Masalah kesejahteraan sosial, pada dasarnya tidaklah jauh berbeda dengan masalah sosial. Fenomena yang  disebut sebagai masalah sosial dianggap sebagai kondisi yang dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial.

Oleh sebab itu, masalah sosial tidak asing untuk disebutkan sebagai kondisi yang tidak diharapkan. Maka dari itu, kemunculannya selalu mendorong tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan.

Pada hakikatnya, permasalahan kesejahteraan sosial timbul dari dapat atau tidaknya kebutuhan manusia terpenuhi. Permasalahan kesejahteraan sosial ada yang secara nyata berpangkal pada hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhan.

 Mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Kesejahteraan Sosial, bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial diprioritaskan kepada mereka yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial tertentu.

Salah satu kriteria yang menjadi masalah sosial tersebut adalah kemiskinan. Kemiskinan sendiri merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.

Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Dampak dari kemiskinan sangat kompleks menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Salah satu dampak dari masalah kemiskinan adalah meningkatnya jenis dan jumlah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).

Pengertian PPKS adalah perseorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Untuk itu, memerlukan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani dan rohani maupun sosial secara memadai dan wajar.

PPKS merupakan istilah pengganti dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Alasan Kementerian Sosial (Kemensos) menggantikan istilah PMKS menjadi PPKS karena secara psikologis terminologi penyandang masalah sosial jadi beban bagi manusianya itu sendiri.

Adapun 26 jenis PPKS di antaranya anak terlantar, anak bermasalah dengan hukum, anak jalanan, anak korban kekerasan, anak yang memerlukan perlindungan khusus, lansia telantar, penyandang disabilitas, tuna susila, gelandangan, pengemis, pemulung, kelompok minoritas, bekas narapidana,
orang dengan HIV/AIDS (ODHA), korban penyalahgunaan NAPZA.

Selain itu, korban Trafficking, korban kekerasan, pekerja migran bermasalah sosial (PMBS), korban bencana alam, korban bencana sosial, perempuan rawan sosial ekonomi, fakir miskin, keluarga bermasalah sosial psikologis dan komunitas adat terpencil.

Upaya penanganan masalah kesejahteraan sosial tersebut tentunya membutuhkan keterlibatan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah (pemda) dan publik. Partisipasi pemda dan publik sangat penting karena kami percaya penanganan masalah sosial akan lebih baik jika dilakukan bersama.

Dinas Sosial (Dinsos) di daerah-daerah memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam penanganan PPKS. Namun, dalam pelaksanaannya, perlu dilibatkan organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya seperti Satpol PP, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-P2KB), Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan lainnya.

Dinsos juga perlu berkoordinasi dengan pihak swasta atau lembaga seperti panti-panti, balai, yayasan, perusahaan dan lainnya. Perusahaan-perusahaan swasta juga berperan penting melalui Corporate Social Responsibility (CSR).

Kolaborasi yang kuat antara sektor publik dan swasta, serta peran aktif masyarakat, diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang positif dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial. Dengan komitmen bersama dan sinergi yang baik, penanganan PPKS diharapkan dapat mengurangi jumlah PPKS.


Surabaya jadi percontohan

Kota Surabaya, Jawa Timur, merupakan merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Kota Jakarta. Jumlah penduduk yang begitu tinggi dan terus meningkat pesat tidak jarang menimbulkan permasalahan sosial yang cukup memprihatinkan.

Salah satu permasalahan sosial di Kota Surabaya yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah terkait fenomena semakin merebaknya PPKS. Untuk itu, pemerintah kota setempat melakukan berbagai upaya untuk mengatasinya.

Berbagai terobosan baru telah dilakukannya hingga akhirnya Kota Surabaya menjadi contoh best practice atau praktik terbaik dalam upaya pemberdayaan PPKS di Indonesia. Surabaya bahkan menjadi rujukan sebagai salah satu daerah yang berhasil dalam menangani PPKS.

Karena itu, Kemensos ingin mengadopsi pola penanganan dan pemberdayaan yang telah dilakukan di Kota Pahlawan.
 
Sejumlah Kepala Sentra dan Kepala Balai Besar Kemensos RI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia berkunjung ke beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik Pemkot Surabaya pada Rabu (27/9/2023) (ANTARA/HO-Diskominfo Surabaya)


Sejumlah Kepala Sentra dan Kepala Balai Besar Kemensos RI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia pun berkunjung ke beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya pada Rabu, 27 September 2023. Kedatangan mereka bertujuan untuk belajar praktik-praktik terhadap tata kelola UPT milik Pemkot Surabaya yang menangani PPKS.

Adapun UPT yang dikunjungi adalah UPT Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, UPT Kampung Anak Negeri Wonorejo, UPT Rumah Anak Prestasi, UPT Griya Wreda Jambangan dan Kalijudan.

Pemberdayaan di tiap-tiap UPT sebagaimana dijelaskan pejabat dinas sosial setempat, salah satunya dilakukan berdasarkan asesmen dari psikolog dan pendamping. Sebagai contoh asesmen yang dilakukan kepada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), dengan mengetahui kondisinya terlebih dahulun kemudian mencari tahu sisi mana yang bisa diberdayakan.

Sebelum menerapkan pola pemberdayaan, setiap PPKS penghuni UPT yang tersebar di beberapa wilayah Surabaya akan dipilah. Mereka dipilah atau dipetakan sesuai dengan bakat dan minatnya.

Misalnya, di Kampung Anak Negeri (Kanri), uang dari hasil olahraga tinju anak-anak itu kemudian ditabung. Bahkan uang dari hasil tabungan yang dikumpulkan oleh mereka bisa dibelikan handphone. Termasuk di Griya Wreda, ada yang dari tempat tidur tetapi bisa menghasilkan sulaman.

Penanganan PPKS tidak hanya melakukan upaya keberfungsian sosial atau rehabilitasi, tetapi bagaimana penanganan yang dilakukan berjalan paralel dengan mengembalikan keberfungsian sosial sekaligus pemberdayaan ekonomi.

Tata kelola pemberdayaan PPKS yang dilakukan di Surabaya dinilai relatif patut untuk dicontoh. Bahkan, pemberdayaan PPKS yang dilakukan UPT Pemkot Surabaya ini jumlahnya lebih besar dari yang ada di masing-masing sentra Kemensos.

Harapannya setelah dari Surabaya, setiap sentra dan balai Kemensos di Indonesia harus ada wujud manfaatnya kepada masyarakat. Jangan sampai keberadaan sentra atau balai sekadar menjadi tempat penampungan, tetapi harus ada pemulihan sosial maupun ekonomi.


Pelatihan

Mulai tahun 2022, Pemkot Surabaya melatih Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) hingga gelandangan yang tinggal di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih membuat kerajinan tangan atau handycraft.

Kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk pemberian keterampilan kepada para penghuni Liponsos mulai dari pembuatan kalung peluit, gelang hingga keset. Hasil karya mereka didistribusikan atau diarahkan ke sekolah-sekolah Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebagian dijual melalui e-Peken.

Tak hanya bertujuan untuk menambah pendapatan penghuni Liponsos Keputih, pelatihan ini juga diharapkan dapat menjadi bekal bagi mereka ketika kembali ke daerah asal.

Selain itu, Liponsos juga mengembangkan budi daya maggot dan ikan lele. Hal itu untuk mengurangi sampah sisa makanan ratusan penghuni Liponsos.

Hasil budi daya maggot maupun ikan lele rencananya juga dijual. Tentu saja hasil dari penjualan akan diberikan kepada para penghuni Liponsos yang merawat maggot maupun lele tersebut.

Dengan adanya sinergi dari semua pihak dan juga adanya terobosan-terobosan baru, diharapkan penanganan PPKS di daerah bisa terlaksana dengan baik. Penanganan PPPS, tentu tidak hanya tentang memberi makan ataupun menyediakan tempat tinggal. Melainkan lebih dari itu, faktor psikologis PPKS juga harus diperhatikan. Penanganan PMKS  harus holistik.

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023