Surabaya (Antara Jatim) - "Nenek moyangku seorang pelaut", melalui petikan lirik sebuah lagu anak-anak itu masyarakat Indonesia terutama pemerintah bisa menggarisbawahi jika kesuksesan negeri dengan dua pertiga wilayahnya merupakan perairan itu berawal dari laut.
Meski upaya mengembangkan dan mengoptimalkan kekayaan laut Indonesia baru dijalankan oleh pemerintah terkini yaitu era Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sepertinya pepatah "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali" masih laik untuk dilakukan dan ditindaklanjuti secara tepat.
Kondisi itu mulai terlihat melalui perkembangan sektor kemaritiman di Tanah Air, terutama dari Kawasan Timur Indonesia. Salah satunya disumbang oleh performa Provinsi Jawa Timur yang memiliki tingkat perekonomian nomor dua terbesar secara nasional setelah DKI Jakarta.
Dengan ditunjang keberadaan 16 perusahaan galangan kapal yang menyebar di Jatim, secara perlahan tapi pasti industri galangan kapal di wilayah tersebut memamerkan kebangkitannya. Hal itu semakin membuktikan bahwa sektor industri yang seolah pernah mati suri itu tak ingin terlindas oleh kemajuan dunia kemaritiman.
Di Kota Pahlawan, beberapa perusahaan galangan kapal itu di antaranya PT PAL Indonesia serta PT Dok dan Perkapalan Surabaya yang termasuk badan usaha milik negara (BUMN). Ada pula perusahaan galangan kapal dari kalangan swasta seperti PT Dumas Tanjung Perak Shipyard, sedangkan PT Adiluhung Sarana Segara Indonesia (ASSI) berada di Soca, Bangkalan, Madura.
Masing-masing perusahaan galangan kapal itu mempunyai pekerjaan rumah berbeda sesuai permintaan pasar baik di dalam negeri maupun negara lain. Tapi di sisi lain, sejumlah pelaku industri galangan kapal itu tetap mencurahkan seluruh upayanya untuk melayani permintaan masyarakat pelayaran.
Sebagai contoh, mulai dari kegiatan membangun berbagai kapal baru, memperbaiki kapal (reparasi), hingga pengedokan (docking) kapal. Serangkaian upaya itu dilakukan karena industri galangan kapal adalah pokok dari setiap aspek pendistribusian berbagai logistik misal antarpulau satu dengan pulau lain.
Tanpa adanya pembangunan kapal laut, barang dari satu daerah tidak akan terangkut. Apalagi melalui armada itu, total logistik yang disalurkan bisa dalam jumlah besar dibandingkan memakai moda transportasi lain yang kapasitas angkutnya terbatas.
Untuk itulah, kebutuhan kapal sebagai sarana logistik utama sangat diperlukan dan satu-satunya yang dapat mengambil peran adalah industri galangan kapal. Kini sektor industri itu laik jika dikategorikan padat modal, padat karya, dan padat teknologi.
"Industri padat karya bukan hanya perusahaan sepatu, tekstil, atau kerupuk melainkan galangan kapal termasuk di dalam kategori itu. Kalau tidak ada kapal, bagaimana penyaluran sepatu, tekstil, dan kerupuk bisa diangkut ke daerah lain," kata Ketua Ikatan Perusahaan Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Jawa Timur, Bambang Harjo.
Dilema Impor
Masih dikatakan Bambang yang kini juga menjabat sebagai Anggota Komisi VI DPR RI Bidang Industri, rendahnya pertumbuhan bisnis galangan kapal yang hanya tumbuh 10 persen dipengaruhi beberapa masalah yang menjadi dilema sektor tersebut.
Sebut saja belum membaiknya kondisi infrastruktur jalan ke galangan, rendahnya kedalaman kolam, tingginya bea masuk komponen kapal, serta sewa lahan dan tarif listrik yang mengakibatkan biaya operasional galangan kapal tinggi.
Akibatnya, perusahaan pelayaran skala besar sering melakukan pembelian maupun perawatan kapal ke galangan luar negeri. Langkah itu dipilih karena faktor pertimbangan biaya yang lebih hemat dan tidak adanya keharusan kapal domestik dibenahi di dalam negeri.
