Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai nasib pemberantasan korupsi pada masa mendatang akan makin suram jika Mahkamah Agung (MA) tetap mempertahankan tren vonis ringan terhadap pelaku kasus korupsi.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa rata-rata hukuman pelaku korupsi sepanjang 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
"Tidak hanya itu, pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. Jika ditotal, negara telah rugi akibat praktik korupsi sepanjang tahun 2019 sebesar Rp12 triliun. Akan tetapi, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp750 miliar. Sepuluh persennya saja tidak dapat," tuturnya.
Selain itu, kata Kurnia, dari total 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada tahun 2019, sekitar 842 orang divonis ringan (0—4 tahun), sedangkan vonis berat hanya sembilan orang (di atas 10 tahun).
"Belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang," ungkap Kurnia.
Ia pun menyatakan putusan hakim yang kerap kali ringan terhadap pelaku korupsi memiliki implikasi serius.
Pertama, menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak terdampak korupsi.
Kedua, lanjut dia, melululantahkkan kerja keras penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi.
"Ketiga, menjauhkan pemberian efek jera baik bagi terdakwa maupun masyarakat," ujar Kurnia.
Terkait dengan hal tersebut, ICW pun lantas menyinggung ketiadaan sosok Artidjo Alkostar di MA yang telah purnatugas sebagai hakim agung.
"Dalam kondisi peradilan yang makin tak berpihak pada pemberantasan korupsi, memang harus diakui bahwa masyarakat merindukan adanya sosok seperti Artidjo Alkostar lagi di Mahkamah Agung," katanya.
Sebelumnya, KPK telah membeberkan daftar 20 koruptor yang menerima pengurangan hukuman dari MA melalui putusan peninjauan kembali (PK) sepanjang 2019—2020.
KPK pun menyatakan bahwa pengurangan masa hukuman para terpidana korupsi berdasarkan putusan PK yang diputuskan oleh MA dapat memperparah korupsi di Indonesia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa rata-rata hukuman pelaku korupsi sepanjang 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
"Tidak hanya itu, pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. Jika ditotal, negara telah rugi akibat praktik korupsi sepanjang tahun 2019 sebesar Rp12 triliun. Akan tetapi, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp750 miliar. Sepuluh persennya saja tidak dapat," tuturnya.
Selain itu, kata Kurnia, dari total 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada tahun 2019, sekitar 842 orang divonis ringan (0—4 tahun), sedangkan vonis berat hanya sembilan orang (di atas 10 tahun).
"Belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang," ungkap Kurnia.
Ia pun menyatakan putusan hakim yang kerap kali ringan terhadap pelaku korupsi memiliki implikasi serius.
Pertama, menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak terdampak korupsi.
Kedua, lanjut dia, melululantahkkan kerja keras penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi.
"Ketiga, menjauhkan pemberian efek jera baik bagi terdakwa maupun masyarakat," ujar Kurnia.
Terkait dengan hal tersebut, ICW pun lantas menyinggung ketiadaan sosok Artidjo Alkostar di MA yang telah purnatugas sebagai hakim agung.
"Dalam kondisi peradilan yang makin tak berpihak pada pemberantasan korupsi, memang harus diakui bahwa masyarakat merindukan adanya sosok seperti Artidjo Alkostar lagi di Mahkamah Agung," katanya.
Sebelumnya, KPK telah membeberkan daftar 20 koruptor yang menerima pengurangan hukuman dari MA melalui putusan peninjauan kembali (PK) sepanjang 2019—2020.
KPK pun menyatakan bahwa pengurangan masa hukuman para terpidana korupsi berdasarkan putusan PK yang diputuskan oleh MA dapat memperparah korupsi di Indonesia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020