Konsultan Pajak ATTAX Indonesia, Purwo Adi Nugroho menjelaskan mengenai pajak transaksi yang dikenakan untuk Sultan Gustaf Al Ghozali atau yang lebih dikenal dengan nama Ghozali Everyday.
Ghozali sukses meraup untung hingga miliaran rupiah dari hasil menjual produk NFT atau Non Fungible Token di marketplace NFT, OpenSea.
"Yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) di Twitter wajar dilakukan karena sumber pendapatan dari NFT," katanya melalui keterangannya, Jumat.
Diakui Purwo, NFT saat ini tidak memiliki aturan khusus dalam pajak, sehingga diperlakukan sama seperti barang seni seperti lukisan, vas bunga atau karya seni lainnya yang akan terkena pajak ketika dijual.
Untuk itu Pajak NFT terbagi dua, yaitu sebagai konten kreator dan sebagai treader, investor ataupun penerima royalti. Sebagai konten kreatornya, kita akan bayar pajak dari penghasilan dikali norma desainer.
"Sementara kalau sebagai treader, investor ataupun penerima royalti langsung dikenakan pajak lain lain," ujar alumnus Magister Akuntansi Universitas Airlangga ini.
Selain itu, pendapatan NFT juga harus dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). SPT ini akan menggunakan nilai pasar per 31 Desember per tahun pajak tersebut.
Dikatakannya, belum terdapat mekanisme pemotongan PPh oleh pihak ketiga dari transaksi NFT atau saat penarikan mata uang kripto (cryptocurrency) di bursa kripto.
Sehingga skema perpajakan bagi penjual NFT dengan tarif 0,5 persen, seperti PPh Final untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
"Caranya membayarkan omzet dikali 0,5 persen sepanjang omset mereka dibawah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Kalau penghasilannya sudah lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun, selain dikenai pph 0,5 persen mereka juga akan dikenai ppn," ujar pria yang berkantor di jalan Lebak jaya 2 Utara nomor 45, Surabaya ini.
Iapun menyarankan jika penghasilan lebih dari Rp4,8 miliar, maka usaha yang dijalankan harus segera dijadikan CV atau PT.
Menurutnya, risiko jika penghasilan dari marketplace diakui selalu kecil, maka akan sulit melakukan pembelian aset. Pembelian tetap bisa dibeli secara komersial, tetapi secara SPT tidak ada uangnya.
Sehingga Ketika asetnya masuk dalam SPT, maka petugas pajak akan mengecek pendapatannya dan meminta klarifikasi dari kantor pajak. Sepanjang penghasilan mencukupi dan membayar pajak yang benar, maka tidak menjadi masalah saat membeli aset.
"Yang sering orang pusing itu adalah saat penghasilan dilaporkan minim tapi asetnya beli besar," tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Ghozali sukses meraup untung hingga miliaran rupiah dari hasil menjual produk NFT atau Non Fungible Token di marketplace NFT, OpenSea.
"Yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) di Twitter wajar dilakukan karena sumber pendapatan dari NFT," katanya melalui keterangannya, Jumat.
Diakui Purwo, NFT saat ini tidak memiliki aturan khusus dalam pajak, sehingga diperlakukan sama seperti barang seni seperti lukisan, vas bunga atau karya seni lainnya yang akan terkena pajak ketika dijual.
Untuk itu Pajak NFT terbagi dua, yaitu sebagai konten kreator dan sebagai treader, investor ataupun penerima royalti. Sebagai konten kreatornya, kita akan bayar pajak dari penghasilan dikali norma desainer.
"Sementara kalau sebagai treader, investor ataupun penerima royalti langsung dikenakan pajak lain lain," ujar alumnus Magister Akuntansi Universitas Airlangga ini.
Selain itu, pendapatan NFT juga harus dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). SPT ini akan menggunakan nilai pasar per 31 Desember per tahun pajak tersebut.
Dikatakannya, belum terdapat mekanisme pemotongan PPh oleh pihak ketiga dari transaksi NFT atau saat penarikan mata uang kripto (cryptocurrency) di bursa kripto.
Sehingga skema perpajakan bagi penjual NFT dengan tarif 0,5 persen, seperti PPh Final untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
"Caranya membayarkan omzet dikali 0,5 persen sepanjang omset mereka dibawah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Kalau penghasilannya sudah lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun, selain dikenai pph 0,5 persen mereka juga akan dikenai ppn," ujar pria yang berkantor di jalan Lebak jaya 2 Utara nomor 45, Surabaya ini.
Iapun menyarankan jika penghasilan lebih dari Rp4,8 miliar, maka usaha yang dijalankan harus segera dijadikan CV atau PT.
Menurutnya, risiko jika penghasilan dari marketplace diakui selalu kecil, maka akan sulit melakukan pembelian aset. Pembelian tetap bisa dibeli secara komersial, tetapi secara SPT tidak ada uangnya.
Sehingga Ketika asetnya masuk dalam SPT, maka petugas pajak akan mengecek pendapatannya dan meminta klarifikasi dari kantor pajak. Sepanjang penghasilan mencukupi dan membayar pajak yang benar, maka tidak menjadi masalah saat membeli aset.
"Yang sering orang pusing itu adalah saat penghasilan dilaporkan minim tapi asetnya beli besar," tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022