Jakarta, (Antara) - Badan Intelijen Negara (BIN) segera memiliki kepala baru, menyusul surat Presiden Joko Widodo tertanggal 1 September kepada Ketua DPR Ade Komaruddin yang mengajukan nama Wakil Kepala Polri Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai Kepala BIN menggantikan Letjen (Purnawirawan) Sutiyoso.
Kabar pergantian Kepala BIN ini sudah merebak hingga ke awak media massa seiring dengan perombakan kabinet kerja jilid II pada 27 Juli lalu.
Saat ditanya wartawan parlemen di kompleks DPR pada 23 Agustus lalu, Sutiyoso yang menjabat Kepala BIN sejak 8 Juli 2015 telah menyatakan kesiapannya untuk diganti karena pergantian pejabat tersebut merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, kepastian rencana dan proses penggantian Kepala BIN berjalan pada pekan pertama bulan ini.
Ketua DPR RI menjadwalkan proses uji kelayakan dan kepatutan Budi Gunawan sebagai calon Kepala BIN berlangsung pada pekan ini.
Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung, saat menyertai lawatan Presiden Joko Widodo di Hangzhou, China, Jumat (2/9) untuk menghadiri KTT G20 pada 4-5 September 2016, bahwa bila proses uji kelayakan dan kepatutan itu berjalan lancar maka Presiden Joko Widodo menjadwalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN berlangsung setelah Presiden tiba di Tanah Air dari lawatannya mengikuti KTT ASEAN pada 6-8 September 2016.
Pramono menyebut alasan penggantian Kepala BIN adalah soal regenerasi.
Budi Gunawan bakal menjadi Kepala BIN yang ke-15 sejak lembaga itu berdiri dengan nama Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) pada 1946.
Deretan tokoh yang berpengalaman memimpin lembaga ini adalah Kepala BRANI Kolonel Zulkifli Lubis (1946-1958), Kepala Badan Koordinasi Intelijen (BKI) Kolonel Laut Pirngadi (5 Desember 1958 - 10 November 1959), Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio (1959-1965), Letjen TNI Soeharto (1965 - 22 Agustus 1966), Kepala Komando Intelijen Negara Brigjen Yoga Soegama (22 Agustus 1966 - 22 Mei 1967), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Soedirgo (22 Mei 1967 - 21 November 1968).
Kemudian, Mayjen Sutopo Juwono (21 November 1968 - Januari 1974), Mayjen Yoga Soegama (Januari 1974 - 2 Juni 1989), Letjen Sudibyo (2 Juni 1989 - April 1996), Letjen Moetojib (April 1996 - 21 Mei 1998), Letjen Zaini Azhar Maulani (21 Mei 1998 - 20 November 1999), Kepala BIN Letjen Arie J Kumaat (20 November 1999 - 9 Agustus 2001), Letjen Abdullah Makhmud Hendropriyono (9 Agustus 2001 - 22 Oktober 2004), Letjen Syamsir Siregar (22 Oktober 2004 - 19 Oktober 2009), Jenderal Pol Sutanto (19 Oktober 2009 - 19 Oktober 2011), dan Letjen Marciano Norman (19 Oktober 2011 - 8 Juli 2015), dan Sutiyoso (sejak 8 Juli 2015).
Dari deretan nama besar itu, terlihat tidak ada periodesasi jabatan seorang kepala BIN. Nama Yoga Sugama merupakan pejabat yang paling sebentar menjabat Kepala BPI yakni selama 10 bulan sejak 22 Agustus 1966 .
Akan tetapi, nama Yoga Sugama juga merupakan Kepala BAKIN terlama yakni menjabat selama 15 tahun enam bulan sejak Januari 1974.
Nama Presiden Soeharto ternyata pernah menjadi Kepala BIN saat masih bernama Kepala BPI dan dia digantikan oleh Yoga Sugama. Presiden mempercayai Yoga Sugama sebagai Kepala BAKIN hampir dari separuh masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Dengan rentang waktu seseorang memimpin lembaga intelijen itu bisa menunjukkan bahwa Kepala BIN merupakan "mata" dan "telinga" Presiden sehingga pernyataan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah wajar ketika menyebutkan bahwa sosok Kepala BIN mmerupakan orang kepercayaaan Presiden dan Presiden memiliki hak prerogatif dalam menentukan siapa yang menjadi Kepala BIN.
