Tulungagung (Antara Jatim) - Aliansi masyarakat dan aktivis antinarkoba se-Indonesia mendesak pemerintah menghentikan perang terhadap narkotika dan mulai mencurahkan perhatian terhadap masalah peredaran alkohol oplosan tidak layak konsumsi yang selama ini banyak "menelan" korban jiwa. Seruan itu disampaikan Rudhy Wedhasmara selaku pendiri East Java Action (EJA), sebuah kelompok swadaya masyarakat di bidang pecandu narkotika dan alkohol oplosan, melalui siaran pers yang diterima Antara di Tulungagung, Senin. Dalam pernyataan sikap yang dikirim melalui surat elektronik (e-mail), ia berpendapat bahwa menghentikan perang terhadap narkotika bukan berarti "melegalkan" peredaran narkoba, tetapi mengubah strategi penanganan terhadap peredaran narkotika di Indonesia. "Setelah disahkannya UU Narkotika tahun 2009, anggaran untuk Badan Narkotika Nasional (BNN) naik setiap tahunnya, dari Rp723 miliar pada 2011 menjadi Rp1,072 triliun pada 2013. Namun kenyataannya, pengguna narkotika baru terus bermunculan," ungkap Rudhy. Ia menyebut, pengguna narkotika setiap tahunnya bertambah dimana tahun 2011 tercatat sebanyak 32.763 tersangka, lalu naik menjadi 35.436 tersangka pada 2013. Rudhy menambahkan, pada 2008 anggaran untuk operasional BNN mengalami kenaikan berlipat hingga mencapai Rp264 miliar, dari sebelumnya hanya Rp152 miliar pada 2004. Namun gelontoran anggaran itu tidak signifikan dalam upaya menekan kasus narkotika di Indonesa. Sebagaimana data yang pernah dirilis BNN dan Universitas Indonesia, terjadi peningkatan jumlah konsumen narkotika di Indonesia dari 3,4 juta pada 2008 menjadi 4,2 juta jiwa pada 2011. "Ini menunjukkan bahwa peningkatan anggaran, ancaman hukuman, jumlah aparat serta lembaga anti di narkotika di masyarakat tidak menyurutkan pasokan maupun permintaan narkotika. Kebijakan pelarangan yang sangat represif itu bahkan menyediakan ruang bagi aparat untuk mengejar karir dan jabatan belaka hingga kepada pemerasan terhadap tersangka korban narkotika," ujarnya. Dalam pertemuan nasional jaringan kelompok swadaya masyarakat di Jakarta pada 19-23 Desember ini, lanjut Rudhy, aliansi masyarakat dan aktivis antinarkoba mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk merubah paradigma "perang" terhadap narkotika. Caranya, lanjut dia, yakni dengan mengalihkan anggaran represi dan propaganda untuk pengembangan infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia. "Dalam pertemuan itu juga kami merekomendasikan agar pemerintah lebih serius memperhatikan masalah peredaran alkohol oplosan karena tidak layak konsumsi. Selama ini penanganan peredaran alkohol oplosan juga berupa larangan, baik itu peraturan di tingkat pusat maupun daerah, sementara jumlah korban alkohol oplosan terus berjatuhan," tandasnya. Pertemuan Nasional tahunan kelompok masyarakat swadaya di bidang penanganan narkotika se-Indonesia ini diikuti oleh beberapa organisasi masyarakat dari Bandung, Jakarta, Jawa Tengah, Surabaya, Bali dan beberapa kota lain di Indonesia. Beberapa kalangan profesional, mulai pengacara, tenaga kesehatan, peneliti dan akademisi hingga pemerhati sosial juga hadir dalam pertemuan itu. Di Indonesia, ada 147 peraturan daerah yang melarang dan membatasi penjualan minuman keras beralhokol. Akan tetapi dalam setahun terakhir di daerah itu masih banyak korban jiwa yang meninggal akibat minuman keras oplosan, seperti di Sumedang dan Garut Jawa Barat. Salah satu kasus minuman keras oplosan yang menonjol adalah kasus keracunan masal akibat mengkonsumsi alkohol berbahan methanol merek "cherribell" sehingga menyebabkan 17 orang meninggal dunia di Garut pada 3 Desember lalu. Selang sehari kemudian, tercatat 109 korban dirawat di rumah sakit Sumedang setelah mengkonsumsi minuman keras beralkohol. Dari jumlah itu, 10 di antaranya tewas, bahkan enam (6) korban harus dirawat di rumah sakit adalah anak di bawah umur. Methanol, di Indonesia disebut sebagai minuman keras oplosan. Gerakan Nasional Anti Miras mencatat 18 ribu orang tewas setiap tahun di Indonesia akibat minuman oplosan. Laporan WHO mengenai alkohol dan Kesehatan 2011 bahkan menyebut ada sebanyak 320 ribu orang pada usia 15–29 tahun meninggal di seluruh dunia setiap tahunnya akibat keracunan methanol. Dengan statistik tersebut, bisa disimpulkan bahwa jumlah korban jiwa meninggal akibat minuman keras berbahan methanol lebih besar dibandingkan jumlah korban meninggal akibat penyalahgunaan narkotika psikotropika dan bahan aditif (narkoba) di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) memprediksi sedikitnya 40 orang menemui ajal setiap hari atau 15 ribu korban meninggal. Ketua Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia Jakarta (Papdi Jaya), Ari Fahrial Syam mengatakan konsumsi minuman keras oplosan dalam waktu singkat dan berlebihan akan menyebabkan terjadinya keracunan alkohol (intoksikasi alkohol) dan dapat menyebabkan kematian. "Intoksikasi terjadi jika jumlah alkohol oplosan yang dikonsumsi di atas ambang toleransi orang tersebut sehingga menyebabkan terjadinya gangguan baik fisik maupun mental," ujarnya. (*)
Masyarakat Desak Pemerintah Fokus Perangi "Oplosan"
Senin, 22 Desember 2014 21:57 WIB