Ilmu kesadaran? Memangnya selama ini kita tidak sadar?

Begitulah kesan dan pertanyaan yang muncul ketika suatu kelas ilmu kesadaran dimulai atau dikenalkan.

Belajar ilmu kesadaran hakikatnya adalah belajar mengenal diri. Siapa sesungguhnya diri kita ini dan apa tugas kita dihadirkan Tuhan menjadi penduduk Bumi?

Secara sederhana ilmu kesadaran adalah belajar mengenal tentang "diri", "Aku", dan "orang". Diri adalah jiwa, bagian dari manusia yang tidak tampak, namun keadaannya sangat menentukan pola dan realitas hidup yang dialami oleh manusia. Artinya yang tampak sesungguhnya bersumber dari alam yang tidak tampak.

Kalau jiwa berada dalam maqom (kedudukan) kesadaran tinggi, maka realitas yang tampil dalam kehidupan seseorang adalah kebaikan-kebaikan dan keberlimpahan.

Sebaliknya, jika hidup kita penuh masalah dan penderitaan, maka saatnya kita menyelami keadaan diri. Menelisik keadaan dominan pada diri yang dialami sehari-hari.

Selanjutnya adalah "Aku" (ruh) yang merupakan aspek spiritual dan sejatinya diri. Aku  membawa sifat-sifat Allah yang ditiupkan kepada manusia, sedangkan "orang" menunjuk pada diri kita sebagai tubuh, dengan perangkat pikiran dan perasaan.

Pembalajaran ilmu kesadaran yang merupakan program dari Komunitas Reboan Majelis Ilmu (MI) di Kabupaten Sumenep, 4-5 Mei 2024 membuktikan bahwa ilmu ini bisa dipelajari oleh siapa saja, bahkan mereka yang buta huruf, sekalipun.

Ketika Komunitas Reboan membersamai masyarakat Sumenep, dengan tingkat pendidikan formal beragam, mulai yang tidak pernah mengenyam pendidikan dasar atau SD, hingga yang bertitel magister.

Salah satu tokoh Madura yang telah lama belajar ilmu kesadaran dan menjadi salah satu mentor di Komunitas Reboan MI Madura, KH Sunardi Hasan menemukan pola penjelasan yang sangat mengena bagi masyarakat Madura, terutama yang usianya sudah sepuh dan tidak bisa baca tulis huruf latin.

Kiai Sunardi yang berasal dari Kabupaten Situbondo itu menjelaskan "diri" sebagai aba', "Aku" sebagai oreng (orang/yang ruh) dan "orang" sebagai orong (bungkus/tubuh). Penjelasannya adalah, diri ini memiliki dua pilihan untuk bersandar atau pendasaran, yakni ke "Aku" (ruh) atau ke "orang" (tubuh). Pilihan itu mengandung konsekuensi masing-masing bagi kehidupan kita.

Kalau "diri" terlalu, bahkan selalu, bersandar pada "orang" (tubuh), maka kehidupan yang kita hadapi akan kacau dan penuh penderitaan, karena kita keluar dari kodrat sejatinya dalam bersandar. Sebaliknya, kalau pendasaran "diri" sudah sejalan dengan rancangan Agung Tuhan, yakni selalu bersandar pada "Aku", maka kualitas hidup kita akan penuh dengan keberlimpahan dan kebahagiaan.

Ketika masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang rendah belajar langsung ke pengampu ilmu kesadaran di Indonesia, Bang Aswar (pendiri Pure Consciousness Indonesia/PCI), terkadang kesulitan mengikuti serta memahami.

"Tapi ketika dijelaskan dengan versi Bahasa Madura, mereka menjadi sangat antusias, dan berkata, 'Kalau begitu, ilmu kesadaran ini sangat penting kita pelajari. Ini aslinya adalah ilmu kuno dari leluhur kita'. Alhamdulillah, antusiasme saudara kita di Madura, khususnya di Sumenep, semakin tinggi untuk belajar dan praktik mengenai ilmu kesadaran ini," kata Kiai Sunardi.

Dalam versi Bahasa Madura, Kiai Sunardi menjelaskan kalau abe' selalu bersandar pada orong (wadah/tubuh), maka perjalan hidup akan penuh dengan guncangan. Karena itu, segeralah belajar untuk segera berubah mendasarkan abe' pada oreng (Aku/ruh).

Selama ini, kita terbiasa menyandarkan semua persoalan dengan menggunakan akal dan perasaan (secara sederhana kita sebut ego), sehingga kehidupan di hadapan kita penuh konflik dan relasi kuasa atas satu kepada yang lain.

Sebaliknya, jika abe' selalu disandarkan pada ruh, maka hidup akan teralami dengan keadaan cinta kasih. Kita akan selalu dipertemukan dengan keadaan yang mendamaikan, dan sebaliknya, kita juga akan selalu terbimbing untuk memeragakan sifat cinta kasih kepada siapapun.
 
Pengampu ilmu kesadaran di Komunitas Reboan Majelis Ilmu (MI) Prof Ridho BAyuaji, ST, MT, PhD (kaos hitam), saat membersamai warga secara personal untuk belajar ilmu kesadaran di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, Sabtu (4/5/2024) malam. ANTARA/Masuki M. Astro

 
Penggerak dan pengampu ilmu kesadaran dari Komunitas Reboan Majelis Ilmu (MI) Prof Ridho Bayuaji, ST, MT, PhD, menjelaskan bahwa budaya di Suku Madura tergolong istimewa karena keteguhan masyarakatnya untuk memegang teguh nilai-nilai budaya tersebut dimanapun mereka berada.

Dengan mental seperti itu, sudah waktunya menggunakan bahasa Madura menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk dalam menyebarkan ilmu kesadaran. Karena itulah dia berharap semakin banyak masyarakat di Pulau Madura yang tercerahkan yang kemudian menularkan ilmu ini kepada masyarakat lainnya.

"Dengan semangat inilah tim mentor Komunitas Reboan Majelis Ilmu hadir di Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep. Kami berikhtiar membersamai saudara-saudara di Madura memprogresifkan jiwanya," kata guru besar Departemen Teknik Infrastruktur Sipil di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini, saat ditemui pada kegiatan Komunitas Reboan MI di Sumenep.

Tim Komunitas MI sangat gembira melihat antusias warga Sumenep untuk belajar meningkatkan kualitas jiwanya, meskipun dari mereka ada yang hanya bisa berbahasa Madura.

"Alhamdulillah, tim komunitas banyak juga yang bisa berbahasa Madura, sehingga komunikasi menjadi lancar," katanya.

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024