Surabaya (Antaranews Jatim) - Masyarakat petani di Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya, Jawa Timur, panen lombok sejak awal bulan Februari namun terjual dengan harga yang tergolong murah di pasar.

"Harganya naik-turun sejak pekan lalu. Seperti hari Rabu kemarin dihargai Rp7 ribu per kilogram, kemarin naik jadi Rp9 ribu dan hari ini Rp10 ribu," kata Fatimah, salah seorang petani, saat ditemui di sawahnya, ketika sedang memanen lombok, Jumat.

Para petani setempat menjual lombok hasil panennya kepada tengkulak. "Ada banyak tengkulak yang bersedia membeli di sini," ujar nenek berusia 63 tahun itu.

Dia menjelaskan seluruh petani di Sumur Welut Surabaya mulai menanam lombok sejak awal musim hujan di bulan November 2018 lalu.

"Di luar musim hujan kami tidak menanam karena tidak ada air, tanahnya kering," katanya.

Fatimah memiliki lahan sawah seluas 1.880 meter persegi yang dikelola bersama suaminya Muhammad (64). Empat anaknya yang masing-masing sudah berkeluarga memilih melakoni pekerjaan lain, seperti menjadi kuli, jual jajan gorengan dan sayuran di pasar daripada membantu mengelola sawah.

"Rata-rata petani di sini juga banyak yang sudah menjual tanahnya ke pihak perusahaan. Meski begitu mereka masih menanam di lahan sawah yang telah dijualnya karena masih belum dirubah fungsinya oleh perusahaan yang telah membeli," ujarnya.

Menurut Fatimah, rata-rata petani di Kelurahan Sumur Welut memilih menjual sawahnya karena sudah tidak tahan dengan hasil panennya yang sering kali laku murah di pasar.

"Seperti sekarang ini, lombok cuma laku Rp7 ribu hingga 9 ribu perkilogram. Dulu ketika harganya sampai Rp110ribu perkilogram, lombok yang kami tanam justru tidak tumbuh," ucapnya.

Belum lagi ketika hasil panennya rusak. Dia menunjuk pada sejumlah lombok hasil panennya yang terlihat kurang sehat dan hanya dihargai Rp3 ribu di tangan tengkulak namun bisa laku seharga Rp11 ribu hingga 12 ribu di pasar.

Namun sejumlah petani di Kelurahan Sumur Welut Surabaya mengaku masih bertahan mengelola sawah meski kebanyakan hasil panennya laku dengan harga murah di pasar.

Sudatik contohnya. Perempuan berusia 42 tahun itu bersama suaminya Yunus (42) masih tekun mengelola lahan sawah seluas 500 meter persegi. Saat musim hujan mereka menanam lombok. Ketika musim berganti kemarau mereka menanam kacang hijau dan jagung. Berbeda dengan Fatimah yang ketika datang musim kemarau memilih tidak menanam karena kesulitan air dan hanya membiarkan tanah sawahnya yang kering.

Menurut Sudatik, di Kelurahan Sumur Welut Surabaya terdapat dua kelompok tani yang masing-masing beranggotakan lebih dari 100 orang.

"Dari kelompok tani ini kami sudah diajari bikin bibit sendiri. Seperti tanaman lombok yang sekarang sedang kami panen, bibitnya bikin sendiri. Itu justru menguntungkan. Karena biasanya kalau bibitnya beli sering kali tidak cocok dengan tanah di sini sehingga menjadi gagal panen," katanya.

Berapapun hasil panennya dibeli oleh tengkulak, Sudatik mengaku `legowo`. "Tahun lalu lombok hasil panen kami dibeli seharga Rp50 ribu perkilogram, tahun ini dibeli murah mulai seharga Rp7 ribu hingga 10 ribu, disyukuri saja," ucap ibu dari dua orang anak ini. (*)

Video Oleh Hanif Nashrullah
 

Pewarta: Hanif Nashrullah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019