Amanat reformasi 1998 adalah pemberantasan KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Utamanya adalah pemberantasan korupsi yang dirasakan sebagai "komorbid" bangsa Indonesia di zaman Orde Baru.
Setelah reformasi berjalan 25 tahun korupsi makin marak, walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah lahir dari kandungan reformasi. Bahkan semakin banyak pejabat penyelenggara negara yang telah mendekam di hotel prodeo karena tertangkap melakukan tindak pidana korupsi.
Kehadiran tiga lembaga penegakan hukum dan pemberantasan korupsi seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian RI yang hadir diseluruh Indonesia dengan anggaran operasional yang tinggi tidak menjamin korupsi di Indonesia akan berhenti.
Demokratisasi di Indonesia telah menghasilkan biaya politik yang tinggi. Biaya tersebut hanya bisa ditopang oleh sumbangan (yang tidak transparan) dan sumber dana dari tindakan korupsi, apa lagi ditengarai adanya pungutan pungutan oleh partai politik bagi para calon pejabat tinggi negara (calon legislatif, wali kota, bupati, gubernur, sampai presiden) yang mengharapkan dukungan untuk diusung oleh partai politik.
Praktik-praktik tersebut merupakan sinyalemen yang hanya didengar dan dilihat akan tetapi tidak dapat dipegang. Namun, sinyalemen tersebut menjadi relevan ketika banyak pejabat negara yang tertangkap dan dihukum akibat tindak pidana korupsi.
Ada satu pertanyaan yang sulit dan sampai saat ini belum dapat terjawab secara tuntas? Siapa yang bertanggung jawab terhadap tindakan korupsi pejabat penyelenggara negara yang semakin marak? Apakah Presiden RI harus bertanggung jawab? Atau adakah pejabat yang berani bertanggung jawab dan menjamin korupsi tidak akan terjadi lagi?
Menurut hemat saya, partai politik yang harus bertanggung jawab jika ada kader mereka yang diusung menjadi pejabat tinggi dan terpilih, kemudian pejabat tersebut dihukum karena terlibat tindakan korupsi.
Partai politik tidak bisa mengelak dengan mengatakan yang korupsi adalah oknum padahal mereka adalah kader partai atau individu yang disokong dan diusulkan oleh partai politik.
Dengan demikian partai politik tidak akan sembarangan mengusung calon pejabat dan akan menyeleksi dengan sangat hati hati, serta meninggalkan praktek money politic dengan menjual kekuasaan mereka untuk mengusung calon pejabat.
Jangan sampai partai politik cuci tangan padahal mereka yang telah menikmati keuntungan dari transaksi politik tersebut.
Proposisi tersebut sangat masuk akal dan sesuai dengan kaidah tata kelola yang baik yaitu prinsip reward and punishment untuk menciptakan fairness dan prinsip kehati-hatian, sekaligus menciptakan deterrent effect atau pencegahan yang efektif.
Pertanyaannya apakah bisa kita menghukum partai politik dan hukuman semacam apa yang harus diterapkan?
Hukuman yang dapat dan mudah diterapkan kepada partai politik, yaitu seperti pemberian kartu merah kepada pemain sepak bola yang melakukan pelanggaran berat. Kartu merah tersebut akan membuat seluruh anggota tim sepak bola merasakan hukuman karena pemain andalannya tidak diperbolehkan ikut bermain dalam pertandingan selanjutnya.
Dengan demikian jika ada pejabat penyelenggara negara yang diusung oleh partai politik melakukan tindak pidana korupsi, maka partai politik pengusung harus bertanggung jawab dan dihukum untuk tidak boleh ikut pemilihan di Daerah Pemilihan (Dapil) yang bersangkutan untuk periode pemilu/pilkada yang akan datang.
Contohnya, jika ada pejabat gubernur yang diusung oleh dua partai politik berhasil menjadi Gubernur dan ternyata Gubernur tersebut kemudian terlibat tindak pidana korupsi pada saat menjabat, maka partai politik yang mengusung tidak diperkenankan untuk mengusung calon Gubernur pada pilkada yang akan datang dan seterusnya. Hal yang sama juga diberlakukan pada anggota DPRD dan DPR RI.
Peraturan tersebut adalah sebagai sistem pertanggungjawaban partai politik kepada rakyat yang telah memberikan mandat kekuasaan untuk bekerja demi kepentingan rakyat sekaligus akan menghilangkan praktek money politic jual beli jabatan dan utamanya adalah pemberantasan korupsi yang efektif.
Jika sistem reward dan penalty tersebut tidak diterapkan maka jawaban terhadap pertanyaan sebelumnya yaitu “siapa yang bertanggung jawab terhadap maraknya korupsi di Indonesia?” tidak akan pernah terjawab.
Kesulitan yang akan dihadapi adalah kemungkinan tidak adanya kemauan partai politik dan DPR RI untuk membuat undang undang. Namun inilah saatnya ketika mereka membutuhkan suara rakyat melalui pemilu 5 tahunan.
Para pasangan calon presiden dan wakil presiden serta partai politik harus dipaksa untuk memberikan komitmen untuk membuat undang undang tersebut.
Hubungan partai politik dan pejabat penyelenggara negara yang diusung bahkan sering disebut “Petugas Partai” dapat diumpamakan sebagai berikut: “Tingkah laku anak kita mempunyai imbas bagi orang tua, tingkah laku anak yang buruk orang tua ikut terdampak buruk.’ Atau dalam pepatah Jawa Kuno dikatakan “Anak polah bapa kepradah.”
