Malang (Antara Jatim) - Kebijakan yang dikeluarkan Pemkot Malang pada awal kepepimpinan Wali Kota Malang Moch Anton dan wakilnya Sutiaji yang menggratiskan biaya sekolah untuk jenjang SD dan SMP negeri cenderung spekulatif karena tanpa analisa yang jelas, kata Direktur Bidang Hukum PP Otoda Universitas Brawijaya Syahrul Sajidin. "Kebijakan sekolah gratis tersebut tanpa menggunakan analisa dan kajian yang jelas, bahkan cenderung spekulatif. AKibat kebijakan tersebut, masyarakat, khususnya siswa yang menjadi korban," kata Syahrul Sajidin, Senin. Menurut dia, dunia pendidikan itu bukan perusahaan. Pendidikan itu menyangkut masa depan bangsa dan negara, sehingga pemerintah, tak terkecuali Pemerintah Kota Malang harus jeli dalam mengambil keputusan (kebijakan) di bidang pendidikan tersebut. Kebijakan pendidikan gratis yang diambil Pemkot Malang, katanya, juga tidak melibatkan pihak sekolah, padahal sekolah yang tahu kebutuhan riil biaya operasional di sekolah, baik untuk perawatan maupun peningkatan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Selain tanpa analisa, kata Syahrul, kebijakan sekolah gratis tersebut juga ada kesan dipaksakan, sebab hingga saat ini amsih belum ada payung hukumnya, baik berupa surat keputusan (SK) maupun peraturan wali kota (perwali). Sebuah kebijakan tidak bisa hanya beradsarkan ucapan seorang pejabat saja, tapi harus tertuang dalam sebuah peraturan agar bisa menjadi acuan (payung hukum) pelaksanaannya di lapangan. Bahkan, tegas Syahrul, kebijakan sekolah gratis itu juga sama sekali tidak melibatkan orang-orang yang peduli dengan dunia pendidikan, khususnya dari kalangan akademisi. Padahal, keberadaan pakar pendidikan dari akademisi itu sangat penting perannya dalam memberikan masukan dan saran agar pendidikan di Kota Malang bisa mencapai seperti yang diharapkan. Akibat adanya kebijakan sekolah gratis bagi SD dan SMP negeri, meski belum ada payung hukumnya itu, banyak fasilitas sekolah yang dihapus karena tidak ada biaya, sebab subsidi dari pemerintah jauh dari kata cukup, terutama ekstra kurikuler. "Hampir semua sekolah menghapus kegiatan ekstra kurikulernya, padahal kegiatan tersebut mampu menambah pen getahuan dan keterampilan anak didik dan positif untuk pengembangan diri peserta didik. Karena tidak ada kegiatan ekstra, kreativitas anak didik menjadi tidak berkembang, bahkan mati," tegasnya. Sejak diberlakukannya "titah" Wali Kota Malang Moch Anton terkait sekolah gratis di SD dan SMP yang mulai diberlakukan September 2013 tersebut, banyak kegiatan ekstra kurikuler siswa berhenti total. Bahkan, tidak sedikit orang tua siswa yang mengeluhkan masalah tersebut ke Dians Pendidikan (Diknas) setempat.(*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013