Oleh Musyawir
Pasuruan - Rusna usianya baru sekitar 40 tahun, tapi warga Dusun Krajan, Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan itu telah enam kali menikah. Kendati demikian, Rusna tidak pernah memiliki akta nikah, karena pernikahannya dilaksanakan secara siri.
Dari enam kali pernikahan secara siri itu, Rusna mempunyai seorang keturunan dari suaminya yang kelima, Samak. Sebelumnya Rusna pernah dinikahi secara siri oleh Holili, Muhammad, Jamin, dan Tarimin.
Setelah ditinggal para suaminya sebelumnya yang berasal dari luar Pasuruan atau warga sekitar menyebutnya "tamu", Rusna kemudian nikah siri lagi dengan Karim, warga kampung sendiri sampai kini.
Rusna mengaku mau melakukan nikah siri berulang kali karena pertimbangan ekonomi, sehingga begitu ditinggal oleh suami-suami sebelumnya, langsung nikah siri lagi dengan pria lain.
Celakanya, meski nikah siri yang dijalani Rusna atas pertimbangan ekonomi, kondisi ekonomi perempuan yang kini beranak satu itu tak pernah beranjak dari kemiskinan. Bahkan kondisi ekonomi suaminya yang menikahi siri terakhir juga sangat memprihatinkan.
Pekerjaan Karim, suaminya yang terakhir hanya seorang tukang anyam bambu yang hasilnya hanya cukup untuk sekadar membeli beras. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan lauk pauknya Rusna dan suaminya sering mendapat bantuan dari tetangganya.
Sehingga anak semata wayangnya, M. Udin, yang merupakan hasil keturunan pernikahan siri (nasab) dari suaminya yang kelima, Samak, kini dititipkan di sebuah panti asuhan.
M. Udin kini telah berusia 14 tahun dan duduk di kelas 3 Madrasah Tsanawiyah, setingkat SMP.
Keluarga Rusna bisa disebut sebagai potret korban nikah siri yang lazim terjadi di wilayah Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Banyak perempuan di kampungnya yang mengalami nasib serupa.
Lain halnya, Romlah (40), warga Dusun Krajan, Desa Kalisat, Kecamatan Rembang yang kini menjadi janda juga telah menikah siri lima kali masing-masing dengan Kurli, sawali, Holil, Mujib, dan Suja'i.
Dari kelima pernikahan sirinya itu Romlah mempunyai dua anak. Anak pertama, Suada yangkini telah berusia 22 tahun merupakan hasil keturunan dari suami ketiga, Holil.
Sedangkan anak kedua, M. Fachri Abdullah yang kini berusia 3 tahun merupakan keturunan dari suami kelima, Suja'i.
Sedangkan Khoiro (23), juga warga Dusun Krajan, Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan juga telah menikah siri empat kali, masing-masing dengan Rahmat, Taji, Husen, dan Subadar. Khoiro mengawali nikah siri ketika masih berumur 14 tahun.
Dari keempat pernikahan sirinya itu Khoiro mempunyai dua anak. Anak pertama, Bustanul Arifin(12) yang kini duduk di SD buah dari pernikahan suami ketiga, Husen. Sedangkan anak kedunya, Khoirul Ibad (2) buah dari pernikahan dengan suami yang keempat, Subadar.
Rugikan Perempuan
Konselor Yayasan Islamic Center for Democracy and Human Right Empowerment (ICDGRE) Pasuruan, Aprilia Mega Rosdiana yang aktif mendampingi kaum perempuan di pedesaan mengatakan, pernikahan siri yang terjadi di wilayah Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan lebih banyak merugikan kaum perempuan sekaligus menelantarkan anak keturunannya.
Para perempuan miskin di pedesaan yang sering diiming-imingi materi untuk mau menjalani nikah siri, nyaris status eknominya tak pernah beranjak naik menjadi lebih sejahtera.
