Tempe adalah bagian dari hidup Supini (66) alias Buk Sahro dan suaminya Poniran (73). Karena itu hampir tidak mungkin ia meninggalkan pekerjaan membuat makanan khas Indonesia yang sudah digelutinya sejak puluhan tahun itu. Padahal dari sisi penghasilan, dari tahun ke tahun tidak malah membaik. Saat ini Supini rata-rata berpenghasilan Rp40.000 per hari. Itu merupakan hasil kerja dari pukul 02.00 dini hari hingga pukul 23.00 setiap hari. "Sampai saya tidak kuat lagi bekerja. Ini memang pekerjaan saya dari dulu. Saya datang ke Bondowoso bersama suami pada 1977 lalu juga karena tempe," kata perempuan asal Malang selatan ini ketika ditanya apakah akan tetap setia membuat tempe. Supini adalah salah satu pembuat tempe rumahan di Bondowoso. Tidak ada keterangan pasti mengapa tempe Bondowoso memiliki rasa yang sama dengan tempe yang kesohor rasa gurihnya itu. Kalau Supini yang kini tinggal di Kampung Tenggarang Jawa, Kelurahan/Kecamatan Tenggarang, ini sempat keluar dari dunia tempe, hal itu dilakukannya karena terpaksa. Ibu dari lima anak ini pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya selama satu tahun. Ia mengaku tidak ingat persis tahunnya. Merantau ke Surabaya terpaksa dilakukan karena untuk membuat tempe tidak lagi memiliki modal. Ia dan Poniran saat itu bangkrut. Banyak penyebab kebangkrutan itu. Mulai dari kedelai yang sering gagal menjadi tempe tanpa diketahui sebabnya, sampai karena ditipu orang. Sebagai orang yang puluhan tahun bergelut dengan tempe, kegagalan membuat tempe itu sampai sekarang tidak diketahui penyebabnya. Sementara saat yang sama, Poniran berusaha melebarkan usaha di bidang pertanian. "Saya waktu itu menyewa tanah dengan perjanjian lima kali tanam. Eh, setelah sekali tanam, tanahnya diambil sama orangnya. Saya tidak berbuat apa-apa," kata Poniran menimpali. Kalau Supini dan Poniran mampu menyewa lahan pertanian, itu karena pasangan tersebut sempat merasakan masa jaya sebagai pembuat tempe, yakni sekitar pertengahan 1980-an. Selain uang, ukuran kejayaan itu juga dibuktikan dengan dimilikinya dua sepeda motor bebek buatan tahun 1970. Saat itu tidak semua orang memiliki sepeda motor. "Karena bangkrut saya jadi pembantu, sementara salah satu anak perempuan saya menjadi TKW di Malaysia. Anak saya yang bungsu sekolah sambil ngamen, sementara bapaknya jadi penjaga di perikanan. Kadang hasil ngamennya itu dibuat membeli nasi kemudian dibawa pulang dan makan berdua dengan bapaknya. Pokoknya waktu itu melas," papar perempuan pekerja keras ini. Ia mengaku beruntung karena saat itu sudah berhasil membeli rumah yang ditempatinya sekarang. Sebelumnya, ia berpindah-pindah dari tempat kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Setahun di Surabaya dan setelah terkumpul modal Rp130.000, Supini pulang ke Bondowoso dan memulai lagi usaha tempe dari nol. Dengan modal seadanya, ia bisa kembali lagi ke dunia tempe karena harga kedelai masih Rp3.500 perkilogram. Di tengah semakin ketatnya persaingan usaha pembuatan tempe, Supini harus pintar-pintar mengikat pelanggan. Ia memang tidak menjual langsung ke konsumen, tapi kepada pedagang sayur. Setiap tahun ia biasa memberi upah sekadarnya kepada pedagang sayur langganannya itu agar tidak berpaling ke pembuat tempe lain. Untuk melayani para pelanggannya itu, Supini harus sudah bangun pukul 02.00 untuk menata tempe-tempe buatannya. Pukul 03.00 ia sudah berada di Pasar Tenggarang yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya. Pukul 08.00 ketika tempe sudah habis, ia pulang. Sampai di rumah, ia memasak kedelai untuk dibuat tempe esok lusa. Sementara yang esok hari sudah dimasak sehari sebelumnya dan malam hari dibungkus dalam plastik-plastik. Pukul 13.00 kedelai yang sudah direbus digiling dan pukul 15.00 kedelai-kedelai itu dibuang kulitnya. Sekitar pukul 16.00 selesai. Kemudian ia beristirahat hingga selesai maqhrib. Sehabis maqrib pekerjaan dimulainya lagi, yakni proses peragian dan kemudian membungkus kedelai ragian itu dalam plastik hingga pukul 23.00. Begitulah rutinitas Supini dan suaminya. Ia bersama suaminya meniti usaha tempe di atas kesetiaan agar hidup keluarganya terus berjalan. Menghadapi harga kedelai yang kini melambung, dirinya harus menyiasati dengan mengurangi ukuran dalam bungkusan plastik. Hal itu dilakukan agar pelanggan tidak mengeluh dibandingkan dengan jika memilih menaikkan harga. "Tapi untuk penghasilan tentu menurun. Kalau dulu dengan harga kedelai Rp5.800 perkilogram, untungnya Rp1.000 perkilogram kedelai, sekarang berkurang, mungkin hanya Rp750. Mau bagaimana lagi, wong ini sudah pekerjaan saya sejak dulu," tuturnya, lirih. Supini mengemukakan bahwa saat bulan puasa, dirinya mengurangi jumlah produksi, yakni hanya 40 kg per hari, sementara di luar puasa, setiap hari menghabiskan 50 kg. Dengan produksi setiap hari rata-rata 50 kg, maka penghasilan Supini sebelum kedelai naik, rata-rata Rp50.000 per hari. Namun, seiring harga kedelai naik, penghasilan itu berkurang. Mengenai alternatif bahan selain kedelan, Supini mengemukakan bahwa warga di Kabupaten Bondowoso kurang berminat mengonsumsi tempe yang terbuat dari kacang kara, sehingga produsen tidak lagi memproduksinya. "Saya dulu tahun 80-an pernah buat tempe benguk (salah satu jenis kara), tapi tidak ada masyarakat yang mau membeli, akhirnya tetap menggunakan kedelai," ucapnya. Perempuan gigih ini mengemukakan bahwa seandainya tempe benguk laku di masyarakat, maka di saat harga kedelai melambung, dirinya bisa menggunakan bahan alternatif. "Saya juga pernah membuat tempe bongkel yang terbuat dari ampas kacang tanah, tapi tidak laku juga. Orang di sini, katanya, takut memabukkan," tukasnya. Mengenai bantuan pemerintah, ia mengaku sejak dulu memang tidak pernah menggantungkan usahanya daru pemerintah. Hanya saja beberapa tahun lalu ia pernah mendapat bantuan alat penggiling kedelai yang digunakannya hingga kini.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012