Pulau Madura di Jawa Timur tidak hanya dikenal sebagai "Pulau Garam,',  tetapi juga dikenal sebagai penghasil tembakau.

Berdasarkan catatan sejumlah peneliti, tembakau atau 'nicotiana tabacum linn' ini sebenarnya merupakan tanaman asli benua Amerika dan masuk ke Indonesia sekitar 400 tahun lalu. Dengan demikian, sudah lama tanaman ini  beradaptasi dengan lingkungan  yang beragam di Indonesia. 

Pulau Madura di Jawa Timur merupakan salah satu sentra utama tembakau di Indonesia. Kegiatan usaha pertanian tembakau di Madura tersebar di empat kabupaten, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Kabupaten Bangkalan.  Konon usaha tersebut sudah berlangsung sekitar 170 tahun lalu.

Sejarah tentang tembakau Madura yang kemudian dikenal dengan sebutan "daun emas" ini bisa ditelusuri melalui hasil penelian Guru Besar Universitas Gajah Mada Profesor Kuntowijoyo berjudul "Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940".

Hasil penelian akademisi pada tahun 1980 yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama ini, menceritakan secara detail tentang sejarah tembakau yang oleh masyarakat di Pulau Madura itu dijuluki dengan sebutan "daun emas". Sehingga wajar apabila dalam perkembangannya, tembakau menjadi sumber ekonomi pokok sebagian besar masyarakat Madura.

Dalam buku itu, Kuntowijoyo menceritakan, tanaman tembakau mulai diperkenalkan oleh usahawan Belanda kepada masyarakat petani di Pulau Maduta sejak 1861. Penanaman pertama di Desa Pradopo, Pamekasan, yang dalam perkembangannya, desa tersebut kini berubah menjadi Desa Proppo.

Pola yang diterapkan kala itu dengan sistem kerja kontrak, yakni perusahaan menyediakan bibit dan buruh mendapat upah.

Tidak ada catatan berapa luas lahan yang ditanami tembakau kala itu. Namum, dalam perkembangannya semakin meluas tidak hanya di satu desa saja, akan tetapi berkembang ke sejumlah desa lain, seperti Desa Bunder dengan hasil produksi yang semakin meningkat dari awalnya hanya 264 pikul pada tahun 1864 menjadi 320 pikul pada tahun 1865.

Di tahun itu, tembakau mulai ditanam juga di Sumenep dan Sampang. Dalam hasil penelitian Kuntowijoyo bahkan disebuddisebutksn, produksi tembakau Sumenep melampaui Pamekasan. Hal itu terlihat dari luas lahan. 

Dalam perkembangan berikutnya, hasil produksi tembakau di Pulau Madura tidak lagi dihitung per pikul, akan tetapi tonase. Luasan areal tanam bukan hanya per petak, akan tetapi hingga mencapai puluhan ribu hektare.

Untuk Kabupaten Pamekasan saja, luas areal tanam tembakau pada tahun 2020 mencapai 32 ribu hektare dari total luas areal lahan tembakau se-Madura sebanyak 47.893 hektare lebih. Jumlah produksi tembakau   Pamekasan sekitar 20 ribu ton dari total produksi se-Madura sebanyak 40 ribu ton.

Perkembangan pabrik rokok

Perkembangan luas areal lahan dan produksi hasil tembakau di Bumi Madura ini tentu berdampak pada sektor usaha lain di bidang tembakau, termasuk pabrik rokok lokal di empat kabupaten di Pulau Garam.

Kantor Bea Cukai Madura mencatat, sedikitnya ada 90 perusahaan rokok baru tumbuh di Pulau Madura dalam sepuluh tahun terakhir. 
Dari jumlah itu sebanyak 70 pabrik rokok lokal berada di Kabupaten Pamekasan.

Hanya saja, dari sekitar 90 perusahaan rokok lokal itu sebagian yang resmi, yakni menggunakan pita cukai, sedangkan sebagian lainnya ilegal atau tanpa pita cukai.

Hasil operasi gabungan yang digelar kantor Bea Cukai dan Polres Pamekasan pada September 2021 menemukan, sebanyak enam perusahaan rokok lokal ditemukan mengedarkan rokol ilegal, dan sebanyak 50.296 batang rokok ilegal disita oleh petugas gabungan kala itu.

Jumlah ini, tergolong sedikit, mengingat pada operasi sebelumnya, temuan  peredaran rokok ilegal di Madura mencapai puluhan jenis merek rokok dengan jumlah perkiraan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp150 juta lebih.

