Jakarta (ANTARA) - Seperempat abad reformasi diperingati sejumlah insan di Bumi pertiwi. Selama itu pula sejumlah insan memiliki banyak cerita di hati. Ada yang bersyukur karena bisa bertahan dan bersembunyi, ada pula yang bersedih ditinggal pergi sanak famili, salah satunya adalah Murni.
Tragedi kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 merupakan momen dimana banyak manusia menunjukkan sisi kebinatangan, momen dimana banyak korban penistaan pelecehan, dan pembunuhan berjatuhan di jalanan, momen yang masih menyimpan memori bagi banyak orang yang mungkin tak terlupakan.
Tak terkecuali Murni (61) yang masih menyimpan kisah pilu setelah 25 tahun berlalu. Pada saat itu, dirinya tidak tahu bahwa anaknya yang di rumah sedang membantu harus pergi meninggalkanya dan tidak kembali mengetuk pintu.
Jumat, 15 Mei 1998, adalah kala terakhir Murni memandang wajah anaknya Agung Tri Purnawan yang menjadi korban dalam peristiwa kelam itu.
"Dia pamit untuk pergi meminjam buku ke rumah teman, katanya untuk belajar kelompok. Dia bilang sebentar, tapi ternyata tidak kembali lagi," kata Murni, ketika bercerita pada acara Peringatan 25 Tahun Reformasi di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta, Sabtu (12/5).
Murni masih ingat bagaimana anaknya berkata, "Mak saya pergi pinjam buku ke rumah teman buat belajar kelompok," dan "Iya mak, sebentar kok." Baginya, itu merupakan sebuah momen yang sangat menohok.
Agung yang pada saat itu wafat di kelas 3 sekolah menengah pertama (SMP) dikenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Di kala orang tuanya harus keluar rumah bekerja, Agung mampu menjalankan amanatnya dalam menjaga keempat adiknya. Agung adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, dan seluruh adiknya menganggap Agung yang paling dewasa.
Waktu itu, kalau pagi, Murni pergi berjualan ke pasar, sementara Agung menjaga adik-adiknya. Sepulang Murni dari pasar, Ahung ke sekolah karena masuk siang. Sore hore, Agung pulang dan tugas berikutnya adalah mencuci pakaian.
Musibah itu terjadi saat Agung sedang mencuci, sambung Murni. Sebenarnya Agung tidak mau pergi, namun karena banyak teman sebayanya yang mencari, akhirnya Agung tidak enak dan harus mengikuti temannya untuk pergi.
Tidak lama setelahnya, tetangganya yang baru tiba mengatakan dirinya melihat Mal Yogya Klender (nama waktu itu) sudah membara. Si tetangga juga memberi kabar bahwa dia melihat Agung dan teman-temannya berada di mal tersebut.