Pernikahan siri yang tidak dicatatkan melemahkan posisi perempuan dari sisi hukum. Para perempuan yang ditinggal suami sirinya tidak mempunyai kekuatan untuk menuntut hak-haknya.
Ditambah lagi jika hubungan sirinya menghasilkan keturunan. Beban ekonomi keluarga semakin bertambah. Sementara nasib para nasab (keturunan) dari hasil penikahan siri juga terabaikan.
Anak-anak dari hasil pernikahan siri dipastikan telah kehilangan hak-haknya. Diantaranya, kehilangan haknya untuk mengetahui asal-usul dirinya (keturunan) yang dibuktikan dengan kata kelahiran.
Koordinator Yayasan ICDHRE Pasuruan, Ali Sodikin menyebutkan, di Kabupaten Pasuruan kini terdapat 4.741 pasangan yang telah menikah, tapi tidak tercatat secara hukum negara.
Dari jumlah tersebut terbesar di Kecamatan Rembang yang dikenal sebagai kawasaan nikah siri di Kabupaten Pasuruan. Ali Sodikin menyebut, angka tersebut sifatnya dinamis, karena tidak semua pernikahan siri bisa terpantau.
Permasalahan lanjutan yang kemudian muncul, anak-anak hasil pernikahan yang tidak tercatat secara hukum negara maka akan mengalami kesulitaan untuk mendapatkan akta kelahiran.
Di Kabupaten Pasuruan sedikitnya ditemukan 20 anak hasil pernikahan siri menagalami kesulitan dalam mengurus akta kelahiran. Akibatnya ketika anak berada dalam wilayah hukum, dan mengikuti proses hukum, hak-hak anak berpotensi untuk terlanggar.
"Fakta-fakta tersebut menunjukkan adanya pengabaian dan pelanggaran akan hak-hak anak," kata Ali Sodikin.
Pengabaian dan pelanggaran hak-hak dasar anak dapat menjadi sumber dan mata rantai serta lingkaran yang sulit terputus, sehingga membentuk budaya yang tidak ramah bagi anak.
Akibatnya, ketika hak dasar anak tidak terpenuhi, dalam perkembangannya akan mencari kepuasan melalui cara-cara yang kurang tepat, seperti terlibat dalam kriminalitas.
Anak-anak juga mengalami kesulitan untuk memperoleh akses terhadap pendidikan dan kesehatan, sehingga tumbuh kembang anak menjadi terhambat untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya, katanya.
Yang berarti pula anak akan kehilangan haknya untuk memperoleh yang terbaik dalam hidupnya. Dalam skala besar akan menjadi anak bangsa yang kurang kreatif, dan tidak mampu mempertahankan diri, serta hilang rasa nasionalismenya.
Telah berulang kali "bahtsul masail" tentang nikah siri digelar. Namun pembahasannya masih sering berkutat pada sekitar sah tidaknya nikah siri. Sebaliknya hak dan kewajiban pasangan nikah siri untuk melanjutkan keturunan lebih sering luput dari pembahasan, akibatnya hak-hak perempuan dan keturunannya menjadi terabaikan.
Kepastian Hukum
Memang telah ada secercah harapan bagi para pasangan nikah siri dan keturunannya di Kabupaten Pasuruan. Untuk memperoleh kepastian hukum negara bagi pasangan pasangan nikah siri di berbagai wilayah di Kabupaten Pasuruan dinikahkan kembali dan dicatatkan ke kantor Urusan Agama setempat secara massal.
"Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi keinginan para pasangan nikah siri yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anaknya," kata Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Pasuruan, Elvira Sahara Dade Angga.
Kegiatan nikah massal terhadap para pasangan siri di Kabupaten Pasuruan telah dilaksanakan di beberapa wilayah, diantaranya di Kecamatan Pohnjentrek telah dinikahkan sebanyak 63 pasang, di Kecamatan Wonorejo sebanyak 77 pasang, dan di Kecamatan Rembang sebanyak 55 pasang.
