Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, membuka opsi menambah kuota atau pagu peserta didik baru di sejumlah sekolah untuk menampung calon siswa yang belum mendapatkan sekolahan selama masa penjaringan melalui PPDB jalur zonasi.
"Ada wacana menambah jumlah siswa dalam dalam setiap rombel (rombongan belajar). Jika sebelumnya ditetapkan (satu rombel) 32 siswa, mungkin nanti bisa ditambah menjadi 36 siswa," kata Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tulungagung, Hariyo Dewanto di Tulungagung, Selasa.
Namun hal itu ia tegaskan masih sebatas wacana. Belum menjadi keputusan yang dituangkan dalam kebijakan daerah.
Menurut Yoyok, panggilan Haryo Dewanto, evaluasi atas hasil PPDB daring jalur zonasi masih dilakukan. Pasalnya telah diterima informasi masih ada siswa yang sampai saat ini belum tertampung di sekolah manapun.
"Kami akan melakukan evaluasi setelah pengumuman PPDB gelombang kedua yakni pada hari ini (Selasa, 25/6)," katanya.
Kata dia, evaluasi itu di antaranya mendata nama siswa yang belum mendapatkan sekolah.
"Yang nantinya akan kita sampaikan kepada bupati, guna mengambil kebijakan agar mereka yang belum mendapatkan sekolah tersebut," katanya.
Di kota, sistem zonasi menjadi persoalan bagi siswa yang domisilinya berada di daerah pinggiran, sehingga berjarak cukup jauh dari sekolah yang dikenal unggulan di wilayah kota.
Ketika akhirnya tidak lolos seleksi karena kalah bersaing dengan pendaftar yang jarak rumahnya lebih dekat, sebagian akhirnya "terlempar" ke sekolah di kecamatan lain (luar kota).
Akibatnya, jarak tempuh sekolah siswa "tidak beruntung" ini justru lebih jauh dari sekolah di kota, dengan radius 2-3 kali lipat.
Beberapa orang tua mengaku, siswa yang secara akademis mumpuni tetapi tidak beruntung karena faktor zonasi banyak yang mengalami beban psikologis karena jarak sekolah jauh, kadang di pedesaan, fasilitas pendidikan tidak kurang serta lingkungan akademis yang tidak kompetitif.
"Anak saya sampai minder dan tidak berminat sekolah di SMP pinggiran. Padahal kalau ke (sekolah) swasta, biayanya sangat mahal. Bagus tapi beban pendidikannya memberatkan orang tua," tutur Ruzak, salah satu wali siswa.
Kondisi sebaliknya terjadi di sejumlah sekolah pinggiran seperti di SMPN 2 Rejotangan. Hingga gelombang dua pendaftaran PPDB daring jalur zonasi yang berakhir hari ini, jumlah siswa yang mendaftar tetap hanya lima orang, dari pagu empat rombel yang disediakan sekolah.
Selain mayoritas wali murid yang anaknya tidak diterima di sekolah unggulan memilih sekolah Islam/swasta Islam yang dianggap religius, siswa "buangan" dari sekolah unggulan yang sebelumnya menjadi pengisi dapodik (data pokok pendidikan) di SMPN 2 Rejotangan, dengan sistem zonasi sekarang sudah tertampung di sekolah negeri sekitarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Ada wacana menambah jumlah siswa dalam dalam setiap rombel (rombongan belajar). Jika sebelumnya ditetapkan (satu rombel) 32 siswa, mungkin nanti bisa ditambah menjadi 36 siswa," kata Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tulungagung, Hariyo Dewanto di Tulungagung, Selasa.
Namun hal itu ia tegaskan masih sebatas wacana. Belum menjadi keputusan yang dituangkan dalam kebijakan daerah.
Menurut Yoyok, panggilan Haryo Dewanto, evaluasi atas hasil PPDB daring jalur zonasi masih dilakukan. Pasalnya telah diterima informasi masih ada siswa yang sampai saat ini belum tertampung di sekolah manapun.
"Kami akan melakukan evaluasi setelah pengumuman PPDB gelombang kedua yakni pada hari ini (Selasa, 25/6)," katanya.
Kata dia, evaluasi itu di antaranya mendata nama siswa yang belum mendapatkan sekolah.
"Yang nantinya akan kita sampaikan kepada bupati, guna mengambil kebijakan agar mereka yang belum mendapatkan sekolah tersebut," katanya.
Di kota, sistem zonasi menjadi persoalan bagi siswa yang domisilinya berada di daerah pinggiran, sehingga berjarak cukup jauh dari sekolah yang dikenal unggulan di wilayah kota.
Ketika akhirnya tidak lolos seleksi karena kalah bersaing dengan pendaftar yang jarak rumahnya lebih dekat, sebagian akhirnya "terlempar" ke sekolah di kecamatan lain (luar kota).
Akibatnya, jarak tempuh sekolah siswa "tidak beruntung" ini justru lebih jauh dari sekolah di kota, dengan radius 2-3 kali lipat.
Beberapa orang tua mengaku, siswa yang secara akademis mumpuni tetapi tidak beruntung karena faktor zonasi banyak yang mengalami beban psikologis karena jarak sekolah jauh, kadang di pedesaan, fasilitas pendidikan tidak kurang serta lingkungan akademis yang tidak kompetitif.
"Anak saya sampai minder dan tidak berminat sekolah di SMP pinggiran. Padahal kalau ke (sekolah) swasta, biayanya sangat mahal. Bagus tapi beban pendidikannya memberatkan orang tua," tutur Ruzak, salah satu wali siswa.
Kondisi sebaliknya terjadi di sejumlah sekolah pinggiran seperti di SMPN 2 Rejotangan. Hingga gelombang dua pendaftaran PPDB daring jalur zonasi yang berakhir hari ini, jumlah siswa yang mendaftar tetap hanya lima orang, dari pagu empat rombel yang disediakan sekolah.
Selain mayoritas wali murid yang anaknya tidak diterima di sekolah unggulan memilih sekolah Islam/swasta Islam yang dianggap religius, siswa "buangan" dari sekolah unggulan yang sebelumnya menjadi pengisi dapodik (data pokok pendidikan) di SMPN 2 Rejotangan, dengan sistem zonasi sekarang sudah tertampung di sekolah negeri sekitarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019