Tanggal 20 Mei 1908 atau 104 tahun lalu, di negeri ini telah berdiri sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo. Organisasi tersebut merupakan perkumpulan kaum muda Indonesia. Mereka berpendidikan dan peduli terhadap nasib bangsa. Pada masa itu, kaum terpelajar bangkit kesadarannya, bangkit rasa kebangsaanya untuk menentang penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya bercokol di Tanah Air. Cikal bakal inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kebangkitan nasional adalah perihal bangkitnya seluruh rakyat Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa melawan dan mengusir penjajah melalui berbagai cara. Jika di era penjajahan, kebangkitan dimaknai dengan bangkitnya rasa kebangsaan untuk menentang penjanjahan, sementara di era saat ini barangkali kebangkitan bisa dimaknai sesuai kondisi zamannya. Kebangkitan berarti bangun dari keterpurukan, yakni keterpurukan dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh, era reformasi yang bergulir sejak 1998 sebenarnya telah menumbuhkan harapan-harapan besar bagi berkembangnya iklim demokratisasi di Tanah Air. Namun, ekspektasi besar tersebut belum sepenuhnya terwujud. Harapan besar dalam penegakan hukum, pemerataan hasil-hasil pembangunan, pemerataan memperoleh pendidikan yang memadai, pemerataan dalam memperoleh layanan kesehatan yang wajar, dan lain-lain, tampaknya masih perlu terus diperjuangkan. Pemberitaan di berbagai media massa di Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir barangkali bisa menjadi gambaran mengenai keterpurukan yang dialami negeri ini. Praktik korupsi seperti menyeruak dimana-mana, dan yang memprihatinkan, orang-orang yang diduga korup tersebut adalah kalangan berpendidikan, terpelajar. Upaya memberantas praktik korupsi memang telah dilakukan, tapi jelas tidak mudah. Korupsi konon telah membudaya. Akar masalah korupsi diduga rendahnya moralitas. Krisis keteladanan tampaknya telah akut. Kementerian pendidikan dan kebudayaan telah mewacanakan dimasukkannya kurikulum antikorupsi di lembaga pendidikan. Harapannya, agar anak-anak bangsa sejak dini memahami bahwa korupsi itu perbuatan tercela dan melawan hukum. Sementara itu, di dunia pendidikan, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sempat menjadi polemik berkepanjangan, apalagi ketika itu UN menjadi penentu kelulusan siswa. Pelaksanaan UN tampaknya telah menjadi momok menakutkan. Stres, takut tidak lulus selalu menghantui para siswa saat menghadapi UN. Padahal, setelah lulus dari pendidikan sebelumnya, khususnya para lulusan sekolah lanjutan tingkat atas, belum tentu bisa ditampung di perguruan tinggi. Apalagi ditampung di fakultas tertentu, seperti Fakultas Kedokteran, yang biayanya sudah pasti tidak akan terjangkau masyarakat berpenghasilan pas-pasan. Program Bidik Misi oleh perguruan tinggi agaknya juga tidak banyak membantu sebagian lulusan SLTA untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, apalagi jika kemampuan akademis mereka biasa-biasa saja. Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan mampu saja? Sedangkan dalam dunia kesehatan, fenomena yang sempat mencengangkan adalah ketika Ponari, seorang anak kecil dari Jombang memberi layanan pengobatan dengan sebutir batu miliknya. Masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Timur (Jatim) dan bahkan luar Jatim berbondong-bondong datang ke sana. Alasan mereka datang ke rumah Ponari adalah berharap memperoleh kesembuhan melalui media yang dimiliki anak kecil tersebut. Upaya tersebut dilakukan setelah merela mencari kesembuhan kemana-mana. Apalagi biayanya juga sangat terjangkau. Artinya, alasan keterjangkauan dari sisi finansial tetap menjadi alasan masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan. Program Jamkesmas dan Jamkesda diakui cukup membantu masyarakat memperoleh layanan kesehatan. Tapi program ini juga tidak mampu menyasar seluruh masyarakat kurang mampu. Bahkan, kemudian muncul ungkapan yang cukup menyesakkan hati , " Orang Miskin Dilarang Sakit". Ungkapan ini tentu untuk menggambarkan bagaimana mahalnya layanan kesehatan di negeri ini sehingga masyarakat miskin seperti tak berhak memperolehnya. Di dunia kerja, banyak masyarakat kita menganggur dan harus mengadu nasib di negeri orang menjadi TKI, kendati kadang nyawa mereka pertaruhkan. Lapangan kerja sangat terbatas. Perlindungan TKI di luar negeri juga belum maksimal. Kabar TKI tewas di tempat kerja cukup sering menghiasi pemberitaan media massa. Setelah 104 tahun peringatan Hari Kebangkitan Nasional, tentu kita tidak berharap peringatan itu hanya berhenti sebatas seremonial belaka, tidak menjadi momentum bagi bangkitnya negeri ini dari berbagai keterpurukan. Jika dulu kebangkitan nasional muncul karena adanya kesadaran bersama melawan tekanan kolonialisme asing, maka sudah sewajarnya jika kini kesadaran itu muncul melawan tekanan dari luar dalam bentuk hegemoni kapitalisme global. Kebangkitan juga berarrti kesadaran untuk melawan praktik korupsi dan praktik-praktik yang menyengsarakan rakyat. Otonomi daerah seyogyanya memunculkan pula "kebangkitan lokal" untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan yang menyejahterakan rakyat, bukan justru memunculkan "raja-raja kecil" yang saling bersaing memperkaya diri sendiri, sementara masyarakatnya melarat dan terbelakang. Rasanya belum terlambat untuk berbuat lebih baik bagi negeri ini. Selamat memperingati Hari Kebangkitan Nasional...Jayalah Negeriku .. Sejahteralah Bangsaku... (slamethp@yahoo.com.au) (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012