Surabaya (Antaranews Jatim) - Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Korwil Kota Surabaya menolak Peraturan Direktur Jaminan Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 yang diterapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengenai rujukan berobat yang dianggap memberatkan warga.
Koordinator Persi Korwil Surabaya Herminiati, di Surabaya, Rabu, mengatakan dengan aturan baru tersebut warga tidak bisa lagi meminta rujukan ke rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggalnya, melainkan harus dirujuk ke rumah sakit tipe D dulu, baru kalau tidak mampu bisa dirujuk ke rumah sakit tipe C, B, dan A.
"Makanya kami dari Persi menolak aturan itu. Seharusnya diolah dahulu baru diuji coba. Uji coba pun menurut saya jangan seluruh Indonesia. Misalnya satu kota dulu atau desa kemudian baru diperbaiki," kata Herminiati.
Direktur Utama Rumah Sakit Ibu dan Anak Putri Surabaya ini mengaku telah melakukan pertemuan sebanyak tiga kali untuk membahas peraturan baru tersebut. Menurutnya, secara substansi peraturan itu jelas mengurangi manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan tidak selaras dengan Peraturan Direktur Jaminan Kesehatan (Perdirjampel) dengan program prioritas nasional kesehatan.
"Misalnya pasien yang sudah berobat lama di rumah sakit tipe B, tentunya data-data sudah terekam di sana. Tetapi karena harus ke rumah sakit yang baru (tipe D) akan menyebabkan pasien tersebut harus mengulangi semua pemeriksaan dimulai dari awal," katanya.
Herminiati menganggap bahwa peraturan yang diberlakukan ini juga menyalahi UU Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Kesehatan. Dalam UU itu tertuang, bahwa setiap orang berhak dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
"Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman bermutu dan terjangkau. Setiap orang juga berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya," katanya.
Herminiati mengatakan saat ini jumlah rumah sakit di Surabaya yang telah ikut BPJS Kesehatan sebanyak 48 dengan perincian 9 rumah sakit tipe D, 13 rumah sakit tipe C, 10 rumah sakit tipe B dan 3 rumah sakit tipe A. Sedangkan, untuk rumah sakit khusus, ada 6 terbagi tipe B, C, dan D.
"Sehingga peraturan baru itu akan berimbas pada jarak yang ditempuh oleh pasien. Belum lagi, kalau pasien membutuhkan pengobatan lanjutan, ini akan mempersulit dan menyengsarakan pasien," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, pihaknya mengaku telah melayangkan surat ke pemerintah pusat. Menurut dia, hendaknya peraturan baru tersebut bisa ditinjau ulang supaya tidak meresahkan dunia perumahsakitan dan masyarakat Kota Surabaya pada umumnya.
"Seyogyanya, baik BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Persi, dan organisasi profesi dapat duduk bersama dan menyelesaikan hal ini. Kami di Jawa Timur sudah mengirim surat ke pusat agar ditindaklanjuti sistem ini karena dianggap tidak nyaman," katanya.
Bahkan, dalam waktu dekat pihaknya akan kembali mengadakan pertemuan untuk membahas progres surat yang telah dilayangkan tersebut. Bagaimana hasil surat itu, dan langkah selanjutnya yang akan diambil.
Selain itu, Herminiati mengaku pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Korwil-Korwil Persi yang lain serta ahli profesi. "Jadi tanggal 7 Oktober nanti, ada rapat Persi. Itu akan menilai surat yang telah kita kirim bagaimana hasilnya," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya Febria Rahmanita sebelumnya menyampaikan bahwa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini telah mengirimkan surat kepada Kementerian Kesehatan dan Direktur Utama BPJS agar meninjau ulang mekanisme pelayanan rujuk berobat yang dinilai membebani masyarakat dan rumah sakit.
"Bu wali kota sudah membuat surat ke Kemenkes dan Dirut BPJS yang isinya meminta peraturan itu ditinjau ulang," ujarnya.
Febria menambahkan Pemerintah Kota Surabaya berupaya memberikan kemudahan pelayanan kesehatan bagi warganya. Untuk mengurangi beban masyarakat, pemkot menggunakan alternatif lain yakni cara manual meski imbasnya anggaran yang dibutuhkan akan bertambah.
