Surabaya (Antara Jatim) - DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Surabaya menunjuk mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya Edward Dewaruci sebagai kuasa hukum unruk mengugat UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai melanggar UUD 1945.
    
"Gugatan sudah siap, termasuk tim advokasi baik dari internal PDIP maupun eksternal. Sesuai rencana gugatan kami layangkan ke Mahkamah Konstitusi hari ini," kata Edward Dewaruci kepada Antara di Surabaya, Kamis.
    
Menurut dia, gugatan itu dilayangkan karena adanya kekosongan hukum dalam pelaksanaan Pilkada Surabaya 2015. Hal ini dikarenakan sumber permasalahannya adalah munculnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 12 Tahun 2105 tentang pencalonan kepala daerah hasil penerjemahan KPU RI atas UU 8/2015 tentang Pilkada.
    
UU Pilkada tersebut, lanut dia, tidak mengantisipasi adanya kemungkinan dalam Pilkada di suatu daerah dimana dominasi calon petahana begitu kuat sehingga dalam pilkada hanya ada satu pasangan calon.
    
"Siapa tahu kasus ini juga terdapat di daerah-daerah lain. Kalau seperti itu tidak diantisipasi, maka bisa jadi tidak adanya kepastian hukum," ujarnya.
    
PKPU 12 Tahun 2015, pasal 89 ayat 1 menyatakan "Dalam hal sampai dengan akhir masa pendaftaran pasangan calon hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon atau tidak ada pasangan calon yang mendaftar, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota memperpanjang masa pendaftaran Pasangan Calon paling lama 3 (tiga) hari".
    
Selanjutnya, pada ayat 2 pasal 89 berbunyi "Dalam hal sampai dengan berakhirnya perpanjangan masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan Pemilihan diselenggarakan pada Pemilihan serentak berikutnya".
    
"Semestinya yang punya kewenangan menafsirkan UU pilkada adalah Mahkamah Konstutsi (MK). Apakah dalam proses penerapan UU ini nantinya bisa menimbulkan kerugikan konstitusional oleh warga negara atau badan hukum termasuk parpol? kita mesti uji di ketentuan UU itu mengenai norma atau aturan penundaan," ujarnya.
    
Hanya saja yang jadi persoalan KPU selaku penyelenggara punya kewenangan membuat aturan berdasarkan UU Pilkada, tapi pada saat menerjemahkan UU itu ternyata menjadi bertentangan UUD 45 khusunya di pasal 18 ayat 4 tentang pemilihan secara demokratis.
    
"Sementara diterjemahkan secara langsung tanpa mengantisipasi jika secara langsung ada masalah. Demokratisasi apa lagi yang mesti dipakai, misalnya kalau semua warga setuju semua, kenapa harus ada pemilihan langsung. Pengesahan lewat DPRD bisa saja sebagai pintu menerjemahkan pasal 18 ayat 4 UUD 45 pemilihan  kepala secara demokratis," ujarnya.
    
Alur berpikirknya, lanjut dia, norma atau penundaan itu akan menimbulkan kerugian hak konstitusi baik rakyat Surabaya atau partai politik pengusung calon kepala daerah.
    
"Siklus pergantian kepemimpinan seharusnya lima tahun, begitu molor terus secara aturan main dalam UU pemerintah daerah, supaya tidak adanya kekosongan pemerintah ada Pjs (penjabat sementara) kepala daerah.  Masalahnya kewenangan pjs kan terbatas karena keputusan strategus dan politis tidak bisa dilakukan," katanya.
    
Dampaknya, lanjut dia, secara tidak langsung terhadap belanja APBD Surabaya terhambat. "Tentunya masalahnya menjadi besar," ujarnya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015