Setiap zaman menghadirkan tantangan baru dalam cara manusia berkomunikasi, menyimpan pengetahuan, dan mewariskan jejak kehidupannya. Jika dahulu arsip hanya dipandang sebagai kumpulan dokumen, naskah, dan catatan resmi, maka hari ini maknanya jauh lebih kompleks dan luas. 

Arsip sudah memasuki ranah digital, media sosial, dan ruang-ruang interaksi virtual yang tanpa batas geografis maupun waktu. Di tengah perubahan itu, muncul istilah prosumer yang dikemukakan Alvin Toffler pada dekade 1980-an sebagai gabungan kata produsen dan konsumen. 

Prosumer menggambarkan masyarakat modern yang tidak hanya mengonsumsi informasi atau produk, tetapi sekaligus memproduksi dan mendistribusikannya kepada khalayak luas. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini semakin menguat seiring hadirnya internet, media sosial, dan platform berbasis konten buatan pengguna yang terus berkembang pesat.

Penulis ingin mengajukan sebuah istilah yang lebih kontekstual yaitu prosumenesia, sebuah refleksi tentang bangsa Indonesia yang kini berada pada era baru. Era ketika warganya tidak sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga memproduksi, mendistribusikan, sekaligus mengarsipkan realitas kehidupan dalam bentuk digital yang beragam. 

Momentum Hari Pariwisata Sedunia bisa kita gunakan sebagai titik renungan lebih luas tentang prosumenesia, sebab pariwisata, komunikasi, dan arsip digital.

Arsip adalah memori kolektif bangsa yang merekam perjalanan sejarah dan peradaban. Dalam konsep klasik, arsip lahir dari lembaga resmi seperti negara, birokrasi, perusahaan, maupun organisasi masyarakat dengan sistem pengelolaan yang terstruktur. 

Namun kini sumber arsip tidak lagi hanya berasal dari institusi formal, tetapi juga dari masyarakat luas yang berpartisipasi aktif menciptakan dokumentasi.

Contoh sederhana adalah seorang wisatawan yang mengunggah video perjalanan ke Danau Toba melalui platform berbagi video. Awalnya itu hanya sekadar konten hiburan pribadi, tetapi seiring waktu unggahan tersebut menjadi arsip sosial yang bernilai historis dan budaya. 

Video itu mendokumentasikan kondisi destinasi wisata, pola interaksi masyarakat, hingga gaya hidup generasi tertentu yang sulit terekam dalam arsip resmi.

Dari sini prosumenesia bekerja secara natural dan masif. Warga negara Indonesia, sebagai prosumer, secara sadar maupun tidak menciptakan arsip digital kolektif tentang bangsanya sendiri dengan sangat beragam. 

Apa yang dulu hanya menjadi domain negara, kini terbuka luas melalui partisipasi publik yang semakin demokratis dan inklusif bagi semua lapisan.

Arsip dalam lanskap prosumenesia memiliki ciri partisipatif karena siapa pun bisa memproduksi arsip tanpa batasan birokrasi yang rumit. Sifatnya digital dan waktu nyata sehingga proses penciptaan arsip berlangsung seketika melalui unggahan media sosial atau aplikasi berbasis penyimpanan awan. 

Bentuknya fleksibel dan cair, bisa berupa teks, foto, audio, video, atau kombinasi multimedia yang saling melengkapi dan memperkaya informasi.

Namun arsip prosumenesia juga rentan sekaligus berlimpah karena jumlahnya luar biasa besar tetapi rawan hilang akibat keterbatasan pelestarian digital. 

Teori prosumer yang dikembangkan Toffler kini semakin relevan ketika dikaitkan dengan teori komunikasi kontemporer yang berkembang di era digital. Kita tidak lagi hidup di era komunikasi satu arah, tetapi di era komunikasi banyak arah yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Di Indonesia, masyarakat tidak hanya menonton televisi, membaca surat kabar, atau mendengar radio sebagai konsumen pasif informasi. Mereka juga membuat vlog, podcast, status WhatsApp, hingga utas panjang di media sosial sebagai produsen aktif yang menyebarkan gagasan. 

Semua itu adalah bentuk komunikasi sekaligus penciptaan arsip digital yang terus bertambah setiap detik dan menit tanpa henti.

