Bahan bakar minyak (BBM) dan segala kebijakan pemerintah yang menyertainya agaknya selalu mem-"bikin" galau, terutama kalangan menengah bawah yang setiap hari berpikir, bagaimana bisa makan sesuap nasi. Kini, mau tidak mau, masyarakat kelas menengah bawah itu dihadapkan pada permasalahan sangat pelik yakni pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, menyusul membengkaknya beban pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) guna memberikan subsidi terhadap komoditas tersebut. Demi membatasi konsumsi BBM bersubsidi yang diterapkan pada tanggal 1 April 2012, pemerintah mengeluarkan sejumlah opsi, baik menaikkan harga menjadi Rp6.000 per liter maupun menerapkan subsidi konstan Rp2.000 per liter. Opsi kedua berarti ketika harga BBM bersubsidi di pasar fluktuatif, maka subsidi yang diberikan tetap. Kedua opsi yang akan dipilih salah satunya sebagai upaya pembatasan BBM bersubsidi pemerintah itu disebabkan sejumlah faktor seperti penikmat BBM bersubsidi di Tanah Air dinilai belum tepat sasaran, karena juga diserap oleh pengendara mobil yang notabene berasal dari kalangan menengah atas. Padahal, angka pengguna BBM bersubsidi dari kalangan tersebut tidak begitu besar atau di bawah 30 persen dibandingkan total konsumen di Indonesia, sedangkan 70 persennya masih dikuasai oleh masyarakat menengah bawah. Jika per 1 April mendatang opsi pertama yakni kenaikan harga BBM jadi dipilih pemerintah maka bisa dipastikan penderita utama kebijakan itu adalah masyarakat menengah bawah. Dan, seperti pengalaman kenaikan harga BBM bersubsidi beberapa tahun sebelumnya, hal tersebut berdampak terhadap kenaikan harga bahan pokok seperti beras, kenaikan tarif angkutan umum, dan pada akhirnya bermuara pada inflasi. Melihat kondisi itu, pemberlakuan opsi kedua yakni penerapan subsidi konstan lebih beradab bagi rakyat kecil dibandingkan menaikkan harga BBM bersubsidi. Pertimbangan inilah yang beberapa waktu terakhir menjadi latar belakang sejumlah elemen mahasiswa sampai masyarakat bawah melakukan demo menolak kenaikan harga di sejumlah objek vital yang berhubungan erat dengan kebijakan BBM seperti kantor pemasaran Pertamina, depo, SPBU, Gedung DPR/MPR, sampai Istana Negara. Gelombang demo itupun diproyeksi semakin besar pada H-7 hingga hari H ditetapkannya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi sehingga pengamanan dari aparat kepolisian kian ketat di seluruh titik rentan demo tersebut. Kini, sejumlah petugas kepolisian juga tampak berjaga-jaga di tiap SPBU di Tanah Air guna mengawasi aksi penimbunan BBM bersubsidi. Selain itu, kebijakan membatasi konsumsi BBM bersubsidi ikut dipengaruhi oleh meningkatnya pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun empat di Indonesia. Apalagi, volume kendaraan bermotor di pasar nasional jelas tak sebanding dengan infrastruktur jalan yang ada saat ini. Akibatnya, di sejumlah ruas jalan, terutama di kota metropolitan di mana masyarakatnya mempunyai mobilitas tinggi seperti Jakarta dan Surabaya tak terpelakkan dari kemacetan selama berjam-jam. Pada saat itu kepulan asap dari knalpot masing-masing kendaraan bermotor ikut menjadi saksi bisu bahwa BBM bersubsidi yang dibeli masyarakat terbuang percuma hanya demi menunggu antrean kapan mereka bisa melanjutkan perjalanannya. Contoh lain terkait permasalahan infrastruktur yang membuat konsumsi BBM bersubsidi seolah boros, tampak di Jalan Raya Porong Sidoarjo yang membuat kemacetan kendaraan sulit terurai, mengingat adanya bencana