Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur Dr Andriyanto menilai penyitaan KTP elektronik bagi pelanggar protokol kesehatan bukan solusi menurunkan angka kasus COVID-19.
"Penyitaan KTP belum tentu menjadi solusi apabila pelanggar protokol kesehatan ternyata melakukan perbuatannya karena faktor ketidaksengajaan, lalai, lupa atau faktor lain," ujarnya di Surabaya, Minggu.
Pemerintah daerah sejatinya dalam memberikan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan harus sebagai satu kesatuan penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, kepemilikan KTP elektronik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Menurut dia, penyitaan KTP sebagai suatu tindakan yang terpisah dari upaya rehabilitasi, padahal seharusnya pelanggaran protokol kesehatan dilakukan justru dalam rangka rehabilitasi pelaku atau pelanggar.
Tujuan penjatuhan sanksi ini, kata dia, tidak sebatas berorientasi pada pembalasan, namun harus dipastikan penjatuhan sanksi tersebut memberikan manfaat, yaitu mencegah pelanggaran dan memutus rantai penularan COVID-19.
"Kami kira pemberian sanksi denda dan/atau kerja sosial diikuti dengan pemberitaan di media sosial cukup efektif membuat jera pelanggar. Pemberian sanksi bagi protokol kesehatan sejatinya harus diformulasikan secara rasional, bukan emosional," ucapnya.
Justru dengan menyita KTP elektronik, lanjut dia, masyarakat akan banyak dirugikan karena tidak bisa menggunakan untuk layanan publik.
"KTP yang disimpan Satpol PP memberikan beban, termasuk kepada Dinas Dukcapil daerah untuk mencetak kembali bila KTP yang disita hilang," kata ahli gizi tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
"Penyitaan KTP belum tentu menjadi solusi apabila pelanggar protokol kesehatan ternyata melakukan perbuatannya karena faktor ketidaksengajaan, lalai, lupa atau faktor lain," ujarnya di Surabaya, Minggu.
Pemerintah daerah sejatinya dalam memberikan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan harus sebagai satu kesatuan penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, kepemilikan KTP elektronik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Menurut dia, penyitaan KTP sebagai suatu tindakan yang terpisah dari upaya rehabilitasi, padahal seharusnya pelanggaran protokol kesehatan dilakukan justru dalam rangka rehabilitasi pelaku atau pelanggar.
Tujuan penjatuhan sanksi ini, kata dia, tidak sebatas berorientasi pada pembalasan, namun harus dipastikan penjatuhan sanksi tersebut memberikan manfaat, yaitu mencegah pelanggaran dan memutus rantai penularan COVID-19.
"Kami kira pemberian sanksi denda dan/atau kerja sosial diikuti dengan pemberitaan di media sosial cukup efektif membuat jera pelanggar. Pemberian sanksi bagi protokol kesehatan sejatinya harus diformulasikan secara rasional, bukan emosional," ucapnya.
Justru dengan menyita KTP elektronik, lanjut dia, masyarakat akan banyak dirugikan karena tidak bisa menggunakan untuk layanan publik.
"KTP yang disimpan Satpol PP memberikan beban, termasuk kepada Dinas Dukcapil daerah untuk mencetak kembali bila KTP yang disita hilang," kata ahli gizi tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021