Dari puncak Tower Poros Maritim di Jalan Perak Timur Surabaya, Jawa Timur, tampak lautan terbentang. Kapal-kapal silih berganti datang dan pergi di perairan Tanjung Perak Surabaya. Beberapa di antaranya lego jangkar memadati Selat Madura.

Pemandangan dari atap bangunan setinggi 23 lantai itu menggambarkan kesibukan Pelabuhan Indonesia. Sayup-sayup terdengar deru mesin menggerakkan "crane" menjalankan aktivitas bongkar muat. Truk-truk kontainer keluar masuk di kawasan terminal Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.   

Gedung yang dibangun PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III dengan investasi senilai Rp400 miliar di atas lahan seluas 11 ribu meter persegi itu baru saja rampung dibangun. 

Konsep awal, gedung tersebut akan difungsikan sebagai perkantoran demi mempermudah koordinasi antarpemangku kepentingan di pelabuhan menjadi terpusat sehingga lebih efisien bagi semua, mulai dari regulator, operator, hingga pengguna jasa. 

Selain diproyeksikan menjadi ikon baru bagi Surabaya sebagai Kota Maritim, menara "Tower Poros Maritim" itu ke depan juga diharapkan menjadi pusat pelayanan kepelabuhanan satu atap untuk para pengguna jasa, termasuk integrasi layanan kepabeanan.

"Gedung ini nantinya akan menjadi Kantor Pusat PT Terminal Petikemas Indonesia sebagai salah satu klaster sub-holding dari penggabungan atau 'merger' PT Pelabuhan Indonesia yang terintergasi dari PT Pelindo I, II, III dan IV," kata Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) PT Pelindo III Edi Priyanto saat ditemui di Surabaya, akhir pekan kemarin. 

Poros Maritim Dunia

Sejak awal Kemerdekaan Republik Indonesia, pendiri bangsa ini telah mencanangkan potensi wilayah negara kepulauan yang terdiri dari sedikitnya 17 ribu pulau, dengan garis pantai sepanjang lebih dari 81 ribu kilometer, sebagai poros maritim dunia.

Untuk itu, pada 1946, atau setahun setelah Indonesia merdeka, dibentuk Jawatan Urusan Laut Seluruh Indonesia di bawah Kementerian Perhubungan, yang setahun kemudian berubah nama menjadi Jawatan Pelayaran. 

Setelah peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Kementerian Perhubungan Laut lebih spesifik menata lingkup kerjanya, salah satunya fokus mengembangkan pelabuhan Indonesia. 

Dari situlah cikal bakal berdirinya perseroan Pelindo. Dari awalnya berbentuk Perusahaan Negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1960. Kemudian menjadi Badan Pengusahaan Pelabuhan berdasarkan Peraturan Pemerintan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1969. 

Selanjutnya Pelindo berubah menjadi Perusahaan Umum yang fokus mengelola pelabuhan umum komersial berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1983, serta diperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1985. 

Status perusahaan umum akhirnya menjadi persero di tahun 1992. Terdapat sedikitnya 111 pelabuhan komersial yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang pengelolaannya sejak itu terbagi masing-masing oleh PT Pelindo I, II, III dan IV. 

Tiap perseroan Pelindo tersebut menangani pelabuhan komersial yang tesebar di sedikitnya tujuh provinsi wilayah Indonesia. 

PT Pelindo III misalnya, yang berkantor pusat di Surabaya, menangani sebanyak 43 cabang pelabuhan komersial di Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Hingga kini, Pelindo III telah mengembangkan bisnisnya dengan membentuk sedikitnya tujuh anak perusahaan di bidang kepelabuhanan.
    
Sejumlah kapal sandar di salah satu terminal kawasan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. (ANTARA Jatim/Hanif Nashrullah)
    
Pelindo terintegrasi

Presiden Joko Widodo menilai keberadaan empat perseroan Pelindo yang berada di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak efektif dalam mengelola seluruh pelabuhan komersial di Tanah Air. Buktinya, Indonesia hingga kini masih memiliki tingkat biaya logistik yang terbilang tinggi dibanding negara-negara di kawasan ASEAN lainnya, yaitu sebesar 23 persen. 

Maka Menteri BUMN Erick Thohir belum lama lalu mengumumkan akan segera meresmikan merger terhadap keempat perusahaan pelat merah di sektor pelabuhan tersebut, yang dijadwalkan pada 1 Oktober mendatang.

