Surabaya (Antara Jatim) - Yayasan "Our Right to be Independent" (Orbit) --LSM yang menangani mantan pecandu narkoba dan korban HIV/AIDS-- menilai larangan minuman keras dan beralkohol melalui RUU, Perpres, dan 147 peraturan daerah se-Indonesia justru meningkatkan pengguna minuman oplosan.
     
"Kami sudah meneliti bahwa korban oplosan sejak tahun 2013 meningkat dari tahun ke tahun, karena larangan minuman keras itu mendorong harga minuman beralkohol naik dan akhirnya orang lari ke oplosan hingga banyak korban," kata Ketua 'Orbit' Surabaya, Rudhy Wedhasmara, di Surabaya, Selasa.
     
Di sela dialog bertajuk "Support Don't Punish" bersama wartawan dan sejumlah aktivis "Orbit" serta "EJA" (Empowerment and Justice Action) Surabaya, ia menjelaskan hal itu berarti pelarangan minuman keras dan beralkohol itu bukan solusi, karena korban tetap berjatuhan, bahkan bisa mati, karena memakai oplosan.
     
"Saya kira, solusi yang tepat adalah edukasi masyarakat tentang alkohol, karena minuman beralkohol itu ada dua macam yakni ethanol dan methanol. Kalau ethanol itu berasal dari buah, seperti anggur, nira, tape, dan semacamnya, sedangkan metahol dari pengasapan kayu," katanya.
     
Selain itu, minuman beralkohol itu juga tidak perlu dilarang, melainkan diatur melalui pengawasan dan dinas kesehatan atau BPOM, sehingga orang tidak "lari" ke oplosan yang justru lebih berbahaya. "Kalau perlu BNN tidak hanya melayani korban narkotika, tapi juga korban alkohol," katanya.
     
Sementara itu, mantan pecandu narkoba yang kini menjadi aktivis "EJA" Surabaya, Wisnu Dwinata Putra, menjelaskan rehabilitasi untuk korban ketergantungan narkotika itu merupakan solusi yang tepat, karena penjara tidak akan menyembuhkan, bahkan ketika keluar penjara akan lebih "pintar" lagi.
     
"Tapi, rehabilitasi sebagai solusi yang baik itu sekarang belum serius, karena penetapan rehabilitasi justru dipermainkan aparat penegak hukum dengan 'menjual' rehabilitasi, apakah pemakai narkotika mau dihukum empat tahun atau direhabilitasi, kalau mau rehabilitasi harus bayar biaya sekian.. sekian," katanya.
     
Selain itu, katanya, panti rehabilitasi yang ada sekarang juga masih bersifat pemaksaan. "Padahal, korban narkotika itu macam-macam, ada yang bisa direhabilitasi dengan pemaksaan seperti rehabilitasi yang ditangani BNN, tapi ada juga yang bersifat lembut, karena itu panti rehabilitasi itu harus macam-macam," katanya.
     
Menurut dia, rehabilitasi yang ideal itu ada proses penyembuhan melalu detoksifikasi, proses pemulihan psikis, proses pembelajaran seperti kebugaran dan aspek kesehatan, dan akhirnya "aftercare" yang melibatkan keluarga untuk membiasakan penolakan narkoba.
     
"Karena itu, Orbit juga mendirikan panti rehabilitasi yang lengkap dengan melibatkan psikologi, dokter, dan konselor dari para mantan pecandu, baik narkoba maupun alkohol," kata mantan pecandu narkoba yang kini menjadi konselor EJA itu.
     
Ia menambahkan rehabilitasi itu muncul menjadi kesadaran masyarakat dan pemerintah setelah perang terhadap narkoba justru gagal karena korban narkotika meningkat, seperti halnya pelarangan terhadap alkohol yang justru mendongkrak korban oplosan.
     
"Untuk itulah, kami dari EJA dan ORBIT mengampanyekan 'Support Don't Punish' (Dukung dan Jangan Menghukum). Kampanye sudah kami lakukan dengan roadshow audiensi kepada Kejari Surabaya, Kejari Perak, BNN Kota Surabaya, BNN Provinsi Jatim, DPRD Jatim, dan sebagainya, termasuk dengan pers," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015