Jakarta (Antaranews jatim) - Peneliti Iktiologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI yakni Dr. Renny Kurnia Hadiaty dan Dr. Haryono menyarankan agar ikan Arapaima Gigas asal Brazil segera ditangkap di perairan umum Indonesia.
Peraturan larangan masuknya ikan Arapaima Gigas ke perairan Indonesia telah diterapkan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2014. Sebaiknya segera dilakukan sosialisasi pada para pelaku, pengusaha, dan pemelihara ikan hias serta segera diterapkan, dikenakan sanksi bagi para pelanggar aturan tersebut, kata Renny di Jakarta, Jumat.
Ia menegaskan ikan tersebut termasuk dalam kategori predator ikan air tawar yang berbahaya bagi fauna akuatik asli Indonesia.
Sementara itu Haryono mengatakan masyarakat bila menjumpai ikan serupa lagi di perairan umum agar segera menangkap ikan tersebut.
Ikan segera dikeluarkan dari perairan. Dagingnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar karena di negara asalnya pun daging ikan ini bisa dikonsumsi.
Ikan Arapaima Gigas ini adalah salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki bentuk unik. Hal ini membuat siapa saja akan tertarik dengan jenis ikan satu itu.
Namun ikan Arapaima Gigas ternyata cukup berbahaya. Terutama untuk ikan asli Indonesia karena bersifat karnivor atau predator, makanannya berupa ikan jenis lain, krustasea, katak, burung yang dijumpai di sekitar permukaan perairan.
Keberadaan Arapaima Gigas apabila sampai masuk ke perairan umum Indonesia dapat menjadi kompetitor untuk ikan asli dalam mendapat makanan maupun pemanfaatan ruang, bila ukurannya sama dengan ikan asli.
Namun mengingat ukurannya dapat mencapai tiga hingga empat meter dengan berat ratusan kilogram, tentu bisa menghabiskan fauna akuatik asli di perairan manapun.
Kemampuan ikan Arapaima
Renny mengatakan kemampuan bertahan ikan Arapaima Gigas di perairan umum sangat baik, meskipun kondisi perairan yang tidak bagus karena ikan ini dapat mengambil oksigen langsung dari udara. Struktur insang hanya berfungsi saat masih juvenil (remaja).
Seiring dengan pertumbuhan ikan itu, insang tersebut mengalami transisi menjadi paru-paru primitive yang memungkinkan ikan ini untuk beradaptasi di lingkungan yang buruk dan rendah kadar oksigen sekalipun.
Hal lainnya adalah induk Arapaima Gigas mempunyai pola pengasuhan, jantan dan betina bekerja sama membuat lubang dengan lebar sekitar 50 centimeter (cm) dan kedalaman 20 cm. Betina akan meletakkan telurnya yang dapat mencapai 50.000 butir di lubang tersebut, lalu jantan membuahi telur dan telur itu pun dijaga dengan baik oleh si jantan.
Selain itu, ia mengemukakan warna kepala ikan ini berubah menjadi lebih gelap untuk melindungi keberadaan junvenilnya yang baru menetas. Setelah anak-anaknya cukup besar, induk jantan warnanya kembali lebih cerah dan berenang meninggalkan mereka.
Kondisi di Brasil
Menurut Haryono, di negara asalnya, ikan Arapaima Gigas sudah mengalami overfishing. Sehingga, pemerintah Brasil melarang untuk menangkapnya sejak 2001, namun illegal fishing masih terus berlanjut hingga diduga populasinya semakin menurun.
Menurut World Conservation Monitoring Centre, ikan ini telah masuk dalam Red List of Threathened Species IUCN 1996, walaupun IUCN belum menetapkan status karena tidak adanya data mendetail tentang status populasinya.
Arapaima Gigas telah pula masuk dalam list Convention International Trade in Endangered (CITES) dan tergolong Appendix II, berarti ikan spesies ini belum mengalami kepunahan, namun harus dikontrol perdagangannya untuk mencegah hal-hal yang berimbas pada kelestarian, keberadaannya di alam.
Arapaima Gigas dinamai pirarucu oleh masyarakat lokal di sepanjang Sungai Amazon yang artinya ikan merah. Penamaan ini berdasarkan pancaran kemerahan dari sisik-sisik ke arah ekor dan juga warna kemerahan-oranye dari filet dagingnya.
Ikan itu merupakan ikan air tawar endemik Sungai Amazon yang dideskripsi oleh seorang dokter dan naturalis dari Swiss, Prof. Dr. Heinrich Rudolf Schinz. Ikan ini telah dipublikasikan tahun 1822.
