Jakarta, (Antara) - Lembaga swadaya masyarakat Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyoroti penurunan tingkat remitansi dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tahun 2016 sebesar 15,65 persen dibandingkan dengan tahun 2015.
"Menurunnya remitansi di tahun 2016 sebesar 15,65 persen dibanding tahun sebelumnya telah merugikan masyarakat miskin yang selama ini menggunakan remitansi sebagai sumber penghidupan mereka," kata Peneliti CIPS bidang migrasi dan kewirausahaan, Rofi Uddarojat dalam rilis, Rabu.
Berdasarkan data remitansi TKI di tahun 2016 yang dirilis oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) adalah sebesar Rp97 triliun (sampai Oktober 2016), yang mengalami penurunan sebesar 15,65 persen dari tahun sebelumnya di bulan yang sama, yaitu sebesar Rp115 triliun.
Penurunan remitansi ini dinilai disebabkan oleh menurunnya jumlah TKI yang pergi ke luar negeri sejak diberlakukannya moratorium TKI informal ke Timur Tengah pada Mei 2015.
Setelah diberlakukannya moratorium tersebut, penempatan TKI ke luar negeri telah berkurang sebesar 50,47 persen.
Peneliti CIPS berpendapat bahwa kebijakan yang diambil oleh Menteri Ketenagakerjaan tersebut telah menggerus kesempatan kerja di luar negeri bagi masyarakat menengah ke bawah.
Studi yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan remitansi telah mendukung kesejahteraan masyarakat miskin dengan penggunaan konsumsi rumah tangga, membangun perumahan, biaya pendidikan, dan modal memulai wirausaha.
Dia mengingatkan bahwa Bank Dunia memperkirakan remitansi TKI telah mengurangi angka kemiskinan sebesar 26,7 persen pada periode 2000-2007, dan migrasi berdampak tidak hanya pada keuntungan ekonomi tetapi juga pada peningkatan keterampilan, mental, dan pengetahuan, terutama pada TKI perempuan.
"Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi kebijakan moratorium ke Timur Tengah. Selain tidak efektif mencegah keberangkatan TKI ilegal, kebijakan ini juga secara signifikan mengurangi remitansi yang sangat membantu masyarakat kecil di pedesaan," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, pemerintah daerah perlu didorong untuk mengirimkan TKI formal dibandingkan dengan informal.
"Kami ingin mendorong pemda dalam mengirimkan tenaga kerja sektor formal, bukan lagi informal," kata Dede Yusuf.
Menurut dia, bedanya TKI formal dan informal adalah mereka yang formal dinilai lebih berpendidikan, bersertifikasi, serta memiliki kontrak yang jelas.
Politisi Partai Demokrat itu mengingatkan bahwa sebagian besar TKI yang bekerja di luar negeri bergerak di sektor informal, sehingga TKI tidak memiliki posisi tawar-menawar yang kuat dalam menentukan kontrak kerja.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka mengingatkan pentingnya integrasi terkait kebijakan antarlembaga pemerintahan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kerap menimpa tenaga TKI.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
"Menurunnya remitansi di tahun 2016 sebesar 15,65 persen dibanding tahun sebelumnya telah merugikan masyarakat miskin yang selama ini menggunakan remitansi sebagai sumber penghidupan mereka," kata Peneliti CIPS bidang migrasi dan kewirausahaan, Rofi Uddarojat dalam rilis, Rabu.
Berdasarkan data remitansi TKI di tahun 2016 yang dirilis oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) adalah sebesar Rp97 triliun (sampai Oktober 2016), yang mengalami penurunan sebesar 15,65 persen dari tahun sebelumnya di bulan yang sama, yaitu sebesar Rp115 triliun.
Penurunan remitansi ini dinilai disebabkan oleh menurunnya jumlah TKI yang pergi ke luar negeri sejak diberlakukannya moratorium TKI informal ke Timur Tengah pada Mei 2015.
Setelah diberlakukannya moratorium tersebut, penempatan TKI ke luar negeri telah berkurang sebesar 50,47 persen.
Peneliti CIPS berpendapat bahwa kebijakan yang diambil oleh Menteri Ketenagakerjaan tersebut telah menggerus kesempatan kerja di luar negeri bagi masyarakat menengah ke bawah.
Studi yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan remitansi telah mendukung kesejahteraan masyarakat miskin dengan penggunaan konsumsi rumah tangga, membangun perumahan, biaya pendidikan, dan modal memulai wirausaha.
Dia mengingatkan bahwa Bank Dunia memperkirakan remitansi TKI telah mengurangi angka kemiskinan sebesar 26,7 persen pada periode 2000-2007, dan migrasi berdampak tidak hanya pada keuntungan ekonomi tetapi juga pada peningkatan keterampilan, mental, dan pengetahuan, terutama pada TKI perempuan.
"Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi kebijakan moratorium ke Timur Tengah. Selain tidak efektif mencegah keberangkatan TKI ilegal, kebijakan ini juga secara signifikan mengurangi remitansi yang sangat membantu masyarakat kecil di pedesaan," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, pemerintah daerah perlu didorong untuk mengirimkan TKI formal dibandingkan dengan informal.
"Kami ingin mendorong pemda dalam mengirimkan tenaga kerja sektor formal, bukan lagi informal," kata Dede Yusuf.
Menurut dia, bedanya TKI formal dan informal adalah mereka yang formal dinilai lebih berpendidikan, bersertifikasi, serta memiliki kontrak yang jelas.
Politisi Partai Demokrat itu mengingatkan bahwa sebagian besar TKI yang bekerja di luar negeri bergerak di sektor informal, sehingga TKI tidak memiliki posisi tawar-menawar yang kuat dalam menentukan kontrak kerja.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka mengingatkan pentingnya integrasi terkait kebijakan antarlembaga pemerintahan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kerap menimpa tenaga TKI.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017