"Karena tak bisa diklaimkan ke BPJS kesehatan, pemkot nanti akan intervensi," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Koordinator Persi Korwil Surabaya Herminiati, di Surabaya, Rabu, mengatakan dengan aturan baru tersebut warga tidak bisa lagi meminta rujukan ke rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggalnya, melainkan harus dirujuk ke rumah sakit tipe D dulu, baru kalau tidak mampu bisa dirujuk ke rumah sakit tipe C, B, dan A.
"Makanya kami dari Persi menolak aturan itu. Seharusnya diolah dahulu baru diuji coba. Uji coba pun menurut saya jangan seluruh Indonesia. Misalnya satu kota dulu atau desa kemudian baru diperbaiki," kata Herminiati.
Direktur Utama Rumah Sakit Ibu dan Anak Putri Surabaya ini mengaku telah melakukan pertemuan sebanyak tiga kali untuk membahas peraturan baru tersebut. Menurutnya, secara substansi peraturan itu jelas mengurangi manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan tidak selaras dengan Peraturan Direktur Jaminan Kesehatan (Perdirjampel) dengan program prioritas nasional kesehatan.
"Misalnya pasien yang sudah berobat lama di rumah sakit tipe B, tentunya data-data sudah terekam di sana. Tetapi karena harus ke rumah sakit yang baru (tipe D) akan menyebabkan pasien tersebut harus mengulangi semua pemeriksaan dimulai dari awal," katanya.
Herminiati menganggap bahwa peraturan yang diberlakukan ini juga menyalahi UU Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Kesehatan. Dalam UU itu tertuang, bahwa setiap orang berhak dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
"Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman bermutu dan terjangkau. Setiap orang juga berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya," katanya.
Herminiati mengatakan saat ini jumlah rumah sakit di Surabaya yang telah ikut BPJS Kesehatan sebanyak 48 dengan perincian 9 rumah sakit tipe D, 13 rumah sakit tipe C, 10 rumah sakit tipe B dan 3 rumah sakit tipe A. Sedangkan, untuk rumah sakit khusus, ada 6 terbagi tipe B, C, dan D.
"Sehingga peraturan baru itu akan berimbas pada jarak yang ditempuh oleh pasien. Belum lagi, kalau pasien membutuhkan pengobatan lanjutan, ini akan mempersulit dan menyengsarakan pasien," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, pihaknya mengaku telah melayangkan surat ke pemerintah pusat. Menurut dia, hendaknya peraturan baru tersebut bisa ditinjau ulang supaya tidak meresahkan dunia perumahsakitan dan masyarakat Kota Surabaya pada umumnya.
"Seyogyanya, baik BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Persi, dan organisasi profesi dapat duduk bersama dan menyelesaikan hal ini. Kami di Jawa Timur sudah mengirim surat ke pusat agar ditindaklanjuti sistem ini karena dianggap tidak nyaman," katanya.
Bahkan, dalam waktu dekat pihaknya akan kembali mengadakan pertemuan untuk membahas progres surat yang telah dilayangkan tersebut. Bagaimana hasil surat itu, dan langkah selanjutnya yang akan diambil.
Selain itu, Herminiati mengaku pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Korwil-Korwil Persi yang lain serta ahli profesi. "Jadi tanggal 7 Oktober nanti, ada rapat Persi. Itu akan menilai surat yang telah kita kirim bagaimana hasilnya," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya Febria Rahmanita sebelumnya menyampaikan bahwa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini telah mengirimkan surat kepada Kementerian Kesehatan dan Direktur Utama BPJS agar meninjau ulang mekanisme pelayanan rujuk berobat yang dinilai membebani masyarakat dan rumah sakit.
"Bu wali kota sudah membuat surat ke Kemenkes dan Dirut BPJS yang isinya meminta peraturan itu ditinjau ulang," ujarnya.
Febria menambahkan Pemerintah Kota Surabaya berupaya memberikan kemudahan pelayanan kesehatan bagi warganya. Untuk mengurangi beban masyarakat, pemkot menggunakan alternatif lain yakni cara manual meski imbasnya anggaran yang dibutuhkan akan bertambah.
"Karena tak bisa diklaimkan ke BPJS kesehatan, pemkot nanti akan intervensi," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018