Kementerian PAN Target Verifikasi Honorer Tuntas 2012
Rabu, 15 Februari 2012 20:17 WIB
Pacitan - Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menargetkan proses verifikasi tenaga honorer di seluruh Indonesia bisa diselesaikan tahun ini.
"Sesuai aturan dan ketentuan yang ada, kami fokus menyelesaikan proses verifikasi tenaga honorer ini, khususnya bagi mereka yang telah mengabdi sejak sebelum 2005," kata Deputi Bidang Program Dan Refomasi Birokrasi Kemanpan dan RB Ismail Muhammad seusai seminar di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Rabu.
Dia menjelaskan, verifikasi itu sendiri dilakukan dalam tenggat waktu moratorium penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) yang ditempuh oleh pemerintah.
Dalam tahap verifikasi lapangan itu nanti akan diketahui berapa jumlah riil tenaga honorer yang layak menjadi PNS maupun sebaliknya, lanjut Ismail, akhir-akhir ini ada indikasi muncul tenaga honorer dadakan.
"Dalam proses verifikasi nanti Badan Kepegawaian Nasional (BKN) yang akan dibantu oleh Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan (BPKP)," katanya.
Ia menambahkan, dasar aturan pengangkatan tenaga honorer itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 48/2005. Dan verifikasi utamanya ditujukan bagi tenaga honorer yang sejak 2005 telah bekerja di instansi pemerintahan, sedangkan mereka yang baru bekerja setelah 2005 masih akan diverifikasi ulang.
Dengan kebijakan itu, kata Ismail, diharapkan permasalahan tenaga honorer dapat segera terselesaikan dan tidak menjadi berlarut-larut.
Untuk pemberlakuan moratorium sendiri, Ismail mengatakan tidak berlaku mutlak, artinya penerimaan masih dilakukan. Hanya saja, itu dilakukan pada jabatan-jabatan tertentu saja yang sifatnya mendesak untuk dipenuhi, misalnya untuk kebutuhan tenaga dokter, dan lain sebagainya.
Mengenai APBD di banyak daerah yang sebagian besar hanya terserap untuk belanja rutin, Ismail mengungkapkan hal itu merupakan diskresi kepala daerah.
Namun demikian pihaknya ingin meluruskan agar porsi antara belanja rutin dan langsung tidak terlalu timpang, misalnya, belanja pegawai ditekan sampai dibawah 50 persen, tetapi hal itu disesuaikan dengan kemampuan daerah dan pemerintah pusat sendiri tidak berani intervensi terlalu dalam. (*)