Ei.., dayohe teko, Ei.., jerengno kloso, Ei.., klosone bedah, Ei.., tambalen jadah,Ei.., jadahe mambu, Ei.., pakakno asu,Ei.., asune mati, Ei.., guwangen kali, Ei.., kaline banjir................................... Lagu dolanan "Dayohe Teko" (tamunya datang), dalam Bahasa Jawa itu, cukup dikenal di masyarakat. Melihat isi syair lagu tersebut, mengambarkan budaya membuang sesuatu yang sudah tidak bermanfaat ke sungai, bukanlah sesuatu yang salah dan sungaipun banjir, sudah biasa terjadi. Memasuki musim hujan ini, sejumlah daerah di Jatim, mulai dilanda banjir, di antaranya, Pasuruan, Bangkalan, juga daerah lainnya. Di daerah hilir Bengawan Solo di Jatim, mulai Bojonegoro, Tuban, Lamongan, hingga Gresik, juga Ngawi, berbagai pihak terkait, sudah mempersiapkan sejak awal, untuk menghadapi banjir. Balai Besar Bengawan Solo di Solo dalam buku panduan siaga banjir, mengingatkan berbagai pihak, dengan mengutip Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009. Perubahan iklim yang terjadi didefinisikan, sebagai perubahan kondisi iklim baik secara langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer global. Perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan perubahan jumlah dan pola "presipitasi" yang akan berakibat meningkatnya besar dan frekuensi banjir dan kekeringan. Meningkatnya besaran kejadian banjir diperparah oleh kerusakan daerah tangkapan hujan dan semakin berkurangnya kapasitas palung sungai dan waduk untuk menampung volume air banjir, karena terjadi alih fungsi pada dataran banjir yang sebenarnya merupakan daerah penguasaan sungai dan akibat sedimentasi. Di dalam buku panduan siaga banjir itu, isi konvensi PBB merupakan gambaran umum, kondisi banjir yang kemungkinan terjadi, di era sekarang dan di masa mendatang. Termasuk banjir yang ditimbulkan akibat luapan Bengawan Solo yang selalu rutin melanda kota/kabupaten, di sepanjang daerah alirannya di Provinsi Jateng dan Jatim. Berbagai usaha mengendalikan sungai terpanjang di Jawa itu sudah dilakukan, salah satunya dengan merealisasikan sudetan Plangwot di Sedayu Lawas ke Laut Jawa. Bahkan, Balai Besar Bengawan Solo memiliki formula pengendalian banjir Bengawan Solo di daerah hilir Jatim yang paling efektif yaitu merealisasikan Waduk Jipang di perbatasan Jatim dan Jateng. Hanya saja, impian merealisasikan Waduk Jipang, sebagai penampung banjir, kembali menguap. "Pemerintah kurang greget merealiasikan pembangunan Waduk Jipang, karena beratnya masalah sosial yang dihadapi," kata mantan Kepala Balai Besar Bengawan Solo, Graita Soetadi, yang sekarang menjabat sebagai Asisten III Menteri PU. Berdasarkan studi kelayakan Nippon Koei Ltd, merealisasian Waduk Jipang harus memindahkan warga sekitar 120.000 jiwa di 49 desa di Kabupaten Blora, Jateng dan Kabupaten Bojonegoro, Jatim. Perkiraan biaya mencapai Rp10 triliun, dengan rincian Rp6,5 triliun untuk memindahkan warga dan Rp3,5 triliun untuk merealisasikan bangunan fisik. Selain itu, pembangunan waduk juga akan menenggelamkan sebagian jalan raya Padangan-Ngawi, rel kereta api (KA) dan sebuah lapangan terbang di Ngloram, Cepu. Waduk Jipang yang memiliki luas genangan sekitar 13.000 hektare dan mampu menampung air mencapai 930 juta meter kubik, dua kali lipat lebih dibandingkan dengan daya tampung Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Di tengah ketidakberdayaan menghadapi banjir yang terjadi, kemudian berkembang wacana yang cukup indah dalam menghadapi banjir, akibat luapan sungai terpanjang di Jawa yakni "Living Harmony With Flood" atau hidup harmonis dengan banjir. Konsep dasarnya, sebagaimana dituturkan Bupati Bojonegoro Suyoto, warga korban banjir Bengawan Solo harus tidak terganggu dengan kedatangan banjir dan tetap masih bisa beraktivitas sebagaimana biasanya. Dalam hal ini, pemkab sudah menyiapkan tanah seluas 1,8 hektare di Desa Trucuk, Kecamatan Trucuk, yang lokasinya di utara Bengawan Solo. Berdasarkan rencana awal, gedung dilengkapi dapur umum, wc umum dan berbagai keperluan pengungsi lainnya, seperti pusat belanja. "Kami hanya menyiapkan tanah, pembangunan gedung ditangani Pemerintah Pusat," kata Kepala Bagian Administrasi Perlengkapan, Nuzulul Hudaya, menambahkan. Meskipun, masih sebatas rencana, barangkali sudah waktunya, di promosikan terutama banjir Bengawan Solo, juga di daerah lainnya, bukanlah musibah. Namun, banjir merupakan siklus alam yang berjalan normal, karena adanya penyesuaian, kondisi alam yang terjadi, akibat berkembangnya kehidupan manusia. Namun, bagaimana pun, pemerintah daerah setempat harus mengantisipasinya dengan segera mewujudkan rencana pembangunan tempat pengungsian sekalipun bersifat darurat untuk memenuhi hajat hidup korban banjir, termasuk fasilitas air bersih, konsumsi, kesehatan, hingga transportasi, agar masyarakat dapat tetap beraktivitas. Dengan demikian, setiap kali terjadi banjir, tidak terjadi adu urat saling menyalahkan. Bagaimanapun juga, kerusakan alam yang terjadi, termasuk di sepanjang DAS Bengawan Solo, hampir semua warga di sepanjang alirannya ikut ambil bagian, paling tidak seperti yang digambarkan dalam lagu dolanan, Dayohe Teko.(*)
Banjir, "Dayohe Teko"
Senin, 9 Januari 2012 9:29 WIB