Situbondo (Antara Jatim) - Supriyono, pengacara Asyani, berkali-kali mengemukakan keyakinannya bahwa kliennya akan bebas. Alasannya, fakta tentang pencuriann yang dituduhkan kepada kliennya tidak pernah muncul di persidangan. "Kan yang didakwakan adalah hilangnya kayu milik Perhutani di Petak 43 F, tapi di persidangan tidak pernah muncul bagaimana kayu dari Petak 43 F itu sampai ke Bu Asyani," katanya. Ia mengemukakan tidak pernah terungkap fakta mengenai apa peran dari Asyani atas hilangnya kayu di petak milik Perhutani di Desa Jatibanteng itu. "Itu tidak pernah disebutkan. Kalau misalnya membeli, membeli dari siapa? Ini kan hanya klaim bahwa itu kayu Perhutani. Bagaimana proses dari petak itu ke rumah Bu Asyani tidak tahu," tuturnya. Sementara selama persidangan, yang muncul hanya proses pengangkutan kayu dari rumah Asyani di Dusun Krastal ke tempat penggergajian lalu ke rumah Cipto di Dusun Secangan. Kedua dusun itu berada di Desa/Kecamatan Jatibanteng. Karena itu, ia mengaku yakin bahwa Asyani tidak bersalah. "Seribu persen saya yakin, nenek akan bebas," kata Supriyono, sesaat sebelum sidang pembacaan vonis. Namun demikian, Yudistira Nugroho, pengacara lainnya, justru memperkirakan sangat sulit Asyani bebas, meskipun fakta pencurian tidak pernah muncul di persidangan. Alasan Yudistira, karena UU yang digunakan untuk menjerat Asyani dan kawan-kawan bukan pencurian biasa, tapi tentang pembalakan liar. Di UU itu bukan hanya pencurian, melainkan juga menyimpan atau memiliki sudah kena. "Saya kira ini alasan mengapa UU yang digunakan adalah pembalakan liar. Kalau menggunakan pidana biasa, dari awal sudah mentah," katanya kepada Antara di sela sidang-sidang sebelumnya. Ia melihat ada upaya dari hakim untuk menyelamatkan muka sesama aparat negara. Di satu sisi hakim memperhatikan suara di luar yang memprihatinkan kasus Asyani, namun di sisi lain tidak ingin mencoreng muka penegak hukum lainnya, yakni jaksa dan kepolisian, termasuk Perhutani. Karena itu, ketika jaksa menuntut satu tahun penjara, ia tidak kaget. Memang itulah hukuman teringan dalam UU itu. Ia juga sudah memperkirakan kemungkinan-kemungkinan putusan hakim, termasuk Asyani divonis bersalah. Perkiraan Yudistira tidak meleset. Pada sidang di PN Situbondo, Kamis (23/4), majelis hakim yang diketuai I Kadek Dedy Arcana memvonis Asyani satu tahun dan denda Rp500 juta subsider kurungan satu hari, namun tidak perlu dijalani oleh terdakwa. Asyani dianggap secara meyakinkan telah memenuhi unsur memiliki kayu hasil hutan tanpa izin dan melanggar UU No. 18 Tahun 2013. Terhadap putusan dan tuntutan pada kliennya, Ide Prima Hadiyanto, pengacara lainnya, menilai tuntutan jaksa penuntut umum terlihat dipaksakan, sehingga tidak lazim. "Jaksa memaksakan menggunakan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, namun di sisi lain terlihat ada aspek kemanusiaan. Kalau memang ada aspek kemanusiaan, harusnya dari awal tidak dilanjutkan perkara ini," katanya. Menurut Prima, hal yang terlihat tidak lazim adalah hukuman percobaan yang dikenakan pada tuntutan hukuman di atas satu tahun. Padahal hukuman percobaan itu biasanya dikenakan pada kasus dengan tuntutan di bawah satu tahun. "Ini yang dinamakan pasal berat, kok ada hukuman percobaan," ujarnya. Selain itu, Yudistira Nugroho, penasihat hukum lainnya, menilai ada ketidaklaziman dalam tuntutan itu, terutama pada denda dan kurungan, yakni denda Rp500 juta dengan subsider 1 x kurungan. "Masak dendanya Rp500 juta, kurungan cuma satu kali 24 jam. Siapa pun akan memilih kurungan lah, walau orang kaya sekalipun," katanya. Sementara jaksa mengemukakan bahwa pihaknya menuntut hukuman percobaan atas dasar kemanusiaan. "Tetapi kami menuntut ada hukuman agar bisa memberikan pelajaran bagi terdakwa. Selain itu, memberi peringatan kepada warga lain agar tak melakukan kesalahan serupa," ujar Ida Haryanti saat pembacaan replik. Menanggapi alasan jaksa, Ide Prima Hadiyanto mengemukakan bahwa dari awal pihaknya sudah mengingatkan bahwa penggunaan juncto pasal 83 ayat 1 huruf C sangat memberatkan kliennya yang sudah renta. Menurut dia, kalau memang memerhatikan aspek kemanusiaan, jaksa bisa menggunakan juncto pasal 83 ayat 3 untuk terdakwa yang tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan. Pidananya minimal tiga bulan, maksimal dua tahun, denda minimal Rp500 ribu dan maksimal Rp500 juta. Sementara untuk pengumpulan fakta, sidang kasus itu tidak hanya dilaksanakan di dalam ruangan. Pada Senin, 6 April, hakim, jaksa dan pengacara Asyani mengadakan sidang lokasi. Pada sidang itu, mereka menyusuri