luapan lumpur Sidoarjo yang kini semakin meluas sampai ke ruas jalan. Jalur yang empat tahun terakhir terkena lumpur Sidoarjo itu, kini telah mengakibatkan perekonomian daerah itu seolah mati menyusul selama ini infrastruktur jalan itu menjadi akses perdagangan bagi setiap kendaraan yang mengangkut aneka barang dari Surabaya ke Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, hingga ke Banyuwangi, Bali, dan sebaliknya dari beragam daerah itu menuju Kota Pahlawan sebagai Ibu Kota Jawa Timur (Jatim). Walau begitu, saat ini permasalahan infrastruktur itu sudah disikapi serius oleh Pemerintah Provinsi Jatim dengan mengoperasionalkan Arteri Porong per 15 Maret 2012, kendati ruas jalan itu belum sepenuhnya bisa dilalui secara nyaman karena pemasangan fasilitas pendukung di sana juga masih diselesaikan secara bertahap. Apapun, pertimbangan pemerintah dalam menerapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi juga dipengaruhi beberapa prediksi pengamat jika 25 tahun mendatang pasokan BBM yang selama ini dihasilkan dari kumpulan fosil yang terpendam jutaan tahun habis sehingga diperlukan langkah yang cepat dan tepat untuk menemukan bahan bakar lain sebagai pengganti BBM. Entah bisa menggantikannya dengan Bahan Bakar Gas, energi terbarukan, atau solusi lain yang ada baiknya jauh dari kepentingan politik, termasuk mencari simpati masyarakat jelang Pemilihan Presiden Tahun 2014. Sementara di pasar global, terganggunya lalu lintas penyaluran minyak di Selat Hormuz akibat adanya tekanan geopolitik pada awal tahun ini juga mempunyai pengaruh tersendiri bagi perkembangan patokan harga minyak mentah dunia, termasuk upaya pemerintah Indonesia membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Kawasan tersebut merupakan jalur lalu lintas utama distribusi minyak dunia yang menyumbang sekitar 17 persen dari pasokan ke pasar global. Lalu, bulan Februari 2012, Iran telah menghentikan kegiatan ekspor minyak ke Prancis dan Inggris seiring reaksi mereka atas penjatuhan sanksi embargo minyak kepada negaranya yang efektif akan diberlakukan per Juli 2012. Dari beragam faktor tersebut, sejak awal tahun 2012 pemberitaan di sejumlah media massa semakin ramai bahwa opsi yang akan dipilih oleh pemerintah adalah menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6.000 per liter dibandingkan harga normal sekarang mencapai Rp4.500 per liter. Alasan lain atas akan dipilihnya opsi itu yakni telah diterbitkannya Perpres Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran Konsumen Pengguna Jenis Tertentu per tanggal 7 Februari 2012. Kehadiran Perpres Nomor 15/2012 memberikan ruang kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Opsi kenaikan harga BBM bersubsidi juga diperkuat dengan klausul pemerintah dalam RUU APBN Perubahan 2012 pada pasal 7 ayat 6 yang menyatakan ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) hingga lima persen dari asumsi di APBNP maka pemerintah bisa kembali menaikkan harga tanpa meminta persetujuan parlemen. Sesuai RAPBNP 2012, ICP diasumsikan 105 dolar Amerika Serikat (AS) per barel dan proyeksi itu lebih besar dibandingkan asumsi APBN yang mencapai 90 dolar AS per barel. Tapi, dalam dua bulan terakhir harga ICP sudah menembus 119 dolar AS per barel. Dengan kata lain, saat kenaikan harga minyak mentah kembali terjadi, maka harga BBM pun kembali disesuaikan. Oleh karena itu, selama ini, banyak sejumlah pakar migas di Tanah Air selalu mengimbau masyarakat untuk tidak bermain-main dengan