Berikutnya, masih minimnya daya saing dan teknologi galangan kapal nasional membuat industri ini harus puas untuk melakukan perawatan atau reparasi kapal saja daripada membangun atau memproduksi kapal baru. Sesuai data Iperindo Jawa Timur, setiap perusahaan galangan kapal bisa membangun kapal baru dengan bobot antara 1.000-30.000 DWT.
Kalau dari sisi kemampuan memperbaiki kapal, dalam satu tahun setiap perusahaan bisa antara 50-500 unit kapal. Melalui kinerja tersebut maka sumbangan performa seluruh galangan kapal di Jatim menguasai porsi 20-25 persen terhadap total pembangunan kapal baru secara nasional.
Kemudian, sampai sekarang ketergantungan industri galangan kapal nasional khususnya di Jatim terhadap komponen mesin induk dan cadangan dari luar negeri ikut berdampak tersendiri karena semuanya masih impor. Lalu, keberadaan industri penunjang galangan kapal nasional yang hingga kini masih minim terutama komponen mesin dan beberapa komponen yang dibutuhkan lainnya.
Seperti alat navigasi, komunikasi, dan keselamatan di mana seluruhnya masih didatangkan dari luar negeri. Kemudian mesin induk, mesin cadangan yang juga impor dan kontribusi terbesarnya dari Jepang. Dengan mendatangkan barang impor itu maka waktu yang diperlukan cukup lama dan bisa saja pengirimannya sering terlambat. Beberapa faktor itu memicu terhambatnya pembangunan kapal dan kinerja industri galangan kapal nasional.
Menyikapi permasalahan itu, Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Susilo menyatakan, komitmen pemerintah untuk membangkitkan kemampuan produksi 88 perusahaan galangan kapal yang menyebar di penjuru Nusantara. Salah satu di antaranya PT PAL Indonesia di Surabaya dan tahap selanjutnya makin diperluas hingga Kawasan Timur Indonesia.
Galangan kapal baru yang berada di empat lokasi di wilayah itu akan dikelola sebagai perluasan galangan PT PAL Indonesia Surabaya. Masing-masing ada di Ambon, Maluku, Sorong dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Seluruh titik galangan kapal baru yang terletak di area kerja PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) Makassar diyakini mendukung industri dalam negeri.
Sementara, galangan kapal Indonesia lainnya berada di Batam dengan 110 perusahaan sehingga secara total ada 198 galangan kapal di Tanah Air. Ia optimistis melalui upaya membangkitkan kemampuan setiap perusahaan maka tercipta lapangan kerja baru. Hal itupun merupakan bagian peningkatan kemampuan dalam hal produksi kapal.
Adanya upaya pembenahan dan perluasan galangan kapal itu memacu kemampuan alih teknologi di bidang perkapalan. Pihaknya juga akan memberikan insentif agar galangan kapal bisa terdorong meningkatkan performa produksinya dan kini seperti PT PAL Indonesia semakin sehat secara keuangan. Insentif itu terbagi dalam dua kebijakan fiskal dan nonfiskal.
Dari kebijakan itu akan ada empat komponen yang mendukung pengenaan biaya dengan pajak murah di antaranya PPh final, bea masuk komponen, pengenaan PPn nol persen yang diyakini tidak akan mempengaruhi kinerja galangan kapal. Lalu, komponen lainnya berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang industri galangan kapal yang akan menjadi penengah dari tiga komponen sebelumnya.
Alutsista
Di sisi lain, perkembangan industri galangan kapal di Jatim tak lepas dari prestasi beberapa perusahaan galangan pelat merah seperti PT PAL Indonesia (Persero). Bahkan, perusahaan itu mampu mendapatkan pesanan kapal perang dari Kementerian Pertahanan Filipina yakni dua unit kapal "Strategic Sealift Vessel" (SSV) dan kini sedang dikerjakan satu unit terlebih dulu.
Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero), M Firmansyah, mengatakan, pesanan kapal perang dari Filipina ini merupakan sebuah prestasi sekaligus tantangan baginya. Kapal perang yang pembangunannya diawali dengan pemotongan pelat pertama Januari 2015 itu diproduksi berukuran panjang mencapai 123 meter dan lebar 21,8 meter.
