Tulungagung (Antara Jatim) - Sejumlah warga sekitar hutan di Tulungagung bagian selatan mengaku tahu aktivitas pembalakan liar masih saja terjadi dengan pola sporadis di beberapa titik hutan produksi maupun kawasan lindung.
    
"Pencurian itu masih ada, bahkan kami bisa dengan mudah menemuinya saat keluar-masuk hutan," tutur seorang warga Kecamatan Kalidawir, Imam (55), di wilayah pinggiran hutan RPH Panggungkalak, Kecamatan Pucanglaban, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Minggu.
    
Ia mengistilahkan pembalakan sporadis karena biasanya aktivitas pencurian kayu hutan dilakukan secara berkelompok, dengan lokasi berpindah-pindah.
    
Pelaku yang rata-rata masih warga sekitar lingkungan hutan menurut Imam biasanya beraksi pada malam hari, atau pagi sekitar pukul 09.00 WIB.
    
"Aksi mereka tergolong cepat karena sekali bergerak, mereka hanya butuh waktu kurang dari 30 menit sebelum kembali sambil membawa kayu dalam bentuk potongan-potongan balok yang diangkut menggunakan sepeda motor," paparnya.
    
Kesaksian serupa disampaikan pemilik warung kopi, Kartini (40) yang menduga aktivitas pembalakan tersebut sebenarnya juga diketahui petugas perhutani, namun tidak ditegur ataupun ditindak karena menyangkut keamanan pribadi petugas di lapangan.
    
"Petugas tahu tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena pelakunya ya orang-orang sekitar sini saja. Mungkin khawatir juga karena jika ditindak lawannya adalah massa dari warga sekitar," kata Kartini.
    
Belum ada keterangan resmi yang menyebut rinci data kerusakan hutan baik di kawasan lindung maupun produksi yang gundul/rusak akibat aktivitas pembalakan liar tersebut.
    
Menurut data yang dirilis LSM Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi, dari total luas kawasan hutan perhutani di wilayah Kabupaten Tulungagung yang mencapai sekitar 40 ribuan hektare, sekitar 60 persen di antaranya dalam kondisi rusak.
    
Penyebabnya selain aktivitas pembalakan dan alih fungsi kawasan untuk berbagai kegiatan produksi termasuk pengembangan sektor parwisata maritim serta jalur lingkar selatan, juga dipengaruhi oleh fenomena bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
    
"Kasus deforestasi (penebangan tutupan hutan dan konversi lahan secara permanen untuk berbagai manfaat lainnya) di Tulungagung selatan sudah sangat mencemaskan," kata Direktur PPLH Mangkubumi, Muhammad Ichwan.
    
Dikonfirmasi terkait masih terjadinya pembalakan liar di wilayah hutan perhutani pesisir selatan Tulungagung, Kepala
Divisi Humas dan Agraria Perum Perhutani KPH Blitar, Heri Purwanto justru meminta masyarakat untuk aktif melapor ke perhutani ataupun kepolisian terdekat.
    
Ia mengakui, pengamanan dan pengawasan hutan perhutani di wilayah tugas KPH Blitar yang mencakup mulai Kalipare, Malang hingga Popoh, Tulungagung masih terkendala sumber daya manusia yang terbatas.
    
"Luasan hutan mencapai 57 ribu hektare, sementara petugas polisi hutan mobil (polhutmob) hanya 12 orang. Tentu ini menjadi kendala tersendiri bagi perhutani," ujarnya.
    
Heri mengingatkan, tugas pengamanan hutan dipikul bersama, tidak hanya oleh perhutani tetapi juga masyarakat sekitar hutan.
    
"Kalau sampai hutannya rusak lalu terjadi banjir atau longsor, yang rugi juga masyarakat sekitar hutan juga. Oleh karena itu, tugas pengamanan harus dipikul bersama, jangan melulu dibebankan ke pundak perhutani," ingatnya.
    
Terkait kemungkinan adanya oknum petugas perhutani yang "main mata" dengan pelaku pembalakan atau sindikat ilegal logging, Heri menegaskan Perhutani pasti akan menindak tegas dengan menjatuhkan sanksi berat mulai dari mutasi, nonjob, hingga pemecatan.
    
"Kasus yang lalu pernah ada KRPH yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin seperti itu dan kemudian dipindaktugaskan ke posisi nonjob ke wilayah KPH luar Blitar," ungkapnya tanpa menyebut nama oknum pejabat perhutani dimaksud. (*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016