan terhadap dampak-dampak negatif yang didatangkan UN pada kualitas pendidikan Indonesia umumnya dan output. Memandang sementara ini UU hingga PP telah secara gamblang memberikan deskripsi terhadap cita-cita "luhur" UN. Adapun dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut : a. Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah. b. Proses pembelajaran yang tidak bermakna. c. Upaya-upaya yang tidak jujur. d. Hanya ranah kognitif yang terukur. e. Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin. a. Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah. Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran. Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. b. Proses pembelajaran yang tidak bermakna. Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran. c. Upaya-upaya yang tidak jujur. Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan. Bila ini berlanjut, bisa dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal) kita. Manusia yang berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur. (UN Perlu Kejujuran, Salamuddin, Pendidikan Network, 22 Mei 2005). d. Hanya ranah kognitif yang terukur. UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Pengukuran ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdasan lainnya tidak mendapatkan perhatian yang memadai. e. Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin. Selain persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, acap kali ditempuh dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas. Sekadar Pemetaan Dari sekelumit paparan di atas, sebuah reformasi terhadap sistem pendidikan di Indonesia nampaknya merupakan sebuah keharusan. Hal ini tentunya berangkat dari realitas yang terus bergerak. Selama ini kita hanya berkutat mencari-cari jalan dan bentuk yang pas untuk pola pendidikan. Berujung pada banyaknya pakar pendidikan yang bermunculan hadir untuk menawarkan "jampi-jampi" demi perbaikan kualitas pendidikan di Tanah Air. Bukannya justru membaik, tapi sebaliknya, makin tak karuan wajah pendidikan kita. Namun ironisnya, sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal, oleh masyarakat luas masih dijadikan semacam "dewa penolong" atau paling tidak diposisikan sebagai jaminan masa depan yang lebih baik. Kembali harapan itu akan menjadi semu. Upaya untuk merealisasikannya tak lain adalah dengan mengoptimalkan kembali "Tri Pusat Pendidikan" dari Ki Hajar Dewantara. Tri pusat itu adalah Keluarga, Sekolah, dan lingkungan (luar sekolah). Keluarga sebagai salah satu elemen penting dari pembentukan karakter, haruslah mampu menanamkan kesadaran berpendidikan pada seluruh anggotanya. Tak lupa penanaman norma agama dan norma sosial juga harus disadari sebagai pondasi pembentukan karakter anak. Sekolah pun demikian, tak semestinya dengan sistem kelas yang selama ini berjalan, siswa terasingkan dari realitas lingkungannya, sehingga "out put" berpendidikan yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahn masyarakat tak dapat terbentuk. Pada sisi ini, permasalahan UN tetap harus mendapatkan perhatian khusus. Apabila UN adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan secara nasional, maka UN hendaknya tak lagi dijadikan patokan kelulusan seorang siswa. Pendekatan yang lebih humanis, sekaligus menghargai kearifan lokal (local wisdom), harus dijadikan landasan utama dalam mengemas UN sebagai sebuah program berskala nasional. Akan lebih tepat lagi jikalau hasil UN lebih diarahkan untuk sarana pemetaan potensi dan kelemahan daerah-daerah, kemudian hasil dari pemetaan tersebut digunakan sebagai landasan sekaligus acuan perumusan kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan masyarakat. Sebagaimana pernah dilakukan Amerika pada kurun waktu 1997-an. Terakhir, pentingnya upaya menciptakan lingkungan (luar sekolah) yang kondusif untuk proses pembelajaran. Kesadaran akan tanggung jawab sosial yang juga diemban oleh siswa sekolahan (baca:pelajar), harus dapat ditanamkan sedini mungkin. Jika di dalam kelas muatan ini sangat minim diperoleh maka idealnya sekolah memberikan ruang khusus bagi para siswa untuk dapat mengembangkan potensi, kreatifitas, serta menumbuhkan kepekaan sosial. Kembali Organisasi Pelajar sebagaimana IPNU harus juga mengambil peran strategis ini. Agaknya, substansi Kurikulum 2013 yang mengarah pada optimalisasi potensi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pelajar akan dapat menjadi sarana untuk memanusiakan pendidikan sesuai UU Sisdiknas, namun sistem evaluasi dalam dunia pendidikan hendaknya direformasi dengan memosisikan UN sekadar untuk sarana pemetaan yang dapat digunakan pemerintah untuk membangun dunia pendidikan di Tanah Air yang memang majemuk itu. (*). ------- *) Penulis adalah Wakil Ketua II (Kaderisasi) PW IPNU Jatim 2012-2015.
Ikhtiar Meretas Benang Kusut UN
Minggu, 7 April 2013 8:19 WIB