Tentu, salah satu tujuan merger adalah untuk menekan biaya logistik, khususnya bagi kegiatan ekspor-impor demi memacu pertumbuhan ekonomi nasional. 

Pemerintah menyebut, jika Pelindo I, II, III dan IV terintegrasi menjadi satu perusahaan persero, Indonesia akan menjadi pelabuhan terminal petikemas terbesar kedelapan di dunia, mengacu pada data arus petikemas internasional di empat perusahaan tersebut yang mencapai 16,7 juta TEUs di sepanjang tahun 2019.  

Direktur SDM PT Pelindo III Edi Priyanto adalah salah satu direksi yang dalam kurun waktu setahun terakhir turut mengonsep perampingan struktur organisasi dalam rencana merger PT Pelindo I, II, III dan IV yang dalam waktu dekat akan segera diresmikan Menteri BUMN Erick Thohir. 

Menurutnya sebanyak 7 ribu pegawai organik yang sebelumnya tersebar di PT Pelindo I, II, III dan IV akan terintegrasi dalam satu perusahaan. 

Edi memaparkan, setelah diresmikan nanti, akan ada satu perusahaan persero PT Pelindo yang berkantor pusat di Ibu Kota Jakarta, yang dipimpin oleh seorang Direktur Utama, dengan tugas khusus sebagai pengkaji sekaligus penentu kebijakan terkait kepelabuhanan. 

"Di daerah-daerah yang sebelumnya menjadi kantor pusat bagi PT Pelindo I, II, III dan IV akan menjadi operator regional pelabuhan, yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Regional," katanya.  

Kepala Regional yang masing-masing akan berkantor pusat di Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar itu akan membawahi kantor-kantor cabang yang sebelumnya berada di bawah naungan PT Pelindo I, II, III dan IV.  

Selain itu, dalam konsep merger Pelindo terintegrasi, juga telah dikelompokkan empat klaster perusahaan sub-holding, dari anak-anak maupun cucu perusahaan PT Pelindo I, II, III dan IV. 

Masing-masing adalah PT Terminal Petikemas Indonesia yang akan berkantor pusat di Surabaya, PT Nonpetikemas di Medan, Sumatera Utara, PT Logistik dan Hinterland di Jakarta dan PT Marine Equipment & Port di Makassar, Sulawesi Selatan.   

Tekan biaya logistik

Berbagai pihak menyambut baik rencana merger PT Pelindo I, II, III dan IV yang terintegrasi. Khususnya dari kalangan pengusaha pelaku ekspor-impor yang selama ini menjadi mitra atau pengguna jasa pelabuhan. 

Importir asal Surabaya Romzy Abdullah Abdat berharap merger PT Pelindo kedepan akan berdampak positif bagi bisnisnya, khususnya terhadap kebijakan yang seragam untuk diberlakukan di seluruh pelabuhan komersial wilayah Indonesia.

Dia menyebut salah satu yang diharapkan oleh pengusaha ekspor-impor adalah terkait penetapan tarif yang lebih murah dan diberlakukan sama di seluruh pelabuhan komersial wilayah Tanah Air sehingga dapat menekan biaya logistik.

"Kalau selama pandemi virus corona atau COVID-19, kami sudah diuntungkan dengan berbagai pelayanan di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang telah digelar secara digital. Sudah tidak ada pelayanan tatap muka lagi dan itu menekan biaya logistik hingga mencapai 10 persen," katanya. 

Ketua Badan Pimpinan Daerah Gabungan Importir Nasional Indonesia Jawa Timur itu berharap biaya logistik ekspor-impor dari sektor pelabuhan bisa ditekan lagi setelah diresmikan merger PT Pelindo. 

Dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Ekonom Dr Nurul Istifadah, SE, MSi mengungkapkan upaya menurunkan biaya logistik dari sektor pelabuhan memang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. 

Menurutnya, biaya logistik yang cenderung mahal dapat berimbas terhadap beralihnya pengguna jasa pelabuhan ke negara lain. 

"Pelaku usaha pada akhirnya akan memilih jasa pengiriman barang ke pelabuhan yang lebih efisien, misalnya di Singapura. Berpalingnya produsen lokal berpotensi merugikan dan mempengaruhi catatan ekspor impor di Indonesia. Jadinya, catatan barang dalam Certificate of Origin berasal dari Singapura, padahal sebenarnya produksi asal Indonesia," ujarnya.

