Surabaya (Antara Jatim) - Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) Jakarta M Aminuddin menegaskan bahwa "quick count" itu mampu memandu independensi lembaga pemilu seperti KPU sehingga mendorong pilpres yang "jurdil" (jujur dan adil). "Quick Count itu bisa menilai apakah lembaga pemilu itu fair atau tidak. Kalau melihat hasil quick count pilpres antarlembaga survei atau antara lembaga survei dengan lembaga pemilu (KPU) itu memiliki selisih suara 1-2 persen, maka metodenya masih benar," katanya kepada Antara per telepon, Sabtu. Namun, kata praktisi survei yang alumnus FISIP Unair Surabaya itu, kalau selisih suara antarlembaga survei atau antara lembaga survei dengan lembaga pemilu (KPU) itu mencapai 4-5 persen atau bahkan di atas 5 persen, maka metode salah satu pihak patut dipertanyakan. "Selisih suara yang tipis itu mungkin terjadi, karena perbedaan sampel atau pengambilan sampel dari penumpukan basis calon tertentu yang berbeda," kata mantan Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI (2005) dan Tenaga Ahli DPR RI (2008-2009) itu. Menurut dia, bila selisih tipis, maka terjadinya perbedaan hasil itu sangat mungkin, seperti yang sudah terbukti dalam Pilgub Jatim 2008, Pilkada Palembang, dan Pilkada Bali. "Kalau selisih besar, tapi hasilnya berbeda, maka ada yang tidak independen," katanya. Ia menyatakan metode yang tidak valid dalam survei itu mudah diverifikasi. "Kalau verifikasi dari awal itu tidak mudah, tapi bisa saja dicek pada data yang masuk pada komputer dari lembaga survei yang dicurigai," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014