Tim Srikandi Unair Awali Latihan di Arjuno-Welirang
Sabtu, 7 April 2012 8:51 WIB
Surabaya - Tim Srikandi Universitas Airlangga Surabaya yang tergabung dalam "Airlangga Indonesia Aconcagua Expedition" atau AIAE mengawali latihan di Gunung Arjuno-Welirang pada 22-31 Maret 2012.
"Latihan kami di Gunung Arjuno-Welirang adalah latihan beban dan 'speed climbing', tetapi kami langsung mendirikan 'basecamp' di puncak bayangan di Gunung Welirang sebagai pusat aktivitas," kata Ketua Ekspedisi Puncak Aconcagua (6.459 mdpl) Lestari Ningsih di kampus setempat, Sabtu.
Ia menjelaskan "basecamp" tersebut penting, karena hidup di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl perlu melatih sistem metabolisme para atlet atau yang biasa disebut sebagai aklimatisasi.
"Itu perlu dilakukan sejak dini, mengingat ketinggian Puncak Gunung Aconcagua mencapai lebih dari 6.000 mdpl. Tanpa aklimatisasi akan menimbulkan gejala seperti rasa pusing, mual, muntah, dan akhirnya mengalami Acute Mountain Sickness," katanya.
Tim yang didukung oleh Semen Gresik, PT KAI, Pangdam V/Brawijaya, dan Pangarmatim itu beranggotakan 10 orang yakni tujuh cewek dan tiga cowok yakni Anzir Navida, Lestari Ningsih, Debby Aditya, Ratu Fizar, Bonita, Nurul Azhariyah, dan Aprilia Sagala, sedangkan tiga cowok adalah Wanayassak, Ari Kurniawan, dan Kocan.
Menurut dia, "try out" pertama di Gunung Arjuno dan Gunung Welirang selama 10 hari memiliki target untuk membiasakan hidup di atas ketinggian 3.000 mdpl dengan berjalan membawa beban setengah berat badan dan dalam "track" menanjak.
"Target utama adalah mencapai puncak Aconcaqua yang merupakan gunung tertinggi di benua Amerika yakni 6.459 mdpl (22.841 kaki). Aconcagua terletak di Aconcagua Park, pegunungan Andes, Provinsi Mendoza, Argentina dan berjarak 112 kilometer (70 mil) dari pusat kota Mendoza dengan letak astronomis yaitu 32 derajat 39' LS dan 70 derajat 14' LU," katanya.
Tiga gangguan alami Gunung Aconcagua yaitu iklim gunung, perubahan cuaca, dan kadar oksigen yang tipis. Perubahan cuaca sering terjadi di Aconcagua, kecepatan angin dapat mencapat 160 km/jam, dan suhu turun hingga minus 30 derajat.
"Bila angin terbawa naik dari arah barat Andes dengan temperatur rendah, kemudian terkondensasi menjadi awan cendawan di puncak, maka viento blanco yang terkenal sebagai angin berkecepatan tinggi membawa salju pun segera datang," katanya.
Ketinggian yang mencapai 6.459 mdpl biasa disebut sebagai "dead zone", karena kadar oksigen yang tersedia di daerah tersebut sangatlah tipis, sehingga mempersulit tubuh manusia untuk beradaptasi.
Oksigen adalah salah satu faktor yang dibutuhkan oleh metabolisme tubuh. Semakin tipis kadar oksigen, maka metabolisme tubuh akan semakin tidak sempurna. Sistem metabolisme yang rendah akan menimbulkan pembekuan dari dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan frostbite atau pembekuan sel-sel tubuh.
"Manusia yang telah terkena penyakit tersebut dengan terpaksa harus memotong bagian tubuh yang terkena, jika tidak penyakit tersebut akan menjalar dan dapat mengakibatkan kematian. Itulah dead zone," katanya.
Selain membiasakan diri untuk hidup di ketinggian, para atlet juga melakukan kegiatan berupa speed climbing. Kegiatan ini untuk melatih ketangkasan.
Hal itu dilakukan untuk mengurangi bahaya cuaca di gunung Aconcagua yang sering berubah. Kejadian perubahan cuaca secara mendadak pernah dialami oleh almarhum Norwan Edwin (anggota Mapala UI) pada 1992. Dia sempat terserang badai angin dengan kecepatan hampir mencapai 200 km/jam secara mendadak.
"Latihan speed climbing dilakukan dengan rute puncak Welirang-pondokan (pos pendakian terakhir)-puncak Arjuno dan kembali lagi ke puncak Welirang dengan target waktu 6-8 jam setiap hari," katanya.
Selama proses "try out" 10 hari, tim tidak mengenal lelah. "Hari ke-9, kami diwajibkan summit attack dari pos perizinan Tretes (900 mdpl) menuju puncak Welirang (3.100 mdpl) dalam waktu maksimal delapan jam dengan kondisi kaki lecet dan terkilir di pergelangan mata kaki," kata Ratu Fizar. (*)