Keberadaan BIN diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara. BIN merupakan alat negara yang menyelenggarakan fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri. BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
BIN juga menyelenggarakan fungsi koordinasi intelijen negara. Selain BIN, penyelenggaran intelijen negara terdiri atas intelijen TNI untuk fungsi intelijen pertahanan dan/atau militer, intelijen Polri untuk fungsi intelijen kepolisian, intelijen Kejaksaan untuk fungsi penegakan hukum, dan intelijen kementerian-lembaga pemerintah nonkementerian untuk fungsi kementerian-lembaga pemerintah nonkementerian.
Intelijen negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan keamanan nasional.
Tugas intelijen negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang ada ada bagi kepentingan dan keamanan nasional.
BIN bertugas melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen, menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas intelijen.
Selain itu bertugas membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan atau lembaga asing, dan memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.
Tantangan
Kepala BIN yang baru selain merupakan hasil dari regenerasi juga bakal dihadapkan pada berbagai tantangan tugas.
Hal yang sedang berjalan misalnya adalah kelanjutan dari proses untuk memberikan amnesti kepada Nurdin Ismail alias Din Minimi dan kelompok bersenjatanya di Aceh Timur.
Presiden Joko Widodo sedang mempertimbangkan memberikan amnesti untuk Nurdin Ismail alias Din Minimi dan kelompok bersenjatanya di Aceh Timur yang pada 28 Desember 2015 menyerahkan diri setelah berdialog dengan Kepala BIN Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. Din Minimi memohon amnesti dari Presiden Jokowi untuk seluruh kelompoknya, sebanyak 120 orang yang ada di lapangan dan 30 orang yang sudah dipenjara.
Sesuai Undang-Undang Dasar 1945, Presiden selaku Kepala Negara berhak memberikan amnesti dan pemberian amnesti itu harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).
Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut.
Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
Presiden Jokowi menyatakan pemerintah akan memberikan amnesti untuk kelompok Din Minimi setelah melalui proses yang ditentukan.
Presiden Jokowi menyebutkan permintaan amnesti dari kelompok di Aceh itu sudah lama berjalan. Sudah ada beberapa kali pembicaraan terkait pengajuan amnesti itu sehingga kelompok itu bersedia menyerahkan diri.
Pada penghujung tahun 2014, kelompok Din Minimi mulai santer dibicarakan media karena menampilkan diri bersama kelompoknya dengan bersenjata. Polisi menjadikan kelompok Din Minimi sebagai target operasi karena dianggap telah melakukan serangkaian aksi kriminal di Aceh.
Namun, Din Minimi membantah melakukannya. Tujuannya mengangkat senjata semata-mata untuk menuntut keadilan dari Pemerintah Aceh yang dianggap telah melupakan sisa-sisa kepedihan akibat masa konflik. Tetap saja, kelompok ini diburu oleh pihak kepolisian.
Bahkan sempat terjadi beberapa kali rentetan letusan senjata di berbagai tempat antara aparat penegak hukum dengan kelompok Din Minimi.
Korban pun berjatuhan, beberapa anggota Din Minimi pun tewas ditembak oleh polisi. Kelompok Din Minimi juga kerap berpindah-pindah tempat di pedalaman Aceh Timur dan Aceh Utara, sehingga menyulitkan pihak kepolisian dalam mengejar kelompok tersebut, hingga akhirnya menyerahkan diri.
BIN juga tertantang untuk membangun institusinya lebih tangguh dan profesional, mampu menyediakan intelijen secara cepat, tepat, dan akurat dalam rangka deteksi dini untuk cegah, tangkal, dan menanggulangi segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi, keutuhan, keamanan, dan kepentingan nasional.
BIN yang tangguh dan profesional, harus melingkupi semua aspek mulai dari struktur organisasi, sumber daya manusia, kegiatan, operasinya, dan peralatannya. Semua harus dibangun secara modern dan maju, sejalan dengan standar terbaik intelijen di dunia.
