Bulog Tulungagung Upayakan "Kompromi" Harga Gabah Petani
Senin, 5 Desember 2011 18:09 WIB
Tulungagung - Perum Bulog Subdivre Tulungagung, Jawa Timur tengah mengupayakan "kompromi" harga jual gabah dari petani untuk memenuhi kebutuhan persediaan beras lokal, minimal hingga tiga bulan mendatang.
"Kami sudah beberapa kali mengumpulkan sejumlah kelompok tani yang tergabung dalam gapoktan (gabungan kelompok tani) untuk mensosialisasikan HPP (harga pembelian pemerintah) beras maupun gabah kering giling yang ditentukan pemerintah," ujar Wakil Kepala Bulog Subdivre Tulungagung, Supriyanto, Senin.
Diakuinya, persediaan beras lokal atau dalam negeri di gudang Bulog Subdivre Tulungagung saat ini kian menipis, yakni sekitar 400-an ton. Jumlah persediaan itu terlalu sedikit bila dibandingkan dengan besaran kebutuhan beras untuk keluarga miskin (raskin) yang mencapai 904 ton per bulan.
"Persediaan beras dalam negeri di subdivre kami saat ini memang terus menipis. Ketidakseimbangan antara pasokan beras ataupun gabah dari petani dengan jumlah yang kami keluarkan, baik untuk pemenuhan pasokan raskin maupun operasi pasar menjadi penyebabnya," ungkap Supriyanto.
Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan pasokan beras dari petani ke bulog tidak maksimal. Kedua faktor dimaksud adalah, pertama karena HPP beras/gabah kering giling yang ditentukan pemerintah jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar, kedua karena mayoritas petani masih menggunakan sistem ijon.
Akibatnya, banyak petani yang enggan melakukan transaksi penjualan gabah kering giling ataupun yang sudah dalam bentuk beras ke pihak bulog. Sebaliknya, mereka lebih memilih menjual hasil buminya ke para tengkulak atau pihak swasta lainnya karena dianggap memiliki standar nilai ekonomi lebih tinggi.
"Itulah yang menjadi problem utama kami. Padahal, harga beli di kami saat ini sudah di atas HPP pemerintah, dengan mengacu inpres beberapa waktu lalu. Namun meski telah kami naikkan standar belinya hingga tiga kali, tetap saja di bawah harga pasar karena mereka ternyata juga ikut naik," jelasnya.
Sesuai ketentuan, HPP gabah kering giling yang telah ditentukan pemerintah selama ini adalah sebesar Rp3.650 per kilogram. Namun karena dinilai terlalu rendah dibanding harga pasaran, pihak Bulog sempat tiga kali menaikkan standar beli gabah kering giling hingga menjadi sekitar Rp4.300 per kilogram.
Akan tetapi, kenaikan harga beli tersebut tetap saja tidak mendongkrak penerimaan beras mereka dari petani, karena masih kalah bersaing dengan harga pasaran yang dimainkan para spekulan yang saat ini berkisar antara Rp4.500 per kilogram hingga Rp4.700 per kilogram gabah kering giling.
"Sepertinya memang ada yang salah dengan sistem perberasan kita, tapi kami juga tidak tahu itu apa dan permasalahannya dimana. Seharusnya harga pasaran dengan HPP tidak terlalu jauh," ujarnya.
Untuk menyiasati permasalahan itulah, lanjut Supriyanto, pihaknya kini gencar melakukan sosialisasi harga beras sesuai HPP maupun berdasar kebijakan internal bulog ke para kelompok tani.
Ia berharap, melalui forum komunikasi secara langsung dengan para petani maupun perwakilan kelompok tani bisa terurai permasalahan yang menghambat penjualan beras/gabah dari masyarakat ke perum bulog.
"Target kami setidaknya bisa mendapat pasokan beras/gabah petani sebesar 10 persen dari total produksi padi di wilayah subdivre Tulungagung yang selama setahun rata-rata mencapai kisaran 73.500, saat ini kami baru mencapai sekitar 7-8 persennya," ungkapnya memberi gambaran.