Pamekasan (Antara Jatim) - Seorang budayawan mengemukakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pamekasan, merupakan salah satu organisasi ektra kampus yang sangat berjasa dalam menghapus praktik kekerasan dalam lomba karapan sapi di Madura. "Karena organisasi ini yang sangat getol menyuarakan agar praktik kekerasan dalam pelaksanaan lomba karapan sapi dihapus," kata budayawan Madura Iskandar dalam diskusi terbatas bertajuk "Gagasan Kreatif Gerakan Pemuda" yang digelar komunitas seni budaya Madura di Pamekasan, Jawa Timur, Rabu (18/3) malam. Gagasan menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi ini, mulai lantang disuarakan HMI di berbagai media, baik di tingkat lokal Madura, regional maupun nasional, sejak 2008, saat organisasi itu dipimpin oleh Sulaisi Abdurrazaq. Berbagai jenis aksi terus dilakukan organisasi mahasiswa yang didirikan di Yogyakarta 5 Februari 1947 itu. Antara lain audiensi dengan pemkab setempat, kajian dari berbagai sudut pandang, baik agama, hukum positif, hingga kajian dampak ekonomi dari praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi itu. Ia menjelaskan, sebelumnya, memang banyak ulama yang tidak setuju dengan praktik kekerasan dalam pelaksanaan lomba karapan sapi seperti menggarukkan paku di pantat sapi, memoleskan balsam dan cabai pada mata sapi sebelum sapi-sapi diadu lari. Hanya saja, suara ulama tidak terlalu keras, karena kekuatan ulama masih terbelah dengan aliran politik berbeda. Ulama pendukung pemerintah, tidak bisa bersuara lantang, dengan alasan pertimbangan rasa tidak enak pada pemimpin yang didukungnya, dan demikian juga dengan ulama yang mendukung partai oposisi pemerintah. "Para ulama itu, sebenarnya banyak yang tidak setuju juga, tapi karena posisi yang kurang mendukung itu tadi, maka suara penolakan terkesan kurang lantang," katanya. Iskandar yang juga anggota DPRD Pamekasan ini lebih lanjut menjelaskan, aspirasi HMI dalam menyuarapan penghapusan praktik kekerasan dalam karapan sapi, memang tidak serta merta berjalan mulus dan membutuhkan waktu hingga sekitar tiga tahun lebih. Tidak sedikit pula diantara para pegiat karapan sapi yang memprotes keras gagasan penghapusan praktik kekerasan karapan sapi itu, dengan alasan karena sudah dianggap tradisi dan telah berlangsung selama bertahun-tahun. Usulan organisasi ini pernah dianggap sebagai usulan yang tidak populer, bahkan sempat dianggap sebagai bentuk pemikiran yang tidak mendukung pada pelestarian Budaya Madura. "Tapi HMI ternyata mampu menjelaskan pada publik, bahwa gerakan yang dilakukan dalam rangka melestarikan dan memurnikan budaya asli Madura, dan HMI tidak ingin ada anggapan bahwa masyarakat, ulama dan pemkab di Madura, melegalkan praktik kekerasan pada binatang," kata Iskandar. Sementara, mantan Ketua Umum HMI Cabang Pamekasan Sulaisi Abdurrazaq menyatakan, pemikiran untuk menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi itu, karena berbagai pertimbangan. Disamping, karena dari sisi agama memang dilarang, dan demikian juga dari hasil kajian hukum positif, praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi itu perlu disuarakan untuk dihapus, karena pada akhirnya akan merugikan warga Madura itu, sendiri. "Karena jika kekerasan tetap dibiarkan maka Indonesia berpotensi akan diklaim sebagai negara yang melegalkan kekerasan pada binatang, dan ini dampaknya akan lebih luas lagi," katanya. Padahal karapan sapi sudah dikenal sebagai buaya asli masyarakat Madura, dan hanya satu-satunya di dunia. Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD Pamekasan M Suli Faris mengakui, HMI memang merupakan salah satu organisasi ektra kampus yang menyuarakan penghapusan praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi, dan gagasan organisasi itu, kini telah dilaksanakan oleh pemerintah. "Tapi bukan satu-satunya. Para ulama juga turut menyuarakan dalam berbagai pertemuan ulama-umaro di pendopo Pemkab Pamekasan, namun memang tidak tersiar luas di media, seperti gagasan pemikiran HMI," kata Suli Faris.(*)

Pewarta:

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015