Pemilik operator pelayaran ferry PT Dharma Lautan Utama, Bambang Haryo Soekartono, mengeluhkan terlalu banyak regulasi dan beban pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang mengakibatkan iklim usaha penyeberangan saat ini tidak kondusif.
"Ada kebijakan Menteri Perhubungan untuk menggenjot PNBP, akibatnya banyak item pungutan PNBP bermunculan di pelabuhan. PNBP Kementerian Perhubungan naik pesat, tapi pengeluaran biaya-biaya pelabuhan kami menjadi meningkat," kata Bambang di Surabaya, Rabu.
Mantan anggota DPR RI itu mengatakan, regulasi lain Kementerian Perhubungan adalah kewajiban penggunaan kapal berkapasitas besar di Merak-Bakauheni.
"Kapal besar ini butuh kru lebih banyak, BBM dan biaya perawatannya juga lebih besar, biaya-biaya pelabuhannya juga lebih mahal. Pada sisi lain, penumpang hanya ramai saat peak hours atau waktu-waktu sibuk saja. Bahkan disparitasnya cukup tinggi," katanya.
Bambang menyodorkan komparasi penggunaan armada yang terbilang fleksibel di transportasi udara.
"Kalau transportasi udara dapat menggunakan narrow body bila penumpang jauh dari load factor. Atau penggabungan dua jadwal keberangkatan, nah kalau di transportasi penyeberangan kan nggak bisa seperti itu," katanya.
Dia mengatakan, jumlah dermaga saat ini minim di sejumlah daerah, termasuk Merak-Bakauheni, sehingga hanya dapat menampung sekitar 30 persen jumlah kapal.
"Kondisi ini merugikan perusahaan pelayaran, karena harus tetap menanggung biaya tetap (fixed cost) kapal yang cukup besar sekitar 60 persen dari total biaya sehingga seharusnya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan dermaga yang cukup agar semua kapal bisa dioperasikan," katanya.
Tentunya, kata dia, ini dapat bermanfaat sebagai tambahan daya angkut atau kapasitas angkut terpasang dan tentu akan lebih bisa memberikan suatu layanan transportasi terbaik untuk masyarakat.
Dia mengingatkan jasa transportasi penyeberangan itu selain berfungsi sebagai alat angkut, juga sebagai jembatan. "Fungsinya sebagai infrastruktur. Kalau infrastruktur berarti kan ada kewajiban pemerintah untuk membiayainya dengan cara ada insentif-insentif yang diberikan untuk angkutan penyeberangan, jadi bukan malah diberikan biaya-biaya yang lebih dari angkutan darat. Contohnya, jalan raya, biaya perawatannya ditanggung pemerintah," tuturnya.
Penyebab lain, kata dia, adalah tarif rendah yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp700/mil/penumpang, seharusnya tarif keekonomiannya pada rentang Rp1.500-Rp2.000/mil/penumpang.
"Di Filipina dan Thailand memberlakukan tarif jasa angkutan penyeberangan Rp3.500-Rp4.500/mil/penumpang. Nah, kita hanya Rp700/mil/penumpang. Berat sekali, sehingga jumlah pendapatan perusahaan pelayaran sulit untuk menutup biaya kenyamanan dan keselamatan yang ada," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Ada kebijakan Menteri Perhubungan untuk menggenjot PNBP, akibatnya banyak item pungutan PNBP bermunculan di pelabuhan. PNBP Kementerian Perhubungan naik pesat, tapi pengeluaran biaya-biaya pelabuhan kami menjadi meningkat," kata Bambang di Surabaya, Rabu.
Mantan anggota DPR RI itu mengatakan, regulasi lain Kementerian Perhubungan adalah kewajiban penggunaan kapal berkapasitas besar di Merak-Bakauheni.
"Kapal besar ini butuh kru lebih banyak, BBM dan biaya perawatannya juga lebih besar, biaya-biaya pelabuhannya juga lebih mahal. Pada sisi lain, penumpang hanya ramai saat peak hours atau waktu-waktu sibuk saja. Bahkan disparitasnya cukup tinggi," katanya.
Bambang menyodorkan komparasi penggunaan armada yang terbilang fleksibel di transportasi udara.
"Kalau transportasi udara dapat menggunakan narrow body bila penumpang jauh dari load factor. Atau penggabungan dua jadwal keberangkatan, nah kalau di transportasi penyeberangan kan nggak bisa seperti itu," katanya.
Dia mengatakan, jumlah dermaga saat ini minim di sejumlah daerah, termasuk Merak-Bakauheni, sehingga hanya dapat menampung sekitar 30 persen jumlah kapal.
"Kondisi ini merugikan perusahaan pelayaran, karena harus tetap menanggung biaya tetap (fixed cost) kapal yang cukup besar sekitar 60 persen dari total biaya sehingga seharusnya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan dermaga yang cukup agar semua kapal bisa dioperasikan," katanya.
Tentunya, kata dia, ini dapat bermanfaat sebagai tambahan daya angkut atau kapasitas angkut terpasang dan tentu akan lebih bisa memberikan suatu layanan transportasi terbaik untuk masyarakat.
Dia mengingatkan jasa transportasi penyeberangan itu selain berfungsi sebagai alat angkut, juga sebagai jembatan. "Fungsinya sebagai infrastruktur. Kalau infrastruktur berarti kan ada kewajiban pemerintah untuk membiayainya dengan cara ada insentif-insentif yang diberikan untuk angkutan penyeberangan, jadi bukan malah diberikan biaya-biaya yang lebih dari angkutan darat. Contohnya, jalan raya, biaya perawatannya ditanggung pemerintah," tuturnya.
Penyebab lain, kata dia, adalah tarif rendah yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp700/mil/penumpang, seharusnya tarif keekonomiannya pada rentang Rp1.500-Rp2.000/mil/penumpang.
"Di Filipina dan Thailand memberlakukan tarif jasa angkutan penyeberangan Rp3.500-Rp4.500/mil/penumpang. Nah, kita hanya Rp700/mil/penumpang. Berat sekali, sehingga jumlah pendapatan perusahaan pelayaran sulit untuk menutup biaya kenyamanan dan keselamatan yang ada," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019