Musim hujan dan musim kemarau, kalau bisa dianalogikan bak sekeping mata uang. Satu sisi dan sisi lainnya saling melengkapi dan memberi nilai. Musim hujan dan musim kemarau adalah dua kondisi yang berbeda. Tapi, perbedaan itu membuat siklus silih berganti, dan selalu memberi warna bagi hidup dan kehidupan.

Musim hujan diprakirakan segera usai, dan berganti ke masa peralihan atau transisi sebelum masuk ke musim kemarau. Jajaran Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan bulan April hingga Mei 2016 merupakan masa transisi ke musim kemarau. Pergeseran musim tersebut ditandai dengan pergerakan semu matahari dari selatan ke utara khatulistiwa.

Tanda-tanda alam masa transisi kini  sudah cukup dirasakan masyarakat, seperti hujan yang mulai jarang terjadi dan bahkan sejumlah tempat diwarnai munculnya angin puting beliung. Tanda-tanda seperti itu jamak terjadi di saat masa transisi.

Prakirawan BMKG Maritim Tanjung Perak Surabaya Eko Prasetyo mengemukakan sebagian besar wilayah Jatim saat ini masih dalam masa transisi atau masa pancaroba meskipun nuansanya sudah seperti kemarau.

Awal Mei ini banyak daerah masih dalam masa transisi dan Juni diperkirakan baru masuk musim kemarau.  Kendati demikian, nuansa yang dirasakan masyarakat di sejumlah daerah  saat ini sudah seperti masuk musim kemarau karena ditandai dengan suhu udara yang terik. 

Memang, setiap musim memberikan warna sendiri-sendiri.  Musim hujan memberi limpahan air. Limpahan air bisa membawa berkah, tapi sekaligus dapat mendatangkan malapetaka. Air sebagai sumber kehidupan, namun air bisa menjadi pemicu bencana banjir dan tanah longsor jika tidak dikelola dengan baik.

Pada musim kemarau juga begitu. Kemarau diidentikkan dengan musim tiada hujan dan suhu udara terik, kondisi yang sangat mendukung proses produksi garam dan proses produksi yang membutuhkan sinar matahari. Namun demikian, air yang biasanya melimpah, menjadi jauh berkurang. Padahal, tingkat kebutuhan air masyarakat pada musim kemarau tetap, bahkan bisa cenderung lebih tinggi.

Nah, dalam kondisi seperti ini, kemarau sering menimbulkan masalah pemenuhan kebutuhan  air, kekeringan dan bisa terjadi dampak ikutannya yakni gangguan kesehatan pada manusia. Karena itu, di saat menjelang musim kemarau tiba, masyarakat diminta bijak  mengelola dan hemat memanfaatkan air. 

Masyarakat mana yang harus bijak mengelola air? Semua pihak, baik pemerintah,  para pelaku usaha, dan setiap warga masyarakat berperan penting dalam mengelola air secara bijak demi pemenuhan kebutuhan bersama. Masing-masing harus bisa mengambil peran dalam menjaga kelestarian sumber mata air.

Caranya, masing-masing pihak bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan baik. Lingkungan yang gundul harus dihijaukan. Biopori, embung  atau waduk juga perlu diperbanyak demi menjaga cadangan air yang cukup. 

Lingkungan hidup harus dijaga, karena degradasi kualitas lingkungan dituding menjadi sumber masalah tergerusnya sumber mata air sehingga berdampak terhadap kekeringan. Air akan melimpah hanya pada musim hujan dengan waktu sekitar lima bulan,  sedangkan pada musim kemarau terjadi defisit selama tujuh bulan. Cadangan yang menjadi andalan sering lebih cepat habis akibat daya dukung lingkungan yang tidak memadai lagi.

Pertumbuhan penduduk, diakui atau tidak, telah membawa konsekuensi logis terhadap peningkatan kebutuhan air. Namun demikian, pertumbuhan penduduk tentu tidak harus mengorbankan lahan atau lingkungan yang lestari.  

Para pakar lingkungan memperkirakan, jika degradasi lingkungan hidup terus terjadi, maka krisis air , utamanya di Pulau Jawa yang padat penduduknya, pada tahun-tahun mendatang akan semakin parah. Jumlah air menurun saat  musim kemarau, sedangkan  jumlah penduduk  semakin meningkat.

Kebutuhan air selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali untuk air minum, rumah tangga, perkotaan dan lainnya. Jika mengacu kepada Unesco, maka  kebutuhan hak dasar manusia atas air sebesar 60 liter/hari/orang.

Sementara itu, Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum membagi standar kebutuhan air berdasarkan wilayah menyatakan,  wilayah perdesaan butuh 60 liter air/kapita/hari, kota kecil  90 liter, kota sedang 110 liter,  kota besar 130 liter dan metropolitan 150 liter/kapita/ hari.

Terlepas dari  data tersebut, pemenuhan kebutuhan akan air merupakan hal yang mendasar. Oleh karena itu, bijak mengelola dan hemat dalam memanfaatkan sumber air berarti juga bagian dari investasi di masa depan. Sumber mata air lestari, anak cucu sejahtera.  Semoga...  (*)

Pewarta: Slamet Hadi Purnomo

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016