Surabaya (Antara Jatim) - Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) menyatakan status karyawan kontributor di sejumlah media massa lebih buru dari karyawan outsourcing atau tenaga kontrak di sebuah perusahaan/kantor.
    
"Pers sudah menjadi industri dengan jurnalis sebagai alat produksinya. Ironisnya  pertumbuhan industri pers  tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan  pekerja media," kata Koordinator Aksi May Day SPLM Moch Rudy Hartono saat melakukan aksi di depan Grahadi, Minggu.
    
Menurut dia, banyak ditemukan  hubungan kerja antara perusahaan media dengan jurnalis tidak didasari saling menguntungkan, baik dari segi status kekaryawan, pengupahan, pemenuhan hak kewajiban serta jaminan hari tua.
    
Pemberlakuan status koresponden/stringer di perusahaan media massa berpeluang besar terjadinya pelanggaran UU ketenagakerjaan. Seringkali hubungan kerja kontributor/stringer dibuat samar dengan dalih kemitraan.
    
Pada praktiknya, lanjut dia, kontributor tidak dianggap sebagai karyawan meski sudah bekerja lebih dari 3 (tiga) tahun. Ini jelas bertentangan dengan Pasal 54  Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
    
Para kontributor/stringer, kata dia, hanya ditempatkan sebagai pedagang berita. Dengan keadaan itu boleh disebut status mereka lebih buruk dari pekerja outsourcing.
    
Survei yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menemukan kondisi kontributor media di daerah banyak diabaikan hak-haknya oleh perusahaan media massa.
    
Ada sekitar 39 persen kontributor tak mendapat jaminan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Dari jumlah itu, 44 persen tak terlindungi karena mengaku tak mampu membayar asuransi secara mandiri, dan sekitar 22 persen kontibutor mendapat upah dibawah Rp1,5 juta atau jauh dibawah upah minimum kota/kabupaten (UMK).
    
Dalam pemenuhan hak kewajiban, perusahaan media berdalih aktivitas  jurnalis sebagai pekerja profesional yang menuntut jurnalis siaga 24 jam,  bahkan meminta jurnalis tetap bekerja di hari libur nasional.  
    
Adapun yang terjadi perusahaan media kerap tak memberikan uang lembur  atau kompensasi dari beban kerja yang telah dijalani. Ini tentunya merupakan pelanggaran  Pasal 78 ayat 2 UU No 13/2003  soal upah lembur.
    
Kondisi itu diperparah dengan iklim perusahaan media yang tidak ramah dengan serikat pekerja. Dewan Pers mencatat ada 63 media masa di Jawa Timur, namun tidak ada satu pun yang memiliki  serikat pekerja.
    
"Akibatnya, pekerja media tidak mendapatkan perlindungan yang adil ketika tersandung masalah ketenagakerjaan," ujar mantan Ketua AJI Surabaya ini.
    
Menurut dia, begitu banyak persoalan ketenagakerjaan di kalangan pekerja media, maka sudah saatnya pekerja media mulai membicarakan nasib sendiri agar kesejahteraan juga akan lebih baik.
    
Untuk itu, pada Momentum 1 Mei 2016, Serikat Pekerja Lintas Media menuntut penghapusan pemberlakuan status kontributor/stringer di media massa, mendesak pemerintah untuk melindungi pekerja media dari PHK sepihak oleh perusahaan media.
    
Mendesak Disnaker Provinsi Jatim untuk melakukan audit ketenagakerjaan di lingkungan perusahaan media massa, Disnaker Provinsi Jatim diharap melakukan pengawasan  yang serius dan melakukan penegakkan hukum atas setiap pelanggaran.
    
Selain itu, kata dia, perusahaan media agar melaksanakan kewajiban membayar upah sektoral bagi jurnalis di Surabaya, Sidoarjo dan Kota Mojokerto. Mendesak pengusaha media untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi.
    
"Mengecam upaya pemberangusan serikat pekerja media  karena melanggar hak yang dijamin  Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Kerja. Menyerukan agar pekerja media mengorganisir diri dalam bentuk serikat baik di perusahaan masing-masing atau bergabung pada serikat pekerja yang sudah ada," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016