Surabaya (Antara Jatim) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya mengkritisi kebijakan baru pemerintah kota berupa program penerimaan bantuan iuran sebagai pengganti surat keterangan tanda miskin yang dinilai sebagai kebijakan yang terburu-buru.
"Apakah saat ini merupakan momentum yang tepat untuk perubahan kebijakan dari penghentian surat keterangan tanda miskin (SKTM) beralih ke penerimaan bantuan iuran (PBI)?" kata anggota DPRD Surabaya Adi Sutarwijono dengan nada tanya.
Adi juga bertanya, "Bagaimana kelak sinkronisasi dengan rencana kebijakan pusat yang akan menerapkan Kartu Indonesia Sehat? Apakah tidak bakal bongkar-bongkar kebijakan lagi?"
Menurut dia, hak warga miskin di Kota Surabaya tidak boleh terabaikan oleh hak pelayanan kesehatan karena negara mampu menjamin hak mereka.
Selain itu, di level strategi kebijakan, lanjut dia, haruslah disusun jelas skemanya. Tidak saja menyangkut gol/target, tetapi juga mesti dipastikan lancar prosesnya.
"Yang tidak saja menyangkut bekerjanya antarorgan, unsur, dan subsistem pemerintahan, tetapi juga dipayungi regulasi di semua jenjang/tingkatan agar tercipta kepastian kebijakan," katanya.
Ia mengemukakan bahwa regulasi dan bekerjanya antarsubsistem menjadi wujud jelas kelancaran/ terhambatnya mekanisme pelaksanaan kebijakan.
Kalau kebijakan SKTM, yang sudah dianut di Surabaya, kira-kira sejak delapan tahun lalu, kemudian didukung dengan slot anggaran yang kuat di APBD, kebijakan SKTM dipayungi oleh Perwali, kemudian tiba-tiba dihentikan, menurut dia, tentunya akan membuat kecewa warga.
Adi mengharapkan Pemkot Surabaya telah dan dapat menjamin dan memastikan perubahan kebijakan dari SKTM ke PBI telah tepat dan bisa dijalankan lancar di lapangan, serta dengan target utama makin menjamin hak kesehatan warga miskin.
Untuk itu, pihaknya memandang perlunya mempertahankan SKTM yang telah di-"back up" anggaran di APBD. Di pihak lain, ada BPJS dan PBI berangsur-angsur diterapkan, yakni migrasi dari data warga miskin di Kota Surabaya ke PBI.
Sementara itu, anggota DPRD lainnya Reni Astuti mengatakan bahwa PBI yang dimaksud pemkot relatif cukup bagus karena dimaksudkan agar warga miskin/tidak mampu bebas iuran BPJS.
"Namun, tetap mendapatkan layanan kesehatan di semua rumah sakit yang kerja sama dengan BPJS. Jadi, yang nanggung iuran pemerintah," katanya.
Terkait dengan transisi SKTM ke PBI, kata dia, yang paling penting adalah perlu kebijakan tepat agar jangan sampai pada rentang waktu itu warga miskin tidak bisa terlayani kesehatannya.
Penerimaan bantuan iuran sendiri diatur dalam PP Nomor 101 Tahun 2012 dan merupakan amanah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Kunci keberhasilan konversi SKTM ke PBI adalah layanan administrasi yang andal agar data akurat. Ini tugas pemerintah kota," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014