Surabaya (Antaranews Jatim) - Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kompas) Arif Hidayat mengatakan, ancaman gizi buruk dan stunting masih akan menghantui anak-anak di Indonesia, meski berdasarkan Riskesdas 2018 menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia, karena minimnya edukasi masyarakat mengenai 1.000 HPK dan tumbuh kembang anak.
"Dari pemantauan kami di beberapa wilayah, permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah akses kesehatan yang sulit dijangkau, belum memiliki atau terkendala BPJS hingga pengetahuan masyarakat tentang gizi dan tumbuh kembang anak sangat minim," kata Arif dalam keterangan persnya di Surabaya, Jumat.
Ia masih menemukan bayi dan balita yang mengonsumsi susu kental manis bahkan minuman ringan rasa kopi susu, karena orang tua beranggapan minuman tersebut adalah susu yang dapat mencukupi gizi anak.
Arif menilai perlu adanya sinergi baik pemerintah dan swasta maupun lembaga-lembaga nonpemerintah atau LSM. Oleh karena itu Kopmas hadir membantu pemerintah bersama-sama dalam upaya mengurangi gizi buruk, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya generasi muda.
"Kami menyampaikan apresiasi terhadap pemerintah, Kemkes & BPOM yang telah mengeluarkan PerBPOM No.31 Th 2018 tentang Label Pangan Olahan yang diharapkan dapat menjadi langkah awal perbaikan gizi masyarakat dimasa mendatang," kata dia.
Meski demikian, langkah ini tak berhenti dengan penerbitan regulasi, namun juga harus berlanjut pada edukasi kepada masyarakat dan produsen makanan dan minuman, pengawasan serta penindakan yang tegas apabila ada pelanggaran. Untuk inilah dibutuhkan sinergi antara masyarakat, LSM/NGO dan pemerintah.
Terkait aturan tentang Label Pangan Olahan tersebut, Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah menegaskan BPOM segera menyosialisasikan, terutama kepada produsen.
"Meski grace periodenya ditetapkan 30 bulan, tapi kami dorong pengusaha agar melakukan penyesuaian secepatnya, termasuk mengenai produk SKM. Kami sudah mapping dan memang ditemukan lebih banyak produk kriemer yang beredar dibanding susu kental manis," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Dari pemantauan kami di beberapa wilayah, permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah akses kesehatan yang sulit dijangkau, belum memiliki atau terkendala BPJS hingga pengetahuan masyarakat tentang gizi dan tumbuh kembang anak sangat minim," kata Arif dalam keterangan persnya di Surabaya, Jumat.
Ia masih menemukan bayi dan balita yang mengonsumsi susu kental manis bahkan minuman ringan rasa kopi susu, karena orang tua beranggapan minuman tersebut adalah susu yang dapat mencukupi gizi anak.
Arif menilai perlu adanya sinergi baik pemerintah dan swasta maupun lembaga-lembaga nonpemerintah atau LSM. Oleh karena itu Kopmas hadir membantu pemerintah bersama-sama dalam upaya mengurangi gizi buruk, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya generasi muda.
"Kami menyampaikan apresiasi terhadap pemerintah, Kemkes & BPOM yang telah mengeluarkan PerBPOM No.31 Th 2018 tentang Label Pangan Olahan yang diharapkan dapat menjadi langkah awal perbaikan gizi masyarakat dimasa mendatang," kata dia.
Meski demikian, langkah ini tak berhenti dengan penerbitan regulasi, namun juga harus berlanjut pada edukasi kepada masyarakat dan produsen makanan dan minuman, pengawasan serta penindakan yang tegas apabila ada pelanggaran. Untuk inilah dibutuhkan sinergi antara masyarakat, LSM/NGO dan pemerintah.
Terkait aturan tentang Label Pangan Olahan tersebut, Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah menegaskan BPOM segera menyosialisasikan, terutama kepada produsen.
"Meski grace periodenya ditetapkan 30 bulan, tapi kami dorong pengusaha agar melakukan penyesuaian secepatnya, termasuk mengenai produk SKM. Kami sudah mapping dan memang ditemukan lebih banyak produk kriemer yang beredar dibanding susu kental manis," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019