Hal tersebut dibenarkan Camat Pohjentrek, Zubad. Ia menyebutkan, kegiatan nikah massal terhadap para pasangan siri merupakan keinginan warga yang selama ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan akta kelahiran anaknya.
Hal senada juga diungkapkan, Kepala Desa Susukanrejo, M. Sugiyanto. Ia yang juga menjadi salah satu pasangan peserta nikah massal mengungkapkan, bahwa dirinya yang melakukan nikah siri megalami kesulitan untuk mendapatkan akta kelahiran anak tunggalnya yang kini berumur tiga tahun.
Sugiyanto mengaku terpaksa menikah secara siri karena istrinya saat menikah dulu masih di bawah umur. Untuk itu ia bersama anggota warga desa lainnya juga ikut nikah massal di Kantor Kecamatan Pohjnetrek.
Bupati Pasuruan, Dade Angga menegaskan, nikah massal yang dilaksanakan di berbagai wilayah di Kabupaten Pasuruan saebagai upaya solusi agar pasangan yang telah telanjur nikah siri bisa secara resmi dicacatkan ke Kantor Uruisan Agma setempat agar bisa mendapatkan akta nikah.
Diakuinya, selama ini para pasangan siri kesulitan untuk mendaparkan akta kelahiran anaknya, karena harus dilampiri akta nikah orang tuanya.
Bupati menilai momentum tersebut sangat penting dan akan dilanjutkan dengan menjalin kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, anak-anak dari pasangan siri bisa segera mendapatkan akta kelahiran untuk menunjang masa depannya.
Upaya yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Pasuruan terhadap pasangan siri pun gayut dengan kasus terbaru, yakni upaya yang dilakukan Machicha Mochtar dalam memperjuangkan hak-hak anaknya sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan MK yang mengabulkan permohonan uji materiil atas Pasal 43 (1) UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan dinilai sebagai angin segar terhadap perlindungan anak, karena putusan tersebut menunjukkan bahwa hukum masih berfihak untuk keadilan. Anak mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan, pengasuhan,dan mengetahui asal usulnya yang jelas bapak biologisnya.
Dengan adanya keputusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi tersebut, maka setiap anak yang dilahirkan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya dengan dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berdasar alat bukti lain yang sah menurut hukum.
Putusan MK tersebut merupakan jawaban atas diskriminasi terhadap perempuan dan anak. Putusan MK tersebut juga dapat menghindarkan ibu dari ancaman pidana, karena selama ini bagi ibu yang ingin mencantumkan nama bapak psikologis di akta kelahiran rentan terhadap ancaman pidana dengan pasal pencemaran nama baik dan memalsukan dokumen.
Namun, diakui berbagai kalangan bahwa Keputusan MK masih menyisakan masalah teknis dalam pelaksanaannya dan perlu segera dilakukan koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Mahkamah Konstitusi, MUI dan Ormas Islam, untuk dicarikan jalan keluar dalam penataanya agar terdapat sinergi antara hukum syari'at dan hukum legal formal kenegaraan.
Diakui pula upaya nikah ulang pasangan siri secara massal yang dilalukan Pemerintah Kabupaten Pasuruan, maupun keputusan MK belum menjamin hak-hak perempuan korban nikah siri, serta anak keturunannya bakal terpenuhi.
Nasib nasab dari hasil pernikahan siri yang kedua orang tuanya masih utuh berpasangan, atau diketahui alamatnya secara pasti akan mudah diatasi. Namun nasib nasab bagi hasil pernikahan siri yang lelakinya pendatang, dan tidak jelas alamatnya seperti yang banyak terjadi wilayah Kecamatan Rembang jelas masih akan menghadapi banyak kendala.
Ini peringatan bagi lelaki yang ingin menikah siri. Pernikahan yang merupakan lembaga mulia dan suci, jangan dibelokkan tujuannya menjadi sekadar sebagai pemuas nafsu belaka. Itu sama artinya dengan "ndeder kere" (menyemai kemiskinan).(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012