Jakarta - Pakar astronomi Prof Dr Thomas Djamaluddin menegaskan bahwa berita-berita yang menyebut kiamat terjadi pada 21 Desember 2012, dan bahwa tiga hari menjelang Natal akan terjadi "blackout" adalah berita bohong.
"Ramalan kiamat itu didasari kalender hitungan panjang suku Maya yang oleh antropolog pun sudah ditepis. Dari sisi astronomi juga tidak ilmiah," kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional itu di Jakarta, Minggu.
Ia juga membantah jika ramalan kiamat tersebut terkait dengan hasil riset NASA bahwa semua planet termasuk matahari dan bumi saat itu berada sejajar membentuk sebuah garis lurus untuk pertama kalinya, dan menyebabkan bumi tertutup planet hingga terjadi kegelapan total pada 23-25 Desember 2012.
"Berita 'blackout' itu bohong. Tidak ada konfigurasi segarisnya planet dan tidak mungkin matahari terhalangi penuh, sehingga bumi gelap. Info yang menyebut NASA juga bohong," tukasnya.
Satu-satunya keterkaitan astronomi dengan kiamat 2012 itu yang benar adalah soal puncak aktivitas matahari pada 2012, di mana medan magnet matahari mencapai suatu tingkat kompleksitas magnetik terlalu tinggi, sehingga melepaskan energi.
"Tapi itupun telah bergeser ke pertengahan 2013," ujarnya.
Sekarang ini, lanjut dia, intensitas badai matahari masih rendah, dengan rata-rata sekali dalam sebulan, tapi semakin lama akan semakin sering di mana pada Mei 2013, dalam sehari bisa terjadi beberapa kali badai matahari.
Namun, ujarnya, badai matahari tidak berpengaruh pada manusia di bumi, karena bumi memiliki lapisan magnetik (magnetosir) yang melindungi bumi dari partikel berenergi tinggi dengan membelokkannya ke kutub, yang muncul sebagai fenomena aurora.
Radiasi Sinar X dan Ultra Violet dari matahari juga difilter oleh atmosfer bumi yang mengandung lapisan ozon, sehingga tak berpengaruh apapun pada bumi, papatnya.
"Dua hari lalu terjadi badai matahari, tapi kita sudah lihat tidak berpengaruh apapun kepada bumi," ucapnya.
Badai matahari, lanjut dia, hanya memberi gangguan pada teknologi satelit dan komunikasi, khususnya di negara-negara di lintang tinggi seperti di Eropa, Rusia, Kanada dan AS, tidak di negara di ekuator seperti Indonesia.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012