Menurut Pemeriksa Bea Cukai Madura Tesar Pratama, banyaknya temuan peredaran rokok ilegal itu menunjukkan bahwa potensi bisnis usaha rokok di Pulau Madura sebenarnya sangat bagus, karena Madura memang dikenal sebagai daerah penghasil tembakau.

Maka untuk mengoptimalkan potensi bisnis yang ada itu, agar sama menguntungkan, baik bagi pelaku bisnis, dan pendapatan penerimaan negara di bidang cukai, maka perlu dilakukan kondinasi dan sosialisasi secara baik dan benar.

Apalagi, menurut dia, pemkab di empat kabupaten di Pulau Madura, mulai dari Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan, menginginkan pendekatan persuasif kepada pelaku usaha rokok lokal lebih digalakkan agar mereka bisa menjalankan usahanya secara benar. Dengan begitu, sama-sama menguntungkan, baik bagi pelaku usaha itu sendiri maupun kepada pemerintah.

Alasan mendasar pemkab, karena keberadaan pabrik rokok lokal, di satu sisi mampu meningkatkan serapan tenaga kerja dengan jumlah yang tidak sedikit. Sebab dalam satu perusahaan saja, tidak kurang dari 50 orang bisa terekrut menjadi tenaga kerja.

Di sisi lain, banyaknya perusahaan rokok yang bercukai juga bisa menambah pendapatan daerah dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).


Bangun KIHT

Selain melalui pembinaan, upaya untuk menekan peredaran rokok ilegal di Pulau Madura ini juga dilakukan dengan membangun Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT).

Pertimbangannya, selain karena faktor cukai, sebagian dari perusahaan rokok yang terjaring razia itu juga karena tidak memenuhi syarat sarana produksi. 

Sementara itu, daerah yang ditetapkan sebagai lokasi pembangunan KIHT di antara empat kabupaten yang ada di Madura adalah Kabupaten Pamekasan.

Menurut Kepala Disperindag Pemkab Pamekasan Ahmad Sjaifudin,  pembangunan KIHT di Kabupaten Pamekasan ini merupakan yang pertama di Jawa Timur dan menjadi kabupaten kedua di Pulau Jawa. Di Indonesia, baru ada dua Kabupaten yang memiliki KIHT, pertama di Kabupaten Kudus, kedua di Kabupaten Soppeng, Sulawesi. 

Berdasarkan PMK 21/PMK.04/2020, terdapat tiga keuntungan dalam pembangunan KIHT. Di antaranya, pertama, kemudahan perizinan berusaha berupa pengecualian dari ketentuan memiliki luas paling sedikit 200 meter persegi untuk lokasi, bangunan, dan tempat usaha.

Kedua, dapat menjalankan kegiatan berusaha berupa kerja sama yang dilakukan untuk menghasilkan barang kena cukai berupa hasil tembakau dalam bentuk batangan dengan ketentuan antara lain dilakukan oleh pengusaha pabrik di dalam satu KIHT yang sama, dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama.

Ketiga, penundaan pembayaran cukai berupa menggunakan jaminan bank, dan jangka waktu penundaan 90 hari terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai. 

"Kami telah melakukan studi tiru ke dua daerah yang sudah membangun dan mengelola KIHT, dan Pamekasan rasanya memang sangat cocok, karena produksi tembakau di kabupaten ini sangat banyak," kata Ahmad, menjelaskan.

Menurutnya, Pamekasan sangat strategis untuk dibangun KIHT karena termasuk penghasil tembakau yang produktif dengan luas area 30 ribu hektar lebih dan dapat menghasilkan 20 ribu ton tembakau per tahun. 

Sehingga, KIHT dapat menjadi fasilitas untuk meningkatkan kualitas produksi rokok di Bumi Pamekasan. 

Selain itu, di sekitar lokasi KIHT yang akan dibangun di Desa Gugul Kecamatan Tlanakan merupakan area padat penduduk dengan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. 

Dengan demikian, pembangunan KIHT nantinya akan membuat masyarakat setempat berinisiatif untuk berjualan, sehingga muncul aktivitas bisnis dan perdagangan.

Pembangunan KIHT di Kabupaten Pamekasan rencana di Desa Gugul, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan di areal seluas 2 hektare lebih dan pembangunan KIHT itu dimaksudkan untuk membantu para produsen rokok lokal di Pamekasan, meningkatkan serapan tenaga kerja dan menekan peredaran rokok ilegal. (*)

Pewarta: Abd Aziz

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021