Namun Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Unair ini meyakini merger Pelindo nantinya akan berdampak terhadap biaya logistik yang lebih murah.   

"Sebab ada penggabungan sumber daya yang mengakibatkan memungkinkan penghematan dan efisiensi kerja. Dengan begitu ada penghematan biaya dan hal-hal lain yang bisa disatukan dan sharing bersama," katanya. 

Pakar Ekonomi Pembangunan yang mengajar mata kuliah Ekonomi Perkotaan dan Transportasi di Kampus Unair ini menandaskan, Pelindo setelah merger nanti juga harus memperhatikan pengembangan di bidang pelayanan, efisiensi dan juga kecepatan dalam operasional. 

Nurul mencontohkan, negara lain sudah menerapkan sistem otomatisasi perangkat kerja di sektor pelabuhan sehingga menyebabkan dwelling time atau waktu bongkar muat menjadi lebih cepat dibanding Indonesia yang masih menerapkan sistem semi-otomatis.
 
"Crane" bongkar muat di Terminal Teluk Lamong, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. (ANTARA Jatim/Hanif Nashrullah)

Target empat tahun

Direktur SDM PT Pelindo III Edi Priyanto memastikan jajaran direksi setelah terintegrasi dalam merger yang akan diresmikan pemerintah pada 1 Oktober nanti telah membuat timeline atau semacam program kerja.

Menurutnya, dalam jangka waktu pendek, sekitar empat tahun mendatang, atau di tahun 2025, minimal biaya logistik yang lebih murah, sebagaimana diharapkan oleh para pengusaha ekspor-impor, bisa terealisasi di seluruh pelabuhan komersial wilayah Indonesia.    

"Sebenarnya biaya logistik yang saat ini tercatat sebesar 23 persen itu, dari sektor pelabuhan yang dioperasikan PT Pelindo hanya sekitar 4 persen saja. Sisanya dari sektor lain, bisa jadi dari rekanan yang juga terkait dengan jasa kepelabuhanan," katanya.
 
Edi menandaskan, target jangka pendek selama empat tahun ke depan, salah satunya adalah standarisasi pelayanan, termasuk pelayanan bongkar muat dengan sistem otomatisasi di seluruh pelabuhan se- Indonesia yang terintegrasi. 

"Dengan standarisasi pelayanan itu, kira-kira kita bisa menekan biaya logistik terhadap para pengguna jasa PT Pelindo hingga mencapai 50 persen. Kalau dalam biaya logistik nasional yang tercatat sebesar 23 persen tadi, berarti kita bisa menurunkannya sekitar 2 persen di tahun 2025," ucapnya.      

Konsep merger dalam penggabungan Pelindo I, II, III dan IV, lanjut Edi, sangat memungkinkan terwujudnya berbagai efisiensi di sektor pelabuhan Indonesia di masa yang akan datang. 

"Dengan merger, ego direksi dari Pelindo I, II, III dan IV dilebur jadi satu. Itulah kenapa kita tidak memilih penggabungan dengan cara Holding Company," katanya. 

Sebab kalau berbentuk holding, tiap perusahaan yang tergabung di dalamnya tetap bisa memutuskan kebijakan sendiri-sendiri, yang artinya tidak akan merubah apapun karena tetap sama seperti yang selama ini dijalankan oleh PT Pelindo I, II, III dan IV.

Penggabungan perusahaan persero di jajaran BUMN sebelumnya telah diterapkan untuk merestrukturisasi bidang perbankan. 

Sejak 31 Juli 1999, empat bank milik pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor dan Bank Pembangunan Indonesia dilebur menjadi satu perusahaan yang kini dikenal dengan nama PT Bank Mandiri. Perkembangan PT Bank Mandiri kini terbilang sukses sebagai salah satu perusahaan yang diperhitungkan di sektor perbankan nasional. 

Edi merasa konsep merger PT Pelindo I, II, III dan IV yang terintegrasi lebih rumit dari Bank Mandiri. Terlebih masing-masing perusahaan operator pelabuhan itu telah menelurkan banyak anak dan cucu perusahaan yang bergerak di berbagai bidang usaha, tidak hanya kepelabuhanan saja. 

Maka, kalau merger PT Pelindo ini berhasil akan menjadi sejarah bagi dunia usaha, khususnya di sektor pelabuhan Indonesia. Semoga semakin mendorong terwujudnya cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia.   (*)   
 

Pewarta: Hanif Nashrullah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021