Tantangan yang dihadapi BIN merupakan tantangan negara ini dalam membangun ketahanan bangsa dan negara yang kokoh di tengah persaingan dunia yang kian kompetitif.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Kabar pergantian Kepala BIN ini sudah merebak hingga ke awak media massa seiring dengan perombakan kabinet kerja jilid II pada 27 Juli lalu.
Saat ditanya wartawan parlemen di kompleks DPR pada 23 Agustus lalu, Sutiyoso yang menjabat Kepala BIN sejak 8 Juli 2015 telah menyatakan kesiapannya untuk diganti karena pergantian pejabat tersebut merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, kepastian rencana dan proses penggantian Kepala BIN berjalan pada pekan pertama bulan ini.
Ketua DPR RI menjadwalkan proses uji kelayakan dan kepatutan Budi Gunawan sebagai calon Kepala BIN berlangsung pada pekan ini.
Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung, saat menyertai lawatan Presiden Joko Widodo di Hangzhou, China, Jumat (2/9) untuk menghadiri KTT G20 pada 4-5 September 2016, bahwa bila proses uji kelayakan dan kepatutan itu berjalan lancar maka Presiden Joko Widodo menjadwalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN berlangsung setelah Presiden tiba di Tanah Air dari lawatannya mengikuti KTT ASEAN pada 6-8 September 2016.
Pramono menyebut alasan penggantian Kepala BIN adalah soal regenerasi.
Budi Gunawan bakal menjadi Kepala BIN yang ke-15 sejak lembaga itu berdiri dengan nama Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) pada 1946.
Deretan tokoh yang berpengalaman memimpin lembaga ini adalah Kepala BRANI Kolonel Zulkifli Lubis (1946-1958), Kepala Badan Koordinasi Intelijen (BKI) Kolonel Laut Pirngadi (5 Desember 1958 - 10 November 1959), Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio (1959-1965), Letjen TNI Soeharto (1965 - 22 Agustus 1966), Kepala Komando Intelijen Negara Brigjen Yoga Soegama (22 Agustus 1966 - 22 Mei 1967), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Soedirgo (22 Mei 1967 - 21 November 1968).
Kemudian, Mayjen Sutopo Juwono (21 November 1968 - Januari 1974), Mayjen Yoga Soegama (Januari 1974 - 2 Juni 1989), Letjen Sudibyo (2 Juni 1989 - April 1996), Letjen Moetojib (April 1996 - 21 Mei 1998), Letjen Zaini Azhar Maulani (21 Mei 1998 - 20 November 1999), Kepala BIN Letjen Arie J Kumaat (20 November 1999 - 9 Agustus 2001), Letjen Abdullah Makhmud Hendropriyono (9 Agustus 2001 - 22 Oktober 2004), Letjen Syamsir Siregar (22 Oktober 2004 - 19 Oktober 2009), Jenderal Pol Sutanto (19 Oktober 2009 - 19 Oktober 2011), dan Letjen Marciano Norman (19 Oktober 2011 - 8 Juli 2015), dan Sutiyoso (sejak 8 Juli 2015).
Dari deretan nama besar itu, terlihat tidak ada periodesasi jabatan seorang kepala BIN. Nama Yoga Sugama merupakan pejabat yang paling sebentar menjabat Kepala BPI yakni selama 10 bulan sejak 22 Agustus 1966 .
Akan tetapi, nama Yoga Sugama juga merupakan Kepala BAKIN terlama yakni menjabat selama 15 tahun enam bulan sejak Januari 1974.
Nama Presiden Soeharto ternyata pernah menjadi Kepala BIN saat masih bernama Kepala BPI dan dia digantikan oleh Yoga Sugama. Presiden mempercayai Yoga Sugama sebagai Kepala BAKIN hampir dari separuh masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Dengan rentang waktu seseorang memimpin lembaga intelijen itu bisa menunjukkan bahwa Kepala BIN merupakan "mata" dan "telinga" Presiden sehingga pernyataan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah wajar ketika menyebutkan bahwa sosok Kepala BIN mmerupakan orang kepercayaaan Presiden dan Presiden memiliki hak prerogatif dalam menentukan siapa yang menjadi Kepala BIN.