*) Penulis adalah mantan menteri BUMN
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Setelah reformasi berjalan 25 tahun korupsi makin marak, walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah lahir dari kandungan reformasi. Bahkan semakin banyak pejabat penyelenggara negara yang telah mendekam di hotel prodeo karena tertangkap melakukan tindak pidana korupsi.
Kehadiran tiga lembaga penegakan hukum dan pemberantasan korupsi seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian RI yang hadir diseluruh Indonesia dengan anggaran operasional yang tinggi tidak menjamin korupsi di Indonesia akan berhenti.
Demokratisasi di Indonesia telah menghasilkan biaya politik yang tinggi. Biaya tersebut hanya bisa ditopang oleh sumbangan (yang tidak transparan) dan sumber dana dari tindakan korupsi, apa lagi ditengarai adanya pungutan pungutan oleh partai politik bagi para calon pejabat tinggi negara (calon legislatif, wali kota, bupati, gubernur, sampai presiden) yang mengharapkan dukungan untuk diusung oleh partai politik.
Praktik-praktik tersebut merupakan sinyalemen yang hanya didengar dan dilihat akan tetapi tidak dapat dipegang. Namun, sinyalemen tersebut menjadi relevan ketika banyak pejabat negara yang tertangkap dan dihukum akibat tindak pidana korupsi.
Ada satu pertanyaan yang sulit dan sampai saat ini belum dapat terjawab secara tuntas? Siapa yang bertanggung jawab terhadap tindakan korupsi pejabat penyelenggara negara yang semakin marak? Apakah Presiden RI harus bertanggung jawab? Atau adakah pejabat yang berani bertanggung jawab dan menjamin korupsi tidak akan terjadi lagi?
Menurut hemat saya, partai politik yang harus bertanggung jawab jika ada kader mereka yang diusung menjadi pejabat tinggi dan terpilih, kemudian pejabat tersebut dihukum karena terlibat tindakan korupsi.
Partai politik tidak bisa mengelak dengan mengatakan yang korupsi adalah oknum padahal mereka adalah kader partai atau individu yang disokong dan diusulkan oleh partai politik.
Dengan demikian partai politik tidak akan sembarangan mengusung calon pejabat dan akan menyeleksi dengan sangat hati hati, serta meninggalkan praktek money politic dengan menjual kekuasaan mereka untuk mengusung calon pejabat.
Jangan sampai partai politik cuci tangan padahal mereka yang telah menikmati keuntungan dari transaksi politik tersebut.
Proposisi tersebut sangat masuk akal dan sesuai dengan kaidah tata kelola yang baik yaitu prinsip reward and punishment untuk menciptakan fairness dan prinsip kehati-hatian, sekaligus menciptakan deterrent effect atau pencegahan yang efektif.
Pertanyaannya apakah bisa kita menghukum partai politik dan hukuman semacam apa yang harus diterapkan?
Hukuman yang dapat dan mudah diterapkan kepada partai politik, yaitu seperti pemberian kartu merah kepada pemain sepak bola yang melakukan pelanggaran berat. Kartu merah tersebut akan membuat seluruh anggota tim sepak bola merasakan hukuman karena pemain andalannya tidak diperbolehkan ikut bermain dalam pertandingan selanjutnya.
Dengan demikian jika ada pejabat penyelenggara negara yang diusung oleh partai politik melakukan tindak pidana korupsi, maka partai politik pengusung harus bertanggung jawab dan dihukum untuk tidak boleh ikut pemilihan di Daerah Pemilihan (Dapil) yang bersangkutan untuk periode pemilu/pilkada yang akan datang.
Contohnya, jika ada pejabat gubernur yang diusung oleh dua partai politik berhasil menjadi Gubernur dan ternyata Gubernur tersebut kemudian terlibat tindak pidana korupsi pada saat menjabat, maka partai politik yang mengusung tidak diperkenankan untuk mengusung calon Gubernur pada pilkada yang akan datang dan seterusnya. Hal yang sama juga diberlakukan pada anggota DPRD dan DPR RI.
Peraturan tersebut adalah sebagai sistem pertanggungjawaban partai politik kepada rakyat yang telah memberikan mandat kekuasaan untuk bekerja demi kepentingan rakyat sekaligus akan menghilangkan praktek money politic jual beli jabatan dan utamanya adalah pemberantasan korupsi yang efektif.
Jika sistem reward dan penalty tersebut tidak diterapkan maka jawaban terhadap pertanyaan sebelumnya yaitu “siapa yang bertanggung jawab terhadap maraknya korupsi di Indonesia?” tidak akan pernah terjawab.
Kesulitan yang akan dihadapi adalah kemungkinan tidak adanya kemauan partai politik dan DPR RI untuk membuat undang undang. Namun inilah saatnya ketika mereka membutuhkan suara rakyat melalui pemilu 5 tahunan.
Para pasangan calon presiden dan wakil presiden serta partai politik harus dipaksa untuk memberikan komitmen untuk membuat undang undang tersebut.
Hubungan partai politik dan pejabat penyelenggara negara yang diusung bahkan sering disebut “Petugas Partai” dapat diumpamakan sebagai berikut: “Tingkah laku anak kita mempunyai imbas bagi orang tua, tingkah laku anak yang buruk orang tua ikut terdampak buruk.’ Atau dalam pepatah Jawa Kuno dikatakan “Anak polah bapa kepradah.”
*) Penulis adalah mantan menteri BUMN
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024