Jalan hidup tidak pernah lurus, tapi dia penuh liku dan berlubang. Tapi apakah kondisi jalan raya juga seperti kata pepatah yang menggambarkan perjuangan hidup itu? Jawaban dari pertanyaan itu bisa jadi iya, jika tanpa pemeliharaan yang berkesinambungan.
Jalan berlubang memang merupakan keniscayaan dan sangat mungkin terjadi. Jalan dilintasi kendaraan berbagai macam dengan tonase yang beragam pula. Jalan juga sangat rentan terhadap iklim, khususnya saat musim hujan. Jalan memiliki masa produktif, dan tentu juga masa pemeliharaan. Artinya, dua sisi yang berbeda, namun membutuhkan penanganan yang terintegrasi agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat.
Jalan berlubang atau jalan rusak tampaknya semakin mudah ditemukan saat musim hujan. Kubangan air di jalan sangat terlihat jelas. Berbagai daerah di Jawa Timur merasakan hal itu. Contoh saja, Jalan Kalianak Surabaya, kawasan Bunder Gresik, Babat, Bojonegoro, Pasuruan, Trenggalek dan sejumlah daerah lainnya.
Kondisi tersebut tentu sangat mengganggu kelancaran aktivitas masyarakat. Waktu tempuh akan menjadi lebih panjang karena harus sangat waspada jika tidak ingin celaka akibat terjerembab akibat jalan rusak.
Kerusakan jalan itu diakui Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf. Berdasarkan data yang dimiliki, kondisi jalan mantap di Jawa Timur sepanjang 1.262,83 kilometer dan jalan tidak mantap 158,17 kilometer (11,31 persen).
Dengan demikian, ada 158,17 kilometer jalan di provinsi bagian timur Pulau Jawa ini yang membutuhkan perhatian serius. Sebab, jalan tidak hanya sekadar untuk menunjang mobilitas warga tetapi juga akses pendukung kelancaran aktivitas perekonomian masyarakat.
Kondisi jalan yang rusak tidak hanya akan berdampak terganggunya aktivitas warga, terancamnya keselamatan masyarakat saat berkendaraan, namun juga aktivitas perekonomian masyarakat menjadi tersendat. Distribusi barang dan jasa juga mejadi tidak lancar.
Oleh karena itu, sangat beralasan jika Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf saat meninjau perbaikan jalan rusak meminta agar instansi terkait bisa dengan sungguh-sungguh melakukan perbaikan jalan-jalan yang rusak tersebut.
Permintaan orang nomor dua di jajaran Pemprov Jawa Timur itu tentu tidak serta bisa dijalankan karena penanganannya perlu proses. Apalagi untuk perbaikan jalan yang panjang dan membutuhkan biaya cukup besar. Membutuhkan penganggaran dan proses lelang.
Mekanisme seperti itu cukup baik untuk tertib administrasi dan pengawasan. Namun, karena kondisi riil, kondisi jalan rusak bisa terjadi sewaktu-waktu, dan telah berlangsung bertahun-tahun, maka perlu terobosan agar perbaikan jalan rusak tidak menunggu penanganan yang lama. Penanganan yang lama justru akan berdampak semakin parahnya erusakan. Pada akhirnya, anggaran yang dibutuhkan juga semakin membengkak.
Kendati demikian, ada yang bisa dipahami dan dipermaklumkan atas keterlambatan perbaikan jalan rusak saat musim hujan. Kendala terbesar untuk memperbaiki jalan, utamanya jalan beraspal, adalah air hujan. Pengaspalan akan cepat rusak akibat daya rekat rendah.
Tapi, hal ini juga harus dicarikan solusinya agar air hujan tidak selalu dijadikan biang dari kerusakan dan keterlambatan penanangannya. Pengetatan aturan penggunaan klas jalan, peningkatan kualitas jalan, mengurangi beban jalan dengan mencari atau mengganti sarana transportasi alternatif, serta mencoba menciptakan teknologi yang dapat membuat daya tahan lebih lama, bisa jadi akan sangat membantu menekan tingkat kerusakan jalan itu sendiri. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017