Keberadaan BIN diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara. BIN merupakan alat negara yang menyelenggarakan fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri. BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
BIN juga menyelenggarakan fungsi koordinasi intelijen negara. Selain BIN, penyelenggaran intelijen negara terdiri atas intelijen TNI untuk fungsi intelijen pertahanan dan/atau militer, intelijen Polri untuk fungsi intelijen kepolisian, intelijen Kejaksaan untuk fungsi penegakan hukum, dan intelijen kementerian-lembaga pemerintah nonkementerian untuk fungsi kementerian-lembaga pemerintah nonkementerian.
Intelijen negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan keamanan nasional.
Tugas intelijen negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang ada ada bagi kepentingan dan keamanan nasional.
BIN bertugas melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen, menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas intelijen.
Selain itu bertugas membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan atau lembaga asing, dan memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.
Tantangan
Kepala BIN yang baru selain merupakan hasil dari regenerasi juga bakal dihadapkan pada berbagai tantangan tugas.
Hal yang sedang berjalan misalnya adalah kelanjutan dari proses untuk memberikan amnesti kepada Nurdin Ismail alias Din Minimi dan kelompok bersenjatanya di Aceh Timur.
Presiden Joko Widodo sedang mempertimbangkan memberikan amnesti untuk Nurdin Ismail alias Din Minimi dan kelompok bersenjatanya di Aceh Timur yang pada 28 Desember 2015 menyerahkan diri setelah berdialog dengan Kepala BIN Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. Din Minimi memohon amnesti dari Presiden Jokowi untuk seluruh kelompoknya, sebanyak 120 orang yang ada di lapangan dan 30 orang yang sudah dipenjara.
Sesuai Undang-Undang Dasar 1945, Presiden selaku Kepala Negara berhak memberikan amnesti dan pemberian amnesti itu harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).
Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut.
Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
Presiden Jokowi menyatakan pemerintah akan memberikan amnesti untuk kelompok Din Minimi setelah melalui proses yang ditentukan.
Presiden Jokowi menyebutkan permintaan amnesti dari kelompok di Aceh itu sudah lama berjalan. Sudah ada beberapa kali pembicaraan terkait pengajuan amnesti itu sehingga kelompok itu bersedia menyerahkan diri.
Pada penghujung tahun 2014, kelompok Din Minimi mulai santer dibicarakan media karena menampilkan diri bersama kelompoknya dengan bersenjata. Polisi menjadikan kelompok Din Minimi sebagai target operasi karena dianggap telah melakukan serangkaian aksi kriminal di Aceh.
Namun, Din Minimi membantah melakukannya. Tujuannya mengangkat senjata semata-mata untuk menuntut keadilan dari Pemerintah Aceh yang dianggap telah melupakan sisa-sisa kepedihan akibat masa konflik. Tetap saja, kelompok ini diburu oleh pihak kepolisian.
Bahkan sempat terjadi beberapa kali rentetan letusan senjata di berbagai tempat antara aparat penegak hukum dengan kelompok Din Minimi.
Korban pun berjatuhan, beberapa anggota Din Minimi pun tewas ditembak oleh polisi. Kelompok Din Minimi juga kerap berpindah-pindah tempat di pedalaman Aceh Timur dan Aceh Utara, sehingga menyulitkan pihak kepolisian dalam mengejar kelompok tersebut, hingga akhirnya menyerahkan diri.
BIN juga tertantang untuk membangun institusinya lebih tangguh dan profesional, mampu menyediakan intelijen secara cepat, tepat, dan akurat dalam rangka deteksi dini untuk cegah, tangkal, dan menanggulangi segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi, keutuhan, keamanan, dan kepentingan nasional.
BIN yang tangguh dan profesional, harus melingkupi semua aspek mulai dari struktur organisasi, sumber daya manusia, kegiatan, operasinya, dan peralatannya. Semua harus dibangun secara modern dan maju, sejalan dengan standar terbaik intelijen di dunia.
Tantangan yang dihadapi BIN merupakan tantangan negara ini dalam membangun ketahanan bangsa dan negara yang kokoh di tengah persaingan dunia yang kian kompetitif.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016