Dengan ukuran tersebut, diharapkan mampu mengangkut 121 kru kapal dan 500 prajurit. Kapal tersebut juga mampu mengangkut sebanyak empat unit tank, empat truk, satu mobile hospital, dua jeep, dan dua buah helikopter. Selain itu kapal yang akan memiliki kecepatan maksimal 16 knot dengan mesin berkapasitas 2 x 2.920 kW ini diyakini mampu beroperasi hingga sebulan penuh di laut.
Pembuatan kapal itu merupakan pengembangan atas desain dan teknologi dari kapal jenis Landing Platform Dock (LPD) yang telah diserahkan PT PAL Indonesia (Persero) kepada TNI AL pada tahun 2011. Ada dua unit LPD yang telah beroperasi yaitu KRI Banda Aceh (593) di mana kini aktif melakukan evaluasi korban pesawat AirAsia QZ8501 dan KRI Banjarmasin (592).
Kinerja PT PAL Indonesia (Persero) itu mendapatkan apresiasi tersendiri dari Presiden Joko Widodo saat mengunjungi perusahaan galangan tersebut Januari lalu. Pada kesempatan itu Joko meminta seluruh perusahaan galangan kapal tidak hanya memproduksi kapal perang asing melainkan juga memperkuat industri alutsista nasional. Dengan memproduksi kapal perang hal itu dapat menguatkan sisi keamanan nasional.
Untuk merealisasi hal tersebut, orang nomor satu di Tanah Air itu berharap ada baiknya mulai awal tahun 2015 perusahaan galangan kapal dapat menghentikan upaya diversifikasi bisnisnya. Dengan begitu, melalui strategi bisnis itu para pelaku industri tersebut bisa fokus untuk mengoptimalkan usahanya pada satu bidang saja.
"Memang order tidak selalu ada setiap tahun. Tapi, kalau ingin bisnis ini berhasil dan bisa bertahan dalam waktu lama ya ini caranya. Misalnya memusatkan bisnisnya dengan membangun kapal selam saja atau kapal komersial," tutur pria yang pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta itu.
Jika dilihat dari lokasi dan bengkel di PT PAL Indonesia (Persero) semuanya sudah memadai. Bahkan, luas area pabriknya bisa dikembangkan lagi pada masa mendatang. Di sisi lain, keberadaan PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) jua sudah baik, sehingga keduanya dapat sama-sama memberikan kontribusi terhadap industri maritim serta industri alutsista nasional.
Dari berbagai kondisi dan perkembangan industri galangan kapal itu, pengamat industri maritim dari ITS Surabaya Saut Gurning, optimistis masa depan galangan kapal nasional cukup potensial karena pesanan kapal dari dalam negeri mulai menunjukkan permintaan yang tinggi. Ada sekitar 200 kapal pemerintah dan BUMN yang dipesan dengan nilai investasi sekitar Rp2 triliun hingga Rp3 triliun.
Namun, potensi yang cukup besar itu tidak bisa dioptimalkan lantaran kinerja galangan kapal nasional saat ini terbatas baik itu ruang dok (lokasi pembangunan dan reparasi), peralatan dukungan teknologi, dan pola bisnisnya masih sangat minim. Dampaknya, banyak pesanan kapal baru waktu peluncurannya lebih lama dari kesepakatan kontrak. Di samping itu, harga kapalnya yang lebih mahal sehingga mengurangi potensi bisnis dari pemesannya khususnya para BUMN.
"Terkait ketergantungan impor seperti sekarang, strateginya adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan volume kapal-kapal yang dibangun galangan kapal nasional, sehingga industri komponen akan lebih mudah bergeliat," tukas Saud.
Kemudian, pelaku industri itu juga akan menambah investasinya di Indonesia untuk menyokong kebutuhan kapal di Indonesia.
Dari sisi pemerintah, mereka perlu memberikan kepastian atas iklim investasi yang kondusif dan perlu adanya pemberian insentif khusus. Secara umum, dengan perjalanan waktu saat ini kondisi iklim investasi sekarang sudah mulai membaik dikarenakan adanya kepercayaan konsumen pelayaran nasional, seperti pemerintah, BUMN, dan pihak swasta.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015