Maraknya pelanggaran yang dilakukan caleg maupun partai politik dalam berkampanye menjelang Pemilu yang digelar pada 9 April 2014 di sejumlah daerah di Indonesia patut dipertanyakan.
Apakah pelanggaran itu akibat dari ketidaktauan caleg atau pengurus partai mengenai aturan berkampanye yang benar? Ataukah mereka mengerti aturan tapi mala bersikap masa bodoh atau cuek.
Jika demikian peran dari Badan Pengawas Pemilu, Panwaslu, Panwascam di daerah-daerah patut juga dipertanyakan. Timbul juga pertanyaan apakah mereka sudah melakukan sosialisasi dengan benar kepada para caleg, parpol atau masyarakat umum lainnya?.
Mungkin juga SDM dari pengawas pemilu ini rendah atau kurang mengerti tugas yang diembannya, sehingga mereka tidak mampu berlaku tegas dan profesional dalam menindas pelanggaran.
Fakta yang terjadi di Kota Surabaya selama dalam pelaksanaan kampanye berlangsung telah ditemukan banyaknya pelanggaran.
Seperti halnya Panitia Pengawas Pemilu Kota Surabaya menemukan tiga pelanggaran saat kampanye akbar yang digelar Partai Demokrasi Indonesia Perjangan (PDIP) di lapangan Thor Komplek Gelora Pancasila Surabaya beberapa waktu lalu.
Ada tiga pelanggaran yang dilakukan PDIP yakni pertama menggunakan fasilitas Negara berupa pemakaian mobil dinas pelat merah oleh salah satu caleg PDIP dapil 2 Surabaya atas nama Heru Rusianto.
Kedua menggunakan tong sampah milik Pemkot Surabaya yang bertuliskan Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Ketiga Panwaslu mengetahui Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana hadir pada saat kampanye berlangsung dengan memakai kaos merah, meski tanpa adanya permohonan izin cuti.
Ketua Panwaslu Surabaya Wahyu Hariadi menilai Wisnu telah melanggar pasal 33 PKPU 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu dan pasal 87 UU Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Hanya saja ketiga pelanggaran tersebut disikapi Panwaslu Surabaya sebagai pelanggaran ringan dan hanya diberikan sanksi secara administrasi. Padahal sesuai aturan yang berlaku, mereka yang menggunakan fasilitas negara saat berkampanye bisa diproses secara pidana.
Untuk kepala BKD, Panwaslu Surabaya mengirimkan rekomendasi kepada Wali Kota Surabaya agar diberi sanksi. Begitu juga untuk Wawali, Panwaslu juga telah mengirim rekomendasi kepada Gubernur Jatim untuk pemberian sanksi.
Satu lagi, caleg Heru yang menggunakan mobil dinas yang semula Panwaslu menganggap ada unsur pidana ternyata belakangan hari berubah sikap dengan menyatakan bahwa itu hanya pelanggaran ringan. Mengingat, Heru merupakan caleg, Panwaslu pun mengirimkan rekomendasi ke KPU Surabaya.
Satu hal yang membuat emosi salah satu celeg dapil 5 DPRD Surabaya yang juga Ketua DPRD Surabaya M.Machmud karena kampanyenya berupa pertemuan dengan lansia di Karangpoh, Tandes beberapa hari lalu sempat dihentikan panwascam.
Panwascam menghentikan kampanye Machmud karena dianggap tidak memiliki surat tanda terima pelaksanaan kampanye (STTPK) dari Polrestabes Surabaya, padahal STTPK sudah dipegang M. Machmud.
Menurut Machmud, pihaknya mengaku malu atas kejadian itu. Tindakan yang gegabah dilakukan panwascam tersebut, menurut Machmud tidak tepat dan tidak beretika, meski kampanye kemudian dilanjutkan kembali. Mestinya, lanjut dia, panwas menanyakan STTPK sebelum acara digelar.
Selain itu, lanjut dia, anggota panwascam yang sama juga melakukan tindakan yang kurang tepat pada saat kampanyenya saat digelar Kamis malam yakni meminta pengurus RW untuk memberikan waktu sambutan diakhir acara.
"Mestinya gak seperti itu. Kami berharap panwas kota memberikan pengarahan kepada panwascam," katanya.
Satu pelanggaran lain yang hingga kini belum diproses Panwaslu Surabaya adalah pelanggaran yang dilakukan juru kampanye Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Zaenal karena menjelek-jelekkan tokoh dan partai politik lainnya ketika menggelar kampanye terbuka di Lapangan Flores Surabaya, beberapa hari lalu.
Dalam orasinya, orator mengatakan tentang pemerintahan SBY dan Gubernur Jatim Soekarwo menghabiskan uang rakyat. Tidak itu saja, Zaenal juga menyinggung Partai Demokrat yang kadernya banyak terlibat korupsi, padahal sebagai partai yang semula antikorupsi.
Jurkam Gerindra tersebut diduga melanggar Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013 Pasal 32 ayat (c) dan (d) tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pasal 32 ayat (c) menjelaskan setiap partai politik dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta pemilu yang lain, sedangkan ayat (d) dilarang menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Agaknya, kita berharap banyak kepada lembaga pengawas untuk tidak ragu-ragu dalam bertindak, apalagi aturan untuk itu sudah jelas dan mereka memiliki kewenangan untuk itu. Bagaimana pun, proses pemilu tanpa aturan akan menghasilkan pemilu yang cacat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014