Bondowoso - Sekelompok orang berpakaian hitam-hitam dan berkaos dalam garis-garis merah putih itu berbaris. Mereka berkali-kali mengamini doa-doa yang dilantunkan oleh seorang pawang di tempat lain berjarak sekitar 10 meter. Sang pawang melantunkan doa dalam bahasa campuran Arab, Madura dan Jawa. Kuat dugaan bahwa ritual yang mereka lakukan dan biasa disebut dengan tradisi "Pojhian" atau pujian kepada Allah itu berkembang pada masa transisi dari keyakinan sebelumnya menuju Islam. Tradisi yang konon berasal dari Desa Katesan, Kecamatan Sukosari, Bondowoso, Jatim, dan pertama kali dikembangkan oleh seorang tokoh sakti bernama Modin itu kini selamat dari ancaman kepunahan karena diformat baru menjadi seni pertunjukan. Adalah Sugeng, pria berusia 50 tahun yang lahir di Gunung Kidul, tokoh penyelamat tradisi yang biasa digunakan untuk meminta hujan saat musim kemarau panjang dan mengusir wabah penyakit itu. Sugeng adalah pemilik sanggar Gema Buana di Prajekan, Bondowoso. "Sekarang tradisi ini masih ada di kalangan tertentu di masyarakat Desa Katesan. Tradisi ini memiliki makna yang dalam tentang ketuhanan, misalnya satu tiang yang digunakan pemain untuk memanjat itu adalah lambang alif atau keesaan Allah. Ini lambang bahwa kita semua menuju satu titik," kata Sutikno, sang pawang. Pada tradisi itu mengandung unsur musik mulut atau akapela tradisional serta gerak tari. Setelah sang pawang melantunkan doa kepada Allah, antara lain meminta kesuburan dan keselamatan dengan mengelilingi empat penjuru, para pemain lainnya berjalan dengan gerakan sambil menari dan membunyikan musik mulut. Musik mulut yang dilantunkan oleh 30 pemain seni "phojian" itu konon menirukan suara-suara alam yang hingga kini para pelakunya tidak tahu persis apa makna dari suara tersebut. Di antara suara-suara dari mulut para pemain itu adalah, "lik calik harendes, horodong calelet, hempah pah humpah, bah aras" dan seterusnya. Kata-kata itu diyakini sebagai suara alam oleh pelakunya yang diwariskan secara turun temurun tanpa tahu makna sebenarnya. Menurut Sugeng, dalam pelaksanaan sesungguhnya, para pelaku dalam tradisi itu bisa masuk ke dalam suasana yang transenden dengan diwarnai gerakan-gerakan seperti menari atau seorang pemain menaiki tiang bambu. Saat itu seorang pemain memanjat bambu dengan cekatan kemudian duduk di pucuknya tanpa pegangan tangan. Orang itu kemudian berjumpalitan lalu mengubah poisi kepala di bawah dengan tumpuan pegangan pada kaki. Saat bersamaan, para pemain lainnya terus melantunkan suara-suara alam itu. Suara-suara itu diambil dari suara burung atau satwa-satwa lainnya yang saat awal berkembangnya seni pojhian, kawasan di Bondowoso masih dipenuhi hutan. Sugeng yang lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta, namun memiliki kepedulian besar pada tradisi yang dikembangkan masyarakat berbasis budaya Madura ini mengatakan, karena tidak digunakan untuk ritual, maka sejumlah properti, seperti sesajen dikurangi untuk menyesuaikan dengan lokasi tempat pertunjukan. Ia menjelaskan, tradisi pojhian itu biasanya dimainkan bersambung dengan kesenian "Singo Ulung". Singo Ulung adalah kesenian khas Bondowoso yang menampilkan singa mainan berbulu putih yang setiap macan dimainkan oleh dua orang. "Tradisi pojhian dan singo ulung ini biasanya pentas kalau ada orang hajatan, terutama pernikahan atau kalau kami diundang oleh pemerintah. Selain itu kami juga sudah pentas ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Bali dan Yogyakarta," katanya. Ia mengaku memiliki rasa kebanggaan yang sulit terlukiskan ketika seni tradisi di Bondowoso mampu menembus kantong-kantong kesenian, seperti di Bali dan Yogyakarta. "Bahkan dalam kegiatan-kegiatan lomba, Gema Buana sudah juara beberapa kali," ujarnya. Alumni Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta ini mengatakan kabupaten penghasil makanan tapai ini sangat kaya dengan seni tradisi. "Sampai saya ini seperti minum air garam kalau menggali seni tradisi Bondowoso ini. Sepertinya tidak pernah habis. Banyak sekali dan sayang kalau sampai punah," kata mantan guru SD yang kini berdinas di Kantor Pariwisata, Pemuda, Olahraga dan Perhubungan ini. Sementara Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata, Pemuda, Olahraga dan Perhubungan Kabupaten Bondowoso Satrio Subekti mengatakan bahwa pihaknya selalu memfasilitasi kesenian-kesenian tradisi untuk bisa tampil di berbagai kegiatan. "Kami juga menampilkan kesenian-kesenian, seperti pojhian ini dalam acara-acara resmi di kabupaten atau pada acara menyambut Muharram atau tahun baru Islam," kata lelaki yang akrab dipanggil Yoyok ini.

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011