Fenomena prosumenesia menimbulkan konsekuensi demokratisasi informasi karena wacana publik tidak lagi dikuasai oleh segelintir media besar saja. Masyarakat punya ruang untuk menyuarakan gagasan, aspirasi, dan pengalaman mereka secara langsung kepada khalayak luas tanpa perantara tradisional. 

Meski begitu banyaknya informasi justru menimbulkan fragmentasi narasi dan kebingungan tentang mana arsip otentik dan mana yang manipulatif atau palsu.

Kebutuhan literasi digital menjadi sangat penting agar prosumen tidak terjebak dalam hoaks, misinformasi, atau arsip palsu yang merugikan. 

Dalam perspektif ini, arsiparis dan ahli komunikasi perlu hadir bukan sebagai penghalang kreativitas masyarakat, tetapi sebagai penjaga keaslian dan kebenaran. Mereka berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam mengelola arus besar prosumenesia yang terus mengalir deras setiap hari di ruang digital.

Istilah prosumenesia saya pilih karena fenomena prosumer di Indonesia memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan negara lain. 

Budaya gotong royong digital tampak jelas ketika masyarakat Indonesia gemar berbagi informasi, baik berupa tips wisata, resep makanan, hingga konten edukasi. Ledakan pengguna media sosial menjadikan Indonesia termasuk pengguna aktif terbesar Facebook, Instagram, TikTok, dan WhatsApp di dunia dengan intensitas tinggi.

Hampir setiap momen hidup terarsip secara digital mulai dari hal sepele hingga peristiwa penting yang berdampak luas bagi masyarakat. Dominasi generasi muda menjadikan generasi milenial dan Gen Z sebagai motor utama penciptaan arsip digital yang kreatif dan inovatif. 

Kekuatan narasi lokal juga kuat karena konten prosumenesia sering menampilkan identitas lokal seperti bahasa daerah, tradisi, hingga kearifan lokal yang jarang terdokumentasi negara.

Namun ada pula tantangan serius yang harus dihadapi bersama. Rentannya arsip digital menjadi masalah karena banyak konten hilang akibat akun terhapus, server ditutup, atau platform berganti kebijakan tanpa pemberitahuan. 

Kurangnya standar baku membuat arsip prosumenesia sering tanpa metadata jelas sehingga sulit dilacak dan diverifikasi keasliannya di kemudian hari.

Isu etika dan privasi juga perlu diperhatikan karena tidak semua dokumentasi layak dipublikasikan tetapi terlanjur tersebar dan menjadi bagian arsip digital. 

Momentum Hari Pariwisata Sedunia menghadirkan contoh paling nyata bagaimana prosumenesia bekerja dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. 

Setiap wisatawan kini adalah produsen sekaligus konsumen arsip wisata yang aktif memotret, merekam, mengunggah, sekaligus mengonsumsi konten wisata dari orang lain.

Arsip wisata tidak lagi hanya disusun oleh kementerian atau dinas pariwisata dengan format resmi dan kaku yang sulit diakses masyarakat umum. Arsip tercipta setiap detik melalui unggahan warga digital yang spontan, autentik, dan beragam perspektif dari berbagai sudut pandang pengalaman wisatawan. 

Bahkan banyak destinasi baru di Indonesia justru populer berkat prosumenesia seperti pantai tersembunyi, kafe lokal, hingga spot foto alam indah.

Destinasi-destinasi itu sebelumnya tidak masuk radar pemerintah namun kini menjadi tujuan wisata favorit berkat viral di media sosial. Namun hal ini juga menimbulkan tantangan berupa pariwisata berlebihan akibat viralitas konten digital yang tidak terkendali merusak kelestarian alam. 

Eksploitasi budaya lokal terjadi ketika prosumen mengarsipkan tradisi tanpa pemahaman etis yang memadai tentang makna dan nilai sakralnya bagi masyarakat adat.

Hilangnya otoritas narasi terjadi ketika cerita tentang suatu destinasi lebih dikuasai warga digital ketimbang arsip resmi pemerintah atau ahli. 

Oleh karena itu, peran arsiparis, akademisi, dan pemerintah adalah mengintegrasikan arsip prosumenesia ke dalam narasi pariwisata nasional yang komprehensif. Integrasi dilakukan tanpa menghilangkan keaslian partisipasi masyarakat yang menjadi kekuatan utama gerakan prosumenesia di tanah air tercinta ini.

