Surabaya (Antara Jatim) - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jawa Timur menilai industri pasar modern atau supermarket di wilayah setempat melemah akibat ketidakpastian pemberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2014 tentang penataan toko swalayan.

"Akibat tidak pasti itu berdampak pada penurunan pendapatan industri ritel pada triwulan pertama, dan melemah sampai tujuh persen," kata Ketua Bidang Supermarket Aprindo Jatim Donny Kurniawan di Surabaya, Senin.

Padahal, kata dia, pertumbuhan peritel di kuartal pertama tahun 2016 mencapai 11 persen.

Ia mengatakan ketidakpastian pemberlakukan Perda nomor 8 Tahun 2014 membuat waktu buka atau tutup beberapa supermarket tidak jelas sehingga pertumbuhan ritel tidak stabil.

"Yang kami harapkan ada kepastian perda sehingga kami bisa meningkatkan distribusi produk rumah tangga 50 persen hingga 60 persen," katanya.

Menurut dia kebutuhan ritel di masyarakat didominasi oleh produk-produk rumah tangga. Dengan adanya kejelasan perda diharapkan ada kenaikan sektor ritel 12 persen hingga 15 persen di triwulan kedua 2017.

Pihaknya bersama Aprindo pusat telah berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Keuangan untuk berusaha menekan laju inflasi agar harga barang tidak naik.

Menurutnya, apabila inflasi mampu ditekan rendah maka harga tidak akan naik serta pertumbuhan ritel akan lebih bagus. Kenaikan inflasi sebelumnya yang mencapai empat persen sangat berpengaruh pada naiknya harga.

"Saat ini kami memiliki 600 peritel di Jatim, mulai dari hipermarket, supermarket, toko swalawan. Target kami naik sampai 15 persen pada tahun 2017 meski masih dirugikan dengan tidak jelasnya perda," katanya. (*)

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017