Ikan Arapaima Gigas berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Amazon, Brasil. Selain itu, ikan ini juga dijumpai di negara-negara lain sepanjang Sungai Amazon lainnya, yaitu Kolombia, Equador, Guyana, dan Peru.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Peraturan larangan masuknya ikan Arapaima Gigas ke perairan Indonesia telah diterapkan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2014. Sebaiknya segera dilakukan sosialisasi pada para pelaku, pengusaha, dan pemelihara ikan hias serta segera diterapkan, dikenakan sanksi bagi para pelanggar aturan tersebut, kata Renny di Jakarta, Jumat.
Ia menegaskan ikan tersebut termasuk dalam kategori predator ikan air tawar yang berbahaya bagi fauna akuatik asli Indonesia.
Sementara itu Haryono mengatakan masyarakat bila menjumpai ikan serupa lagi di perairan umum agar segera menangkap ikan tersebut.
Ikan segera dikeluarkan dari perairan. Dagingnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar karena di negara asalnya pun daging ikan ini bisa dikonsumsi.
Ikan Arapaima Gigas ini adalah salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki bentuk unik. Hal ini membuat siapa saja akan tertarik dengan jenis ikan satu itu.
Namun ikan Arapaima Gigas ternyata cukup berbahaya. Terutama untuk ikan asli Indonesia karena bersifat karnivor atau predator, makanannya berupa ikan jenis lain, krustasea, katak, burung yang dijumpai di sekitar permukaan perairan.
Keberadaan Arapaima Gigas apabila sampai masuk ke perairan umum Indonesia dapat menjadi kompetitor untuk ikan asli dalam mendapat makanan maupun pemanfaatan ruang, bila ukurannya sama dengan ikan asli.
Namun mengingat ukurannya dapat mencapai tiga hingga empat meter dengan berat ratusan kilogram, tentu bisa menghabiskan fauna akuatik asli di perairan manapun.
Kemampuan ikan Arapaima
Renny mengatakan kemampuan bertahan ikan Arapaima Gigas di perairan umum sangat baik, meskipun kondisi perairan yang tidak bagus karena ikan ini dapat mengambil oksigen langsung dari udara. Struktur insang hanya berfungsi saat masih juvenil (remaja).
Seiring dengan pertumbuhan ikan itu, insang tersebut mengalami transisi menjadi paru-paru primitive yang memungkinkan ikan ini untuk beradaptasi di lingkungan yang buruk dan rendah kadar oksigen sekalipun.
Hal lainnya adalah induk Arapaima Gigas mempunyai pola pengasuhan, jantan dan betina bekerja sama membuat lubang dengan lebar sekitar 50 centimeter (cm) dan kedalaman 20 cm. Betina akan meletakkan telurnya yang dapat mencapai 50.000 butir di lubang tersebut, lalu jantan membuahi telur dan telur itu pun dijaga dengan baik oleh si jantan.
Selain itu, ia mengemukakan warna kepala ikan ini berubah menjadi lebih gelap untuk melindungi keberadaan junvenilnya yang baru menetas. Setelah anak-anaknya cukup besar, induk jantan warnanya kembali lebih cerah dan berenang meninggalkan mereka.
Kondisi di Brasil
Menurut Haryono, di negara asalnya, ikan Arapaima Gigas sudah mengalami overfishing. Sehingga, pemerintah Brasil melarang untuk menangkapnya sejak 2001, namun illegal fishing masih terus berlanjut hingga diduga populasinya semakin menurun.
Menurut World Conservation Monitoring Centre, ikan ini telah masuk dalam Red List of Threathened Species IUCN 1996, walaupun IUCN belum menetapkan status karena tidak adanya data mendetail tentang status populasinya.
Arapaima Gigas telah pula masuk dalam list Convention International Trade in Endangered (CITES) dan tergolong Appendix II, berarti ikan spesies ini belum mengalami kepunahan, namun harus dikontrol perdagangannya untuk mencegah hal-hal yang berimbas pada kelestarian, keberadaannya di alam.
Arapaima Gigas dinamai pirarucu oleh masyarakat lokal di sepanjang Sungai Amazon yang artinya ikan merah. Penamaan ini berdasarkan pancaran kemerahan dari sisik-sisik ke arah ekor dan juga warna kemerahan-oranye dari filet dagingnya.
Ikan itu merupakan ikan air tawar endemik Sungai Amazon yang dideskripsi oleh seorang dokter dan naturalis dari Swiss, Prof. Dr. Heinrich Rudolf Schinz. Ikan ini telah dipublikasikan tahun 1822.
Ikan Arapaima Gigas berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Amazon, Brasil. Selain itu, ikan ini juga dijumpai di negara-negara lain sepanjang Sungai Amazon lainnya, yaitu Kolombia, Equador, Guyana, dan Peru.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018