Sebagai arsiparis, penulis melihat era prosumenesia sebagai peluang sekaligus tantangan yang harus dikelola dengan bijak dan profesional. Pekerjaan arsiparis tidak lagi sebatas menyimpan dokumen resmi di lemari arsip, melainkan juga mengkurasi, mengautentikasi, dan memfasilitasi pelestarian arsip digital publik. 

Arsiparis harus mampu membedakan nilai arsip prosumen yang memiliki nilai sejarah, budaya, atau ilmiah jangka panjang dari sekadar konten hiburan sesaat.

Membangun kolaborasi dengan komunitas, influencer, dan masyarakat lokal menjadi penting untuk mengarsipkan konten yang representatif dan berkualitas tinggi. 

Menguasai teknologi pelestarian awan, forensik digital, dan sistem metadata yang kompatibel lintas platform menjadi keharusan bagi arsiparis modern masa kini. 

Mengedukasi publik juga vital agar masyarakat sadar bahwa setiap unggahan mereka berpotensi menjadi bagian dari arsip bangsa untuk generasi mendatang.

Arsiparis bukan lagi sekadar penjaga lemari arsip di ruang tertutup, tetapi juga mediator komunikasi budaya di era digital yang dinamis. 

Prosumenesia arsip di Indonesia harus dipandang bukan sekadar fenomena digital biasa, melainkan sebuah pergeseran paradigma komunikasi bangsa yang fundamental dan strategis. 

Kita tidak bisa lagi memisahkan arsip resmi dan arsip sosial karena keduanya saling melengkapi dalam membangun identitas nasional yang kokoh.

Sebagai mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi, penulis melihat prosumenesia juga memperluas teori komunikasi bahwa produksi pesan tidak lagi dimonopoli elite. 

Produksi pesan terdistribusi secara horizontal dan melibatkan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi status sosial atau ekonomi. 

Konsekuensinya, arsiparis dan ahli komunikasi harus mengadopsi pendekatan lintas disiplin yang menggabungkan ilmu informasi, teknologi digital, sosiologi, hingga etika komunikasi.

Momentum Hari Pariwisata Sedunia adalah waktu tepat untuk merefleksikan kesiapan kita menjadi bangsa yang bukan hanya pengonsumsi arsip global semata. Kita harus menjadi produsen arsip otentik tentang Indonesia yang kaya budaya, sejarah, dan kearifan lokal yang unik dan berharga. 

Arsip dan prosumenesia adalah dua sisi koin yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun peradaban digital bangsa.

Arsip memberi makna, prosumenesia memberi dinamika dalam proses penciptaan dan penyebaran informasi yang terus mengalir setiap waktu. 

Dalam era digital, bangsa Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun arsip partisipatif yang mencerminkan keragaman budaya, sejarah, dan aspirasi masyarakat. 

Namun peluang itu harus dibarengi dengan tanggung jawab menjaga keaslian, etika, dan keberlanjutan arsip agar bermakna bagi generasi mendatang kita.

Tanpa tanggung jawab itu, prosumenesia hanya akan meninggalkan jejak digital yang tercerai-berai dan mudah hilang tanpa jejak yang berarti. 

Sebaliknya, dengan integrasi yang bijak antara arsip dan prosumenesia, Indonesia dapat membangun warisan digital yang kokoh dan berkelanjutan untuk masa depan. 

Warisan itu bukan hanya untuk generasi kini, tetapi juga untuk generasi mendatang yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan bangsa ini.

Hari Pariwisata Sedunia ini, mari kita jadikan refleksi sebagai panggilan untuk terus memperkuat arsip, mengelola prosumenesia, dan membangun komunikasi sehat. 

Komunikasi yang sehat akan menjadi fondasi peradaban bangsa yang maju, bermartabat, dan mampu bersaing di kancah global dengan identitas kuat.

 

*) Penulis adalah Arsiparis Ahli Muda BPPK sekaligus Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta Wahyu Adi Setyo Wibowo

 

Pewarta: Wahyu Adi Setyo Wibowo *)

Editor : Rachmat Hidayat


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2025