Jargon "tiada hari tanpa olahraga" pernah tenar pada tahun 1980-an. Jargon yang muncul di era Menpora Abdul Gafur itu semakin indah ketika disandingkan dengan ungkapan "memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat". Cantik dan memang pas. Jargon itu wujud keseriusan pemerintah membangkitkan semangat masyarakat untuk berolahraga. Tekad tersebut kemudian disusul dengan penetapan Hari Olahraga Nasional pada 9 September 1983. Tanggal 9 September bertepatan dengan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Solo pada 1948. Tidak cukup itu, karena berikutnya pemerintah memunculkan pula apa yang kita kenal dengan Hari Krida. Hari yang identik dengan senam dan aktivitas olahraga, khususnya di instansi-instansi pemerintah ini, dilaksanakan setiap Jumat. Artinya, rutin, berkesinambungan. Dengan gerakan ini diharapkan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat. "Mens sana in corpore sano” , di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, "A healthy mind in a healthy body". Nah, Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri pada peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) yang dipusatkan di Ternate, Maluku Utara, 20 Desember 2012, juga berharap hal yang sama. Mensos tidak tertarik kalau hanya seremonial. Yang dia inginkan bukan sebulan atau dua bulan saja, tapi bagaimana semangat kesetiakawanan sosial bisa terwujud setiap hari. Jadi, tiada hari tanpa kesetiakawanan sosial. Peringatan HKSN diharapkan tidak hanya sebatas seremonial saja, tapi bagaimana membangun semangat kesetiakawanan sosial menjadi jati diri bangsa. Untuk mewujudkan kesetiakawanan sosial sebagai jati diri bangsa, memang tidak mudah, butuh kerja keras dan keterlibatan semua pihak serta perlu dipupuk terus-menerus. Seperti diketahui, HKSN sesuai sejarahnya diperingati pada tanggal 20 Desember setiap tahun sebagai rasa hormat atas keberhasilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi ancaman bangsa lain yang ingin menjajah kembali saat itu. Peringatan HKSN merupakan upaya mengenang, menghayati dan meneladani semangat persatuan, kesatuan, kegotongroyongan rakyat Indonesia yang secara bahu-membahu mempertahankan kedaulatan bangsa atas pendudukan Ibu Kota Republik Indonesia Yogyakarta oleh tentara Belanda pada tahun 1948. Semangat tersebut kini tampaknya menghadapi ujian berat. Berbagai masalah sosial belakangan cukup marak terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Aksi protes tidak puas hasil pilkada, aksi tanam pisang karena jalan rusak tidak segera diperbaiki, aksi terkait rusaknya lingkungan hidup, pelanggaran HAM, konflik SARA, masalah kenakalan remaja dan perilaku menyimpang remaja, masalah perburuhan, masalah kemiskinan, tindak kriminal dan juga kegaduhan politik, seperti silih berganti. Informasi yang mengisi ruang-ruang media massa mempertontonkan aksi-aksi ketidakpuasan yang tidak jarang diwarnai pula dengan tindakan anarkhis. Banyak kalangan merasa prihatin atas kondisi seperti itu. Masyarakat Indonesia saat ini mudah marah dan tidak jarang melakukan aksi kekerasan di ruang publik, meski terkadang hanya dipicu oleh hal-hal sepele. Konon, perilaku agresif itu akibat tekanan dan berbagai ketidakpastian di negeri ini, mulai dari hukum, politik, sosial, dan ekonomi. Masyarakat saat ini semakin kehilangan tokoh panutan yang baik. Tokoh atau lembaga yang diharapkan memberikan teladan dan kearifan, ternyata sebagian justru menjadi bagian dari masalah. Sulit mencari sosok yang benar-benar bisa dipercaya. Atau, karena nilai-nilai di masyarakat kini memang telah berubah mengikuti perkembangan zaman yang konon sudah mengglobal?. Jika hal itu benar adanya, maka evolusi dari nilai-nilai yang ada menjadi nilai-nilai baru telah muncul ke permukaan. Pola hidup dan sikap hidup pun telah berubah. Proses transformasi nilai kini telah terjadi. Tapi, jika hal itu benar, maka proses transformasi tata nilai seperti itu tentu cukup menggelisahkan dan memprihatinkan. Sebab, perubahan tata nilai yang terjadi di mastarakat diwarnai dengan tindak kekerasan, anarkhisme. Kondisi itu diperparah dengan perubahan pola pandang masyarakat mengenai status sosial yang kini lebih mengedepankan unsur materi. Status sosial seseorang terletak pada kekayaan materi mereka. Materialistis. Seseorang dipandang mempunyai status tinggi jika mampu menunjukkan kemewahannya, seperti rumah mewah, perabot rumah mewah, mobil mewah dan jabatan yang "menyilaukan". Dampaknya, banyak orang berlomba-lomba menumpuk kekayaan dan lupa akan kodratnya sebagai makhluk sosial. Status di masyarakat pun bukan lagi diukur berdasar kepandaian dan keluhuran budi pekerti serta baiknya perilaku, tapi materi sebagai panglima dalam hidup. Sikap hedonis, konsumtif dan individual merasuk dalam tata kehidupan masyarakat. Akibatnya, sikap korup pun seperti sulit dihindari, menjangkiti seperti tak ada obatnya. Karena itu, gerakan kesetiakawan sosial perlu terus didorong dan dipupuk agar menjadi benteng dari nilai-nilai yang tidak diharapkan. Kesetiakawanan sosial diharapkan bisa menjadi gaya hidup dalam menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa gotong royong dan bahu-membahu. Selaras budaya politik masyarakat Indonesia yang paternalistik, masyarakat perlu panutan. Moralitas dan integritas pejabat atau elit negara yang baik, tentu akan sangat menguntungkan. Sebab, baik buruknya perilaku suatu masyarakat tergantung pula perilaku pejabat publiknya. "There is No Day Whithout Solidarity”, semoga bukan sekedar jargon ... (*)
Memupuk Rasa Kesetiakawanan Sosial
Minggu, 13 Januari 2013 23:09 WIB