sungai dan bukit terjal dengan waktu tempuh empat jam lebih untuk berangkat dan kembali. Penelusuran yang membuat sepatu sejumlah orang jebol dan kaki lecet itu dilakukan untuk mengambil tunggul jati di lahan bekas milik Asyani. Kemudian dilanjutkan ke lahan Perhutani. Supriyono, pengacara Asyani, menilai langkah pengecekan lapangan sebetulnya tidak perlu. "Untuk apa ngecek ke lokasi seperti ini? Kan keterangan di persidangan sudah cukup," katanya saat itu. Pada pembacaan replik, jaksa penuntut umum juga menggunakan hasil pengecekan lapangan untuk menguatkan tuntutannya. Jaksa menilai pada sidang lapangan itu terlihat tunggul kayu PT Perhutani yang hilang batangnya cocok dengan tiga ikat bilah kayu jati yang menjadi barang bukti di pengadilan. Dua dari tiga bongkong bilahan batang itu diakui Asyani sebagai kayu miliknya. Supriyono mengatakan soal kecocokan tunggul di lahan Perhutani dengan bilah kayu barang bukti, itu tak bisa dijadikan patokan. Hal itu karena jaksa melihat persamaan itu hanya berdasarkan pengamatan kasatmata. Karena itulah ia menyatakan banding atas vonis yang dijatuhkan hakim. Bahkan pengacara dari LBH Nusantara Situbondo ini akan melaporkan hakim ke Komisi Yudisial dan bagian pengawasan Mahkamah Agung. "Majelis hakim hanya percaya keterangan dengan telanjang mata atas kayu itu. Seharusnya dilakukan tes DNA. Negara kan banyak uangnya untuk melakukan tes DNA kayu," katanya. Ia juga menduga majelis hakim lebih mengedepankan solidaritas korps sesama aparat negara dalam memutuskan perkara ini. Namun demikian, permintaan agar majelis hakim melakukan pembuktian dengan tes DNA kayu, justru menjadi titik lemah bagi Asyani. Hal itu karena majelis hakim dan jaksa berkeyakinan bahwa 38 bilah kayu yang menjadi barang bukti itu semua milik Asyani yang asalnya dari kayu jati milik Perhutani. Jika tes DNA dilakukan dan kemudian barang bukti itu sama dengan tunggul kayu di Petak 43 F milik Perhutani, justru akan memperkuat tuntutan jaksa dan keyakinan hakim bahwa Asyani telah memiliki dan menyimpan kayu hasil hutan tanpa izin. Tim pengacara agaknya perlu membuktikan bahwa 13 bilah kayu dari 38 kayu yang disita itu memang bukan milik Asyani. Sebagaimana diungkap oleh majelis hakim bahwa Asyani hanya mengakui 25 dari 38 bilah kayu, sementara 13 lainnya bukan miliknya. Misteri 13 kayu menjadi kunci, karena sebagaimana diungkapkan bahwa saat penyitaan kayu-kayu itu di rumah Cipto, tidak diketahui oleh para tersangka. Petugas Polsek Jatibanteng Brigadir Dwi Agus Pratikno yang saat itu ditugasi mengawal petugas Perhutani mendatangi rumah Cipto, tidak mengetahui dan tidak mencatat jumlah sirap kayu yang dibawa. Supriyono menyatakan ada kejanggalan dalam runtutan penyitaan kayu. Bisa jadi kayu itu dicampur dengan barang bukti lain, bisa juga karena tertukar. Dengan fakta polisi tidak mempunyai surat penyitaan, Asyani kemudian didakwa hanya berdasarkan dari pernyataan Cipto bahwa kayu-kayu itu milik Asyani. Atas ketidakjelasan 13 bilah kayu itulah kemudian muncul pengakuan dari para terdakwa mengenai keganjilan dalam kasus itu sebagai diungkap oleh tim pengacara. Ide Prima Hadiyanto mengungkapkan bahwa dari awal kasus itu banyak menyimpan masalah, termasuk adanya ancaman kepada para terdakwa. "Ada ancaman, kalau Asyani mengaku (semua kayunya), dia akan dibebaskan. Ada oknum kejaksaan yang berkata seperti itu. Oknum itu berkata, ayo akui, kamu kan sudah tua. Kalau kamu jujur mengakui kayunya, saya bebaskan sekarang juga. Kalau kamu berbohong, akan saya hukum seberat-beratnya," katanya. Ia mengemukakan bahwa fakta mengenai ancaman tersebut sudah dimasukkan dalam pledoi, namun rupanya belum mampu meyakinkan majelis hakim sehingga tetap menganggap bahwa semua bilah kayu itu milik Asyani. Sementara saat di kepolisian, kata Prima, kliennya pernah disodori amplop coklat diduga berisi uang oleh oknum Perhutani yang didampingi oknum kepolisian yang meminta agar Asyani mengakui kayu-kayu itu. "Kalau tidak mau diakui milik Asyani, suruh diakui kayu itu milik Cipto. Asyani memang memiliki kayu itu, tapi tidak didapat dari mencuri dan tidak semua bilah itu. Sejak awal sudah banyak masalah. Makanya kami fokus mengawal kasus ini," katanya. Status kepemilikan kayu yang masih dipersoalkan itu menjadi "modal" bagi Asyani untuk menghadapi sidang di tingkat banding nanti. Sebagaimana dikatakan Prof Achmad Sodiki, saksi ahli, dengan barang bukti yang belum jelas siapa pemiliknya seharusnya menjadi salah satu dasar agar hakim menghentikan kasus ini. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015