Surabaya - Yayasan Peduli Kasih Surabaya menggandeng sejumlah komunitas dan profesi untuk memberikan pelayanan gratis kepada anak berkebutuhan khusus dari golongan keluarga menengah ke bawah.
Ketua Yayasan Peduli Kasih dr Sawitri Retno Hadiati di Surabaya, Sabtu, mengemukakan, saat ini masih banyak anak berkebutuhan khusus yang kondisi ekonomi orang tuanya pas-pasan, tidak mendapatkan pendidikan atau penanganan yang semestinya.
"Memang ada sekolah luar biasa yang memberikan keringanan biaya sekolah, tetapi alokasinya belum merata dan belum tentu ada di setiap kecamatan. Kami mencoba memfasilitasi kebutuhan tersebut, kendati kelasnya masih terbatas," katanya di sela-sela dialog tentang anak berkebutuhan khusus.
Yayasan Peduli Kasih yang baru berdiri sekitar empat bulan memberikan pelayanan gratis dengan difasilitasi dosen dari tiga perguruan tinggi negeri di Surabaya, yakni Universitas Airlangga (Unair), Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
"Orang tua anak berkebutuhan khusus yang bergabung dalam komunitas ini memang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi biasa dan pendapatannya tidak cukup untuk membayar asisten khusus. Saat ini ada sekitar 25 orang tua yang anaknya bergabung," ujar Sawitri yang juga dosen Fakultas Kedokteran Unair itu.
Selain pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus, lanjut Sawitri, pihaknya juga memberikan pelatihan kepada para orang tua mengenai cara penanganan anak-anak tersebut, termasuk metode pengembangan diri mereka.
"Pengembangan diri menjadi dasar pembentukan karakter atau semacam pendekatan bagi kesiapan anak berkebutuhan khusus menerima materi dan intervensi. Jika ditangani dengan baik, anak berkebutuhan khusus bisa memiliki kemampuan seperti anak normal, bahkan ada yang melebihi," ujarnya.
Sawitri menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus terbagi dalam dua kategori, yakni kelainan mental dan fisik. Sementara Kementerian Sosial membaginya dalam lima kategori, masing-masing penyandang kelainan tubuh, kelainan bekas penyakit kronis, tuna netra, tuna rungu wicara, dan kelainan mental.
Mengutip data Indonesia Society for Special Needs Education (ISSE), tambah Sawitri, saat ini terdapat lebih kurang 2,6 juta orang ABK di Indonesia yang berusia sekolah, namun hanya 1,83 persen yang mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah khusus.
Sementara berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah sekitar 1,25 juta orang. Dari jumlah itu, hanya sekitar 55 ribu yang tertampung di sekolah luar biasa dan lebih kurang 6.000 menikmati sekolah inklusi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
Editor : Didik Kusbiantoro
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012