Hampir satu bulan sejak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diberlakukan pada 1 Januari 2014, ternyata tidak jarang masyarakat masih mengeluhkan sistem tersebut. Berbagai kalangan sempat meragukan, apakah sistem ini bisa berkelanjutan di masa depan. Harapan dari masyarakat akan sistem ini cukup besar. Bagaimana tidak, ansuransi kesehatan berupa Askes yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu seperti PNS, Polri, pegawai BUMN, karyawan dan pekerja kantoran atau perusahan lainnya, tapi dengan sistem baru ini masyarakat miskin pun bisa merasakan pelayanan yang sama seperti mereka. Tentunya hal ini sesuai dengan tugas dan kewenangan BPJS dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), secara tegas menyatakan bahwa BPJS yang dibentuk berbadan hukum publik. BPJS tersebut pada dasarnya mengemban misi negara untuk memenuhi hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan menyelenggarakan program jaminan yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentunya sistem yang diwadahi BPJS ini harus didukung sepenuh hati oleh semua pihak. Seperti halnya untuk BPJS kesehatan, keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan mulai dari pemerintah, rumah sakit, dokter, perawat dan pegawai medis lainnya. Hanya saja, banyak di antara kalangan mereka tidak mengetahui prosedur atau mekanisme dari sistem tersebut. Akibatnya di lapangan masih saja ditemukan adanya diskriminasi pelayanan kesehatan di rumah sakit antara pasien BPJS dari golongan PNS, Polri atau pegawai, dengan peserta BPJS dari kalangan masyarakat miskin maupun buruh. Diskriminasi lainnya berupa pemberian resep obat dengan harga murah dan tidak berkualitas bagi pasien BPJS dari kalangan masyarakat miskin, padahal pagunya sama. Sistem administrasi yang ribet dan belum lagi adanya intervensi dari kementerian kesehatan terkait pelaksanaan JKN ini berlebihan sehingga kewenangan BPJS kesehatan terkebiri. Seharusnya Kementerian Kesehatan tidak perlu dalam mengurusi JKN, biarkan sepenuhnya ditangani BPJS. Hal ini dikarenakan BPJS pertanggungjawabannya berada dibawah Presiden RI sehingga diharapkan bisa bekerja secara profesional. Tapi jika terus terusan diintervensi oleh Kementerian Kesehatan atau pihak lainnya, maka jangan harap sekian persoalan yang ada seputar JKN bisa terselesaikan. Persoalan lain yang juga menyita perhatian publik pada awal diberlakukannya JKN di Jatim adalah rumah sakit milik Pemprov Jatim yang sempat menolak masyarakat miskin saat berobat lantaran belum terdaftar BPJS. Hal ini sempat dialami salah seorang pasien anak perempuan dari keluarga miskin yang sempat ditolak pihak RSUD Dr. Soetomo beberapa waktu lalu. Bocah bernama Anisa Ulya Islami umur 2,5 tahun itu merupakan warga yang tidak punya tempat tinggal tidak tetap (T4). Ia bersama orang tuanya tinggal di masjid An-Anur Karang Menjangan di sekitar rumah sakit RSUD dr.Soetomo, Kota Surabaya. Anisa sempat diajak ayahnya Agus Subagyo (42) mendatangi gedung DPRD Surabaya. Tujuan Agus dan anaknya bertemu dengan anggota DPRD Surabaya tidak lain adalah mengaduh karena tidak diterima untuk melakukan check up infeksi paru-paru di IRD RSUD dr. Soetomo milik Pemprov Jatim itu pada Kamis (2/1). Agus mengaku kaget dengan penolakan dari salah satu rumah sakit terbesar di Jawa Timur tersebut. Padahal selama ini, dirinya cukup mengggunakan surat keterangan dari Dinas Sosial (Dinsos) untuk memeriksakan putrinya. Hanya saja, saat itu Agus ditolak dengan dalih tidak menerima pasien di luar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dari keterangan yang diberikan pihak rumah sakit, surat keterangan yang diterbitkan oleh Dinsos Surabaya dianggap tidak berlaku semenjak diberlakukanya program BPJS mulai tanggal 1 Januari 2014. "Saya ini gelandangan. Saya sekarang tinggal di masjid An-Anur di sekitar rumah sakit Karang Menjangan (RSUD dr.Soetomo). Sebelumnya saya sempat pindah ke Malang, tapi balik lagi ke Surabaya," kata Agus. Mendapat laporan tersebut, Ketua Komisi D Bidang Kesra DPRD Surabaya Baktiono menilai masih adanya penolakan terhadap pasien menjadi bukti nyata jika pemerintah belum siap menjalankan program BPJS. Menurutnya, program BPJS yang merupakan peleburan dari Jamkesmas, Jamkesda, dan Askes, seharusnya tidak menjadi kendala berarti bagi pemerintah. "Esensinya itu sama dengan program yang sudah ada sebelumnya. Ini kan Cuma merubah nama saja. Kan aneh kalau sekarang masih timbul masalah dan terjadi penolakan kepada para pasien," sesal Baktiono. Tidak hanya itu, Baktiono juga meminta pemerintah tidak hanya fokus menangani masyarakat yang sebelumnya telah tercover dalam program jamkesmas, jamkesda, dan Askes. Tapi pasien yang tidak memiliki tempat tinggal tidak tetap (T4) juga harus tetap dilayani seperti pasien yang lain. Kepala Cabang BPJS Kota Surabaya I Made Pujayasa menjelaskan, peran BPJS hanya sebatas memberikan informasi. Itu artinya, BPJS tidak langsung bisa turun tangan ketika ada masyarakat yang tidak mampu. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya BPJS Kota Surabaya selalu berkoordinasi dengan lintas sektor. Makanya untuk tiap rumah sakit dibuat BJS center untuk melayani warga yang ingin mendaftar. "Misalnya rumah sakit yang ingin dituju sudah penuh, maka tugas BPJS memberikan informasi rumah sakit mana saja yang bisa dijadikan rujukan alternatif," katanya. Puja menjelaskan, dalam menjalankan tugasnya berbagai sektor akan bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing. "Terkait panjanganya waiting list, ini menjadi tugas kita bersama. Termasuk BPJS yang akan terus memantaunya," kata Puja. Banyaknya daftar antrean di rumah sakit, katanya, lantaran masyarakat cenderung memilih RSUD Dr Soetemo atau RSUD Dr Soewanhie, ketika hendak dirujuk. Padahal, untuk kota Surabaya rumah sakit yang ada tidak terbatas pada dua rumah sakit milik pemerintah tersebut. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014