energi seperti BBM bersubsidi karena komoditas tersebut sama seperti pangan. Ketika laju konsumsinya dibiarkan melebihi batas, ke depan bisa tak tersisa bagi generasi mendatang. Mengenai angka kebutuhan BBM bersubsidi, sesuai data BPH Migas maka besaran pada APBNP 2012 mencapai 37,5 juta kiloliter hingga 40 juta kiloliter. Dari angka itu, dominasi sekitar 60 persen diserap oleh masyarakat di Pulau Jawa, sedangkan 20 persennya konsumen di Pulau Sumatera dan sisanya di Kawasan Indonesia Timur. Untuk menyiapkan BBM bersubsidi pada tahun ini, pemerintah akan menyalurkan dana subsidi sekitar Rp130 triliun. Namun, pada tahun 2025 besaran tersebut diprediksi meningkat dua kali lipat dibandingkan nilai subsidi selama 2012 bila pemerintah tidak memberikan kejelasan sikap guna membatasi pemakaian BBM bersubsidi. Apabila tahun ini subsidi BBM tersebut bisa dihemat, pada masa mendatang dana yang dikeluarkan dapat dialihkan guna mewujudkan pembangunan sejumlah infrastruktur seperti merealisasi jembatan di Selat Sunda yang investasinya mencapai antara Rp120 triliun hingga Rp150 triliun. Langkah lain, bisa juga dipakai untuk membantu masyarakat kalangan menengah bawah yang selama ini hidup serba kekurangan atau merealisasi pengembangan energi pengganti BBM. Mengenai program pemerintah membantu masyarakat menengah bawah termasuk meringankan nasib mereka jelang dampak akan diterapkannya opsi kenaikan harga BBM, skema bantuan itu sudah didengungkan berupa bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang menggantikan penyaluran bantuan sebelumnya yakni bantuan langsung tunai (BLT). Mekanisme dan besaran dana bantuan yang disalurkan berbeda misal BLSM diberikan senilai Rp150 ribu per rumah tangga sasaran (RTS), sedangkan BLT Rp100 ribu per RTS. Senada dengan kepedulian pemerintah terhadap derita rakyat yang terimbas kenaikan harga BBM bersubsidi, ada pula kompensasi yang diberikan bagi siswa miskin, siswa tidak mampu, mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi berupa bantuan siswa miskin (BSM). Berdasarkan niat baik tersebut, sejumlah kepala daerah di pelosok Nusantara ikut bereaksi terutama Jawa Timur yang menolak BLSM disalurkan karena tidak efektif, tidak tepat sasaran, dan hanya akan meningkatkan angka kemiskinan, mengingat muncul orang miskin baru meskipun sebenarnya mereka tergolong kalangan mampu. Untuk itu, ada baiknya pemberian kepedulian pemerintah diwujudkan program lain atau bukan kompensasi yang mengajarkan rakyat meminta belas kasihan. Bantuan yang dimaksud bisa berupa modal senilai tertentu dan pelatihan usaha yang tujuan akhirnya meningkatkan keterampilan masyarakat yang sifatnya padat karya sehingga mampu menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Kini, masyarakat Indonesia tinggal menunggu bagaimana kelanjutan aksi pemerintah terkait penerapan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang menaikkan harganya menjadi Rp6.000 per liter atau opsi menentukan subsidi tetap Rp2.000 per liter pada tanggal 1 April mendatang. Saat ini, Bangsa Indonesia yang galau hanya bisa berdoa dan berharap supaya keputusan pemerintah saat "gong" penerapan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi benar-benar mementingkan rakyat kecil, bukan demi keberpihakan terhadap asing, demi kepentingan politik, atau demi mencari keuntungan semata di tengah hiruk-pikuk permasalahan BBM. Tentu, solusi jangka panjang lebih penting dari semua itu. (*)
BBM yang Bikin Galau
Minggu, 25 Maret 2012 21:36 WIB