Jakarta (ANTARA) - Pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud Md. menilai penetapan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebagai tersangka oleh Polri dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) itu merupakan peringatan buat semuanya.
Ganjar menyerahkan proses hukum Firli kepada penegak hukum. "Kalau urusan hukumnya kami serahkan pada penegak hukum, tapi ini peringatan buat kita semuanya bahwa kekuasaan itu umumnya kecenderungan korupsi. Power tends to corrupt itu ada," kata Ganjar di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Kamis.
Untuk itu, Ganjar mengaku siap menyikat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia sesuai program 'Gaspol'. Ganjar mengingatkan pemberantasan korupsi tak boleh mengkhianati reformasi.
"Maka, seperti yang kami sampaikan tadi, ini harus disikat habis karena kalau kemudian kita penanganannya biasa-biasa saja, maka kita akan berkhianat pada yang disampaikan pada 98, Reformasi," tegasnya.
Hal senada pun disampaikan Mahfud bahwa dirinya menyerahkan proses hukum Firli kepada penegakan hukum. Ia pun tak banyak bicara soal Firli ditetapkan sebagai tersangka.
"Itu biar proses hukum," ujar Mahfud.
Pada Rabu malam (22/11), Polda Metro Jaya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo.
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Metro Jaya Kombes Pol. Ade Safri Simanjuntak mengatakan penetapan tersangka tersebut dilakukan setelah gelar perkara pada Rabu.
"Telah dilaksanakan gelar perkara, dengan hasil ditemukan bukti yang cukup untuk menetapkan Saudara FB selaku ketua KPK RI sebagai tersangka, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya, terkait penanganan permasalahan hukum di Kementerian Pertanian RI 2020-